
In every society the production of discourse is at once controlled, selected, organised and redistributed by a certain number of procedures whose role is to ward off its powers and dangers, to gain mastery over its chance events, to evade its ponderous, formidable materiality (Foucault—The Order of Discourse).
Agustus, 2018. Para penari Rejang Sandat Ratu Segara yang tengah melangsungkan pertunjukan di halaman Pura Luhur Tanah Lot mengalami kerauhan masal.
Rejang dan Persembahan Bagi Dewa/i
Rejang merupakan salah satu genre tarian sakral (wali) dalam seni pertunjukan Bali. Ia dipertunjukkan di dalam pura yang sakral, yang lazim disebut jeroan. Kerauhan/kerasukan (trance) sering terjadi pada tarian yang termasuk dalam genre ini. Tari-tarian wali biasanya dilangsungkan dalam hubungannya dengan ritual keagamaan dan sering kali dipersembahkan dalam konteks festival keagamaan Hindu Bali.
I Made Bandem dalam bukunya Kaja dan Kelod, Tarian Bali dalam Transisi (2004) memaparkan bahwa Rejang merupakan salah satu pertujukan yang kuno dan formal yang mempunyai corak khas sebagai tarian wali. Ia merupakan tarian profesional yang dipertunjukkan oleh perempuan anggota jemaah pura. Perempuan segala umur ambil bagian dalam pertunjukan di kebanyakan desa. Namun di desa-desa Bali Aga, seperti di Tenganan dan Asak para penarinya hanya diambil dari anak-anak atau gadis-gadis desa yang masih muda.
Rejang tak pernah dipertunjukkan secara profesional. Dalam pertunjukan, sebanyak 40 sampai 60 perempuan bisa ambil bagian. Semua memakai pakaian formal tradisional Bali, dengan selendang (anteng) panjang yang diikatkan di pinggangnya dan hiasan semi melingkar di kepala yang terdiri dari kerangka emas dihiasi bunga segar. Rejang dipentaskan pada siang hari, biasanya menjelang sore. Selain untuk persembahan bagi para dewa dewi, beberapa Rejang memiliki fungsi lain yakni mengusir roh jahat dan diyakini bisa membantu melindungi masyarakat dari bahaya wabah penyakit.
Penari menunjukkan kebahagiaan dan menghibur tamu-tamu dari angkasa (para dewa) dan menyambut mereka dengan penghormatan yang sesuai. … mereka bergerak mengombak-ombak, dengan wajah serius, agak riang, dan tersenyum. (Bandem & deBoer, 2004: 22-23).
Menarasikan Rejang, Mempraktikkan Kuasa
Agustus, 2018. Para penari Rejang Sandat Ratu Segara yang tengah melangsungkan pertunjukan di halaman Pura Luhur Tanah Lot mengalami kerauhan. Pergelaran tari kolosal yang melibatkan 1.800 orang penari dari 10 kecamatan ini merupakan acara pembuka Tanah Lot Art & Food Festival 2018 yang dimaksudkan untuk mendapatkan rekor dari Muri untuk kategori pagelaran tari kolosal. Muri pun telah mencatat Rejang Sandat Ratu Segara sebagai rekor dengan nomor register 8581. Dengan rekoris Ni Putu Eka Wiryastuti selaku Bupati Tabanan, Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan, dan Badan Pengelola Manajemen Operasional DTW Tanah Lot. Dalam kesempatan yang sama diberikan pula sertifikat hak cipta kepada Bupati Tabanan untuk tarian Rejang Sandat Ratu Segara ini.
Jika ditelisik lebih jauh, peristiwa budaya pertunjukan Rejang Sandat Ratu Segara ini menarik untuk diikuti. Rejang Sandat Ratu Segara ini merupakan tarian yang diprakarsai oleh Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti. Dalam proses penggarapannya ia dibantu dua orang koreografer, yakni I Wayan Juana Adi Saputra (Dadong Rerod) dan I Wayan Muder. Ia menyebut tarian ini dimaksudkan sebagai persembahan kesenian yang penuh rasa, estetika, dan keindahan bagi “Betara-Betari” (Ratu Segara) yang beristana di Pura dan Pantai Tanah Lot. “Ini merupakan bentuk kasih sayang, eling dan ungkapan rasa terima kasih kepada alam, kepada Sang Ibu Ratu Segara” (Ni Putu Eka Wiryastuti, Antara News).
Gagasannya bermula dari kepopuleran Tari Rejang Renteng saat dan maskot Tabanan yakni Tari Bungan Sandat Serasi. Kesenian yang kontemporer dipadukan dengan unsur kejawen. Sehingga diciptalah perpaduan dari beberapa tari Rejang, semisal Tari Rejang Dewa, Rejang Dedari, Rejang Renteng, serta dimasukkan sedikit unsur kejawen. Narasi akan “keagungan” dan “kesakralan” tarian ini lantas dibangun melalui kontrol atas gerak tari dan pengiring tabuh.
Pada latihan perdana Rejang Sandat Ratu Segara yang dilaksanakan di aula rumah Bupati di Banjar Tegeh, Desa Angseri, Kecamatan Baturiti, Eka mempraktikkan kuasa jika ditilik dari perspektif kekuasaan/pengetahuan (power/knowledge) Foucault. Ia mengkritisi gerakan penari yang (menurutnya) kurang pas karena gerakannya begitu lembut dan terlalu cepat sehingga tidak mencerminkan keagungan dan kesakralan dari tari tersebut. Demikian pula alunan musik, tabuh pengiring yang (menurutnya) tidak sesuai dengan yang ada dalam imajinasinya. Hanya suara seruling yang terdengar, sehingga menutupi irama gamelan yang lain. Ia meminta agar lebih memasukkan unsur kejawen dalam tari Rejang Sandat Ratu Segara.
Kontrol Bupati sebagai state apparatus terhadap tubuh para penari Rejang Sandat Ratu Segara dapat dimaknai sebagai praktik kuasa yang memandang tubuh sebagai objek dan target kekuasaan. Tubuh menjadi ajang objek kontrol (pemaksaan), sehingga tubuh penari sebagai tubuh—sekaligus pikiran dan sikap—yang “bebas” menjadi tubuh yang ditundukkan (docile bodies). “A body is docile that may be subjected, used, transformed and improved” (Foucault, 1995: 136).
…discovered the body as object and target of power, renewing interest in the maintenance, control, and commodification of the body. The body became a site of investment, and the scale of control over bodies shifted. No longer were bodies treated en masse, but instead, bodies were treated individually as objects of control, subjected to subtle and overt coercion. … the formation of a relation that in the mechanism itself makes it more obedient as it becomes more useful, and conversely (Foucault, 1995: 136-138).
Mekanisme pembentukan tubuh-tubuh yang ditundukkan ini, menurut Foucault, masuk ke dalam kategori kontrol atas aktivitas (the control of activity) yang mengatur hingga gestur. Sehingga tubuh tak lagi merupakan raga yang berjiwa namun hanya sebatas tubuh mekanik. Kontrol ini sangat mungkin dilakukan karena kekuasaan merupakan sesuatu yang inhern dalam realitas sosial yang ada. Ia (kekuasaan) bukanlah kepemilikan sehingga tidak dapat diperoleh, disimpan, atau digunakan. Kekuasaan merupakan strategi, ia terus dipraktikkan dalam suatu kondisi sosial tertentu. Pada akhirnya, praktik kuasa akan mampu melakukan kontruksi atas apa yang (dianggap) benar dan tidak benar untuk kemudian disebarluaskan.
Di sisi lain, kuasa tidak selamanya represif. Ia bisa bekerja melalui normalisasi dan regulasi untuk menciptakan regime of truth. Dalam hal ini, “kebenaran” tentang apa yang harusnya dilakukan oleh penari dan penabuh dalam tari Rejang Sandat Ratu Segara. Kekuasaan juga tak dapat terpisah dengan pengetahuan (power/knowledge). Sebab kekuasaan dapat diartikulasikan melalui pengetahuan, namun pengetahuan selalu berpengaruh terhadap kekuasaan. Artinya artikulasi kekuasaan bertendensi untuk memproduksi kebenaran melalui legitimasi pengetahuan. Apa yang (dianggap) benar dan salah bisa jadi merupakan sebuah konstruksi yang lahir dari power/knowledge.
Menarasikan Ratu Segara, Mencipta Realita
Legitimasi atas “keagungan” dan “kesakralan” lantas dibangun lewat klaim-klaim pengetahuan yang diartikulasikan melalui berbagai ritual. Jelang pergelaran Rejang Sandat Ratu Segara, Pemkab Tabanan melangsungkan Matur Pekeling di Pura Luhur Tanah Lot dipimpin oleh pemangku setempat. Bahkan H-3 pementasan, Bupati bersembahyang keliling dan menyiapkan upakara/banten khusus yang (diklaim) menggabungkan kekuatan Bali dan Jawa dengan menghaturkan pejati, tumpeng, pisang mas dan pisang raja.
Bupati menyampaikan bahwa Matur Pekeling dilakukan untuk memohon izin dan restu sebelum pementasan. Ia sekaligus membangun narasi akan kesakralan tarian ini yang menurutnya tidak bisa sembarangan dipentaskan namun hanya ditarikan pada momen-momen tertentu tergantung pawisik. “Jelas ini tarian sakral karena jumlah penarinya kelipatan sembilan, menarinya harus di laut” (Ni Putu Eka Wiryastuti, Bali Express Jawa Pos).
Narasi kesakralan Rejang Sandat Ratu Segara yang dipersembahkan bagi Ratu Segara juga dibangun melalui sejumlah pantangan yang diciptakan. Yakni tidak boleh ada orang yang memotong atau masuk dalam tarian berdurasi 11 menit tersebut. Meskipun ada penari yang kerauhan. Pada saat menari kain tidak boleh kotor, jumlahnya penari dengan kelipatan 9, 18, 27, dan seterusnya sebagai perlambang kasih sayang, penaburan 11 kilogram bunga melati di areal pementasan, dan lain-lain.
Lewat tanda dan simbol-simbol itulah Bupati membangun narasi atas yang sakral dengan merujuk pada sesuatu yang transendental. Citra-citra akan kesakralan Ratu Segara lantas diwujudkan dalam bentuk realitas berupa tari Rejang Sandat Ratu Segara (reality – hyperreality). Untuk mencapai “realitas” (pertunjukan tari) tersebut, miliaran rupiah uang daerah pun digelontorkan. Hal ini diketahui berdasarkan proposal dilengkapi Surat Pengantar No.045.2/912/Disbud yang beredar di masing-masing Kepala SKPD Pemkab Tabanan yang ditandatangani oleh Bupati. Dalam proposal berjudul Mighty Presentation Of Tari Rejang Sandat Ratu Segara, tercantum anggaran yang dibutuhkan untuk mementaskan tarian berdurasi 11 menit itu mencapai lebih dari Rp 2,5 miliar.
Dengan perincian; kostum penari sebanyak 1.800 set senilai Rp585 juta, aksesoris penari senilai Rp108 juta, pembina tari inti 50 orang Rp75 juta, penata tari 2 orang Rp30 juta, penabuh Rp50 juta, kostum gladi kotor, bersih, dan lainnya Rp158 juta, properti event Rp1,1 miliar, dokumentasi, publikasi, ATK, monev Rp200 juta, akomodasi transportasi dan konsumsi Rp100 juta, dan pengamanan Rp50 juta. Jumlah totalnya Rp2.546.400.000. Biaya yang tergolong tak kecil untuk “menghadirkan” sesuatu yang transenden ke dalam realitas.
Kerauhan: Penundukan Lainnya
Namun tubuh-tubuh perempuan yang ditundukkan melalui praktik kuasa Bupati (as state apparatus) tak lantas sepenuhnya tunduk (pada strategi kuasa tersebut). Peristiwa kerauhan yang terjadi pada para penari Rejang Sandat Ratu Segara bisa dibaca sebagai sebuah bentuk penundukan yang lain dari the other yang transenden. Peristiwa kerauhan tersebut bahkan berlarut-larut meski pertunjukan telah usai.
Para penari mengaku melihat wanita cantik seperti seorang ratu. Mereka pun terus terngiang-ngiang dengan nyanyian Ratu Pantai Selatan atau Nyi Roro Kidul dan gamelan Jawa yang mengiringi tarian kolosal Rejang Sandat Ratu Segara. Padahal Pemangku Gede Pura Luhur Tanah Lot menyebut segala upacara dan upakara sudah dilakukan sebagaimana mestinya. Namun pada akhinya kesimpulan mengerucut pada sesuatu yang jarang dilakukan atau baru dilangsungkan untuk pertama kalinya, terkadang memunculkan sesuatu yang tidak umum terjadi. Pasalnya tarian sakral (wali) biasanya dipentaskan saat ada upacara keagamaan seperti pujawali dan karya di pura. Lazimnya, saat upacara keagamaan tersebut yang dipentaskan adalah Tari Rejang Dewa. Sedangkan Rejang Sandat Ratu Segara merupakan tarian dengan karakter gamelan, vokal, dan tarian yang agak Kejawen, baru pertama kali dilangsungkan di Bali. “Saya juga belum pernah mendapat pawisik apa pun terkait Tari Rejang Sandat Ratu Segara ini, baik dari sebelum pementasan maupun hingga usai pementasan” (Jro Mangku Semudra, Tribun Bali).
Tubuh perempuan penari, yang ditempatkan sebagai pusat spectators’ gaze dalam pertunjukan, “melawan” melalui pihak yang bertentangan dengan state apparatus. Hegemoni (terhadap tubuh para penari) disaingi (dilawan) oleh “hegemoni” lainnya. Di satu sisi, tubuh penari berhasil melawan hegemoni kuasa state apparatus. Namun di sisi lain, ia ditundukkan oleh suatu bentuk kuasa lainnya. Sebuah praktik kuasa yang melampaui (batas) realitas kasat mata. Pada titik inilah, tubuh akhirnya (akan) selalu menjadi objek praktik kuasa.
Your body is a battleground — Barbara Kruger
- Membaca Narasi Kuasa pada Rejang Sandat Ratu Segara - 21 January 2019
- Semesta Mitos Sekala Niskala - 8 August 2018