Menerbitkan

avifahve

Menulis itu hanya omong kosong.

Hanya ada satu cara untuk menghasilkan

uang dari menulis: kau harus menikahi

anak pemilik penerbit.

(George Orwell)

 

Kupandangi sisa rintik hujan dari balik jendela, sambil mengisap sisa sigaret yang telah kuisap selama seminggu ini, sedikit demi sedikit setiap harinya guna menenangkan diri. Aku terus mengenang: Telah kutinggalkan kehidupanku di desa sebagai peternak untuk menjadi seorang pengarang. Dua tahun, dari Senin sampai Jumat, aku bekerja sebagai buruh pabrik pengolahan kayu untuk bertahan hidup di kota ini, kota yang selalu dikatakan sebagai tempat lahirnya para penulis besar. Gaji setiap bulan kubelikan makanan dan menyewa kamar, juga membeli buku. Kurelakan istirahat hanya empat jam sehari agar dapat kubacai semua buku-buku karya penulis yang kukagumi selepas pulang kerja. Setiap akhir pekan kutahan keinginan wisata atau membeli makanan saat jalan di taman supaya tidak menghabiskan uang lebih cepat. Aku mengalah untuk semua itu. Dan tiga bulan lalu telah kuputuskan untuk keluar dari tempat kerja dan memenuhi tugas besar: memulai menulis novel. Memang waktu tidurku jadi bertambah. Namun itu karena aku lelah menghadapi kebuntuan saat menulis. Alhasil istirahatku tidak benar-benar sebagai istirahat. Pesangon terakhirku habis memasuki bulan ketiga. Aku mengalah pada keadaan ini. Sehingga aku harus memohon dengan sangat pada pemilik rumah agar aku tetap diizinkan tinggal. Begitulah aku bertempat di gudang ini menyelesaikan karya tulisku. Tiga minggu sesudahnya, uangku benar-benar habis tak tersisa. Aku mengalah. Jadi seminggu ini tiap malam kucuri-curi makanan di dapur. Dan sekarang batang sigaret di mulut ini habis dalam tiga sedotan.

Saatnya keluar, batinku. Kutaruh puntung rokok pada pinggiran jendela. Kukenakan jekat dan topi fedora yang ada di balik pintu. Lalu aku beranjak ke meja yang menghadap jendela. Kupandangi naskahku yang ada di sisi kanan mesin ketik. Belum berjudul. Sejenak kupikirkan apa judul yang cocok. Sebuah ilham datang dan kuambil pulpen. Membentuk epitaf judul di kertas paling atas. Aku tersenyum puas pada hasilku.

Dengan menenteng berlembar-lembar kertas, aku keluar dari gudang.

“Udah beres? Suara mesin itu nggak bakal ganggu lagi, kan?” Ternyata Nyonya pemilik rumah yang sedang mengeluarkan roti dari oven, yang menyambutku keluar dari “kandang”. Nyonya ini berumur sekitar empat puluhan, terlihat masih muda dan segar. Suaminya seorang tentara yang ditempatkan di perbatasan, dan hanya pulang tiga bulan sekali.

“Maaf, Nyonya.” Aku tersenyum tak enak karena apa yang kulakukan telah mengganggu penghuni rumah.

“Cobain dulu roti bikinanku,” suruhnya seperti yang kuharapkan, dapat makanan gratis. “Kau teliti atau tulis ulang gitu? Nanti banyak yang salah malah repot.”

Aku mencomot satu roti yang ada di loyang. Masih panas. “Aku cek tiap selesai satu paragraf, Nyonya. Sengaja aku hindari penulisan ulang biar gak makan waktu.” Kutiup-tiup sebentar, baru aku menelannya langsung.

Nyonya menunggu pendapatku: “Bagaimana? Enak nggak?”

“Emmm. Emmm. Bentar, Nyonya,” aku mengambil satu lagi. Jika yang pertama untuk mengisi perut, yang ini kurasakan penuh di mulut. “Lumayan,” jawabku. Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana rasa roti diukur. Setiap rasa pada makanan seolah hilang dari indraku karena usus-usus ini semakin jarang mencerna selama beberapa hari terakhir ini.

Kuterima air putih yang diulurkannya padaku. Dan, sewaktu aku minum Nyonya bertanya: “Itu mau dikirim sekarang?”

Kuletakkan gelas di meja, dekat loyang. “Tidak enak aku menumpang tanpa membayar, Nyonya,” kataku jujur dan tersipu.

“Ya, tak apalah kau lebih lama lagi di sini. Kau bisa bayar dengan meminjamiku buku-bukumu itu. Ceritanya mengasyikkan.” Nyonya terlihat semringah ketika mengatakannya.

Sewaktu aku kehabisan uang untuk menyewa kamar, dan aku berhasil memaksa Nyonya untuk mengizinkanku tetap tinggal, aku harus mengalah memindahkan semua bukuku yang berjumlah kurang lebih dua ratus eksemplar dari lantai atas ke gudang. Gudang saat itu benar-benar tempat yang kotor. Selama setengah hari aku mengalah harus tinggalkan menulis untuk mengeser semua benda supaya dapat keadaan yang nyaman. Dan, meskipun sudah kutepikan rongsokan-rongsokan itu, ternyata kapasitas ruangannya tidak mampu menampung semua bukuku. Jadi aku mengalah, memohon sekali lagi pada Nyonya untuk dapat tempat menaruh barang-barang kesayanganku itu. Nyonya membiarkanku mengisi almari di ruang tengah. Sejak saat itu, ketika aku keluar gudang untuk mencari udara segar, sering kulihat Nyonya di dapur atau kadang di ruang tamu membaca.

Nyonya tiba-tiba berkata: “Apalagi petualangan gila Don Quixote. Itu membuatku tertawa. Bagaimana ada manusia sekoplak itu.”

Tambahnya kemudian: “Buku telah membawaku ke dalam keintiman paling dalam seorang manusia. Membedah pikiran dan perasaan, bahkan syahwatnya.” Nyonya berkata bahagia.

“Nyonya, aku harus keluar sekarang,” pamitku sesaat kemudian.

“Ya, semoga berhasil,” kata Nyonya mendoakanku. “Karena sering kudengar hal tersulit selain mencari ide adalah mencari orang yang mau menerbitkan karya.”

Baru aku akan meninggalkan dapur, Nyonya menyuruhku mengambil rotinya satu lagi untuk dimakan. Tentu aku berterimakasih sangat padanya.

Aroma hujan di luar rumah terasa segar. Tetes-tetes air turun dari ujung-ujung genting. Orang-orang yang kutemui semuanya menutupi diri dengan payung. Anjing rumahan mengibaskan badannya kedinginan karena tidak diperbolehkan masuk tuannya. Aku melangkah menyusuri tepian jalan sambil memamah roti.

Tempat yang kutuju adalah sebuah gedung tinggi di mana ada empat perusahaan berkantor di sana. Tinggal satu atap dan merupakan anak perusahaan dari percetakan utamanya. Tebak, apa saja anak perusahan itu? Sudah tentu yang berhubungan dengan kertas. Aku masuk ke lobi dan disambut resepsionis, perempuan muda yang menyapaku karena kebingunggan: “Ada yang bisa dibantu, Tuan?” suaranya merdu layaknya resepsionis di lain tempat.

Aku mendekat ke tempatnya. “Saya mau menyerahkan naskah novel untuk diterbitkan, Nona.”

“Oh, Anda bisa tulis nama dan alamat Tuan di sini?” Nona resepsionis memberikanku kertas, dan kutulis apa yang dia suruh. Alamat rumah Nyonya Tina.

Resepsionis itu menerima naskahku dan kertas tadi. “Secepatnya kami akan surati Tuan soal bagaimana kelanjutan naskahnya.”

Aku belum undur diri, kutanyakan sesuatu: “Berapa lama kira-kira?”

“Kemunginan dua minggu, karena naskah Tuan tidak dilengkapi sinopsis, ini menjadikan redaktur kami lebih lama menyeleksinya,” jawabnya. “Bisa dipahami?”

Aku mengangguk. “Tentu. Terima kasih.” Aku keluar dari lobi dengan wajah berhiaskan senyuman. Tugasku sekarang hanyalah banyak berdoa.

Dua hari kemudian sebuah surat dari penerbit datang. Ternyata lebih cepat dari yang resepsionis itu katakan, batinku ketika menandatangani tanda terimanya. Aku masuk ke dalam dan duduk di meja dapur. Kubuka amplop agak kecokelatan itu dengan hati-hati. Ada sesuatu yang luar biasa menanti di dalamnya, pikirku merasakan gejolak menara tinggi berdiri tegak. Kutarik kertas yang terlipat dan meletakan bungkusnya di atas meja. Maaf…. Pembukanya langsung membuat napasku tercekat. Menara tinggi di dada terserap oleh lumpur. Kugeletakkan surat yang belum rampung kubaca itu di dekat amplonya. Aku beranjak mengambil gelas dan mengisinya dengan air, lantas menenggaknya dengan penuh keheningan. Serta perasaan yang berdenting kacau.

Tiga bulan usahaku … aku mengalah. Aku kembali duduk dan menuntaskan membaca pesan dalam surat itu. Isinya menyatakan syarat yang diterima penerbit untuk sebuah novel minimal seratus halaman, sementara naskahku kurang delapan. Di bagian bawahnya tercantum syarat-syarat pengajuan naskah untuk penerbit mayor itu. Sial, batinku, apa urusuannya coba, jumlah halaman dengan syarat sebuah novel. Banyak di luar sana novel-novel tipis beredar dan diterbitkan, tidak harus tebal. Seperti: “Rumah kertas”-nya Carlos Maria Dominguez, itu novel tipis. Ada lagi, “Mumu” Ivan Tugenev. Atau, kalau “The Old Man and The Sea”-nya Hemingway ditulis layaknya draft milikku pasti tidak lebih dari seratus lembar. Yah, bagaimanapun aku harus mengalah. Semua itu bukan hakku.

Lagi-lagi, aku mengalah. Dalam surat itu aku dipersilakan “mengambil sendiri naskahku” di resepsionis. Sore ini juga aku berangkat ke gedung itu dengan perasaan dongkol. Kenapa juga tak disertakan dalam surat, gumamku selama berjalan.

“Tuan sudah saya tunggu.” Begitulah ketika pintu kaca kudorong, aku disambut nona resepsionis, yang ketika itu juga kusadari ia tampak memesona. Aku mendekat padanya. Seulas senyum yang tidak pas dengan hati yang jengkel kupaksaan untuk membalas senyumnya yang terlampau manis. Nona itu berkata lagi sembari mencari sesuatu di bawah: “Selama dua hari naskah Tuan di sini saya bacai.” Dia dapatkan naskahku. “Dan ceritanya, seharusnya diterbitkan.” Dia berbicara terus dan aku tak bisa menyela. “Cuma gara-gara naskah Tuan kurang, ceritanya tidak bisa diterbitkan. Sayang, padahal bagus.”

Aku dapatkan giliranku: “Jadi menurut Nona cerita saya bagus. Tapi kenapa tidak diterima cuma gara-gara halaman?”

“Aku tidak tahu Tuan, apa yang dipikirkan redaktur itu,” jawabnya. “Begitu kemarin Tuan pergi, aku hubungi redaktur. Dan dia datang ke sini. Dilihatnya naskah Tuan dan dihitung jumlah halamannya seperti menghitung uang. Tahu tidak penuhi syarat dia suruh saya balikin naskah Tuan. Saya yang tulis surat,” ceritanya.

Aku kesal, tulisanku bahkan tidak dibaca.

“Jangan marah, Tuan. Ini perusahaan, semuanya ada aturannya. Tapi saya yakin Tuan bakal jadi pengarang terkenal.”

“Semoga, Nona.” Aku mengalah pada syarat. Kuambil naskahku, bersiap pergi. “Terima kasih, aku pergi.” Aku menoleh ke belakang setelah melewati pintu kaca. Tidak akan kulupakan orang yang pertama membaca karyaku ini. Seorang perempuan muda berambut hitam legam, berpipi lesung.

Di trotoar, depan toko pakaian, di perjalanan pulang ke rumah Nyonya, aku menjumpai kerumunan orang menonton pertunjukan sulap. Biasanya jika ada keramaian, aku menghindar. Tapi tidak kali ini. Aku mengalah. Kudorong diri bergabung di antara orang-orang yang membentuk lingkaran. Melihat dari dekat seorang bertopi hitam tinggi dengan pinggiran lebar yang ada di tengah.

“Lihat, lihat!” penyulap laki-laki itu menunjukan kedua telapak tangannya. “Kosong, tidak ada apa-apa.”

“Kosong!” Kurasa semua berteriak—anak kecil, laki-laki, perempuan, dewasa dan pemuda, kecuali aku yang diam masam. Kemudian penyulap itu menepukkan tangannya tiga kali, dan apa yang terjadi selanjutnya? Semua penonton kegirangan karena dari tangan itu muncul kartu as bentuk hati. Tipuan murahan, pikirku. Aku menyingkir, memilih mengalah di antara mahkluk yang bahagia dibohongi itu. Biarakan aku di dunia nyata, batinku membelakangi kerumunan.

Kulewati ruko-ruko berlantai tiga yang berdiri di sisi kiriku. Alat elektronik, dan semacamnya yang dijual sepanjang jalan ini. Aku lurus menyeberang jalan. Kali ini tiga gedung apartemen dan penginapan di bagian ini. Di hadapannya, seberang jalan, ada sebuah mini market. Di sebelahnya ada kafetaria yang saat ini cukup terisi dengan pelanggan.

Perjalanan kaki antara rumah Nyonya Tina dengan penerbitan tadi menempuh waktu kurang lebih sekitar dua puluh menit. Kota ini secara administratif sebenarnya besar, tetapi karena penataan yang baik dan dibagi menjadi beberapa blok, wilayahnya jadi terasa menciut. Kendaraan di sini sangat dibatasi. Oleh Wali Kota, masyarakat diajak untuk berjalan kaki dan naik kendaraan umum.

Aku sampai di rumah. Tetap dengan perasaan murung. Kubuka pintu dan Nyonya yang duduk di sofa ruang tamu memandangiku. “Sayang sekali,” katanya. Kuperhatikan sejenak Nyonya itu. Ah, surat itu…. Biarlah, mengalah saja. Kududukkan diri di sofa sebelah kirinya.

“Boleh kubaca?” pinta Nyonya semenit sesudahnya. Sejak duduk aku hanya menunduk memandangi kakiku dan tidak ingin berbicara banyak. Tapi, “Ya, boleh Nyonya.” Meski belum bisa terbit setidaknya sudah ada yang baca. Kuberikan naskahku padanya. Aku berlalu ke belakang untuk mandi.

Jika dulu aku harus mengambil makanan secara diam-diam di dapur pada malam hari saat semua penghuni tidur, sekarang tidak. Nyonya dan aku semakin akrab gara-gara buku. Setiap waktunya makan dia selalu mengundangku. Dan dengan agak sungkan aku ikut bersamanya. Obrolan di meja makan akan selalu Nyonya yang memulai dengan mengomentari buku-buku yang dibacanya. Termasuk sehari setelah dia memulai membaca naskahku, di saat sarapan dia berbicara tentang buah tanganku itu.

“Aku benar-benar terseret pada tokoh anak kecil itu,” katanya memulai. “Kau menulis suatu zaman yang banyak dikatakan orang sebagai kemajuan, tapi tidak, bagi yang tidak memiliki kemajuan itu.”

“Benar sekali, Nyonya.” Aku tergugah dengan pendapatnya. Nyonya memiliki ketajaman dalam mengupas sebuah buku yang sangat hebat. Bahkan lebih dari diriku.

“Aku tak memungkiri buku itu akan meraih penghargaan nasional atau melambungkan namamu sebagai pengarang.” Aku tidak tahu apa maksud nyonya berkata seperti itu. Namun, aku menjawab: “Sayang naskah itu belum diterbitkan dan belum dibaca banyak orang.”

“Ah, masalah itu akan selesai dengan cepat.” Nyonya tak tahu apa yang menggelisahkanku. “Tapi, ada bagian dalam novelmu yang riskan.” Dia coba memberitahuku sesuatu yang buruk dengan kata-kata yang dipilih secara hati-hati.

“Bagian yang mana, Nyonya?” aku penasaran.

“Bagian di mana kau meletakkan semacam paragraf-paragraf puitis, yang maksudnya aku tahu mendukung ceritamu. Tapi, sepertinya itu belum pernah dilakukan. Kau tahu maksudku kan?”

Aku mengangguk. “Jika orang-orang menilai itu sebagai suatu yang indah, keseluruhan novelku akan bisa dikatakan sempuran. Tetapi, jika itu dianggap menganggu dan memperburuk pasti novelku akan dianggap gagal.”

“Tepat. Kau pengarang yang teliti.”

Sarapan selesai. Kutanyakan di mana naskahku pada Nyonya. Aku hari ini berniat mengelilingkan naskahku seperti seles tukang promosi.

“Di almari buku,” jawabnya. Kuambil naskahku di antara buku-bukuku yang ditempatkan di almari kayu berpintu kaca itu. Aku memulai lagi.

Di sebuah gedung tempat penerbit mayor bermarkas aku menawarkan naskahku. Kali ini tanpa menunggu hari, naskahku langsung ditolak. Alasannya sama: tidak penuhi syarat. Aku mengalah. Hari ini usai dengan penuh kegagalan. Kudatangi sepanjang siang empat penerbit besar dan semuanya mengatakan naskahku kurang delapan lembar.

Jam setengah lima sore setelah dari tempat penerbit yang terakhir, aku mendudukkan diri di taman kota. Bangku yang cocok, pikirku, karena mengarahkan siapa pun yang duduk untuk melihat matahari terbenam di balik gedung-gedung tinggi.

Tiba-tiba aku teringat penyulap kemarin. Dia seniman, seharusnya mendapat panggung yang layak untuk mempertontonkan kebolehannya. Atau apa karena apa yang dilakukannya biasa, dia cuma jadi seniman jalanan? Kuambil beberapa bagian novelku dan kubaca sekilas. Ini baik, tidak ada yang buruk. Kalimatnya dengan kata yang pilih secara teliti, dan ceritanya apalagi. Nyonya Tina saja mengatakan ceritaku luar biasa. Aku dan penyulap itu berbeda, batinku, dia memang biasa sementara aku belum ada yang membaca. Novelku ini karya yang bagus. Aku berusaha meyakinkan diri.

Aku hanya keluar saat Nyonya mengajak makan. Selama seminggu ini aku berdiam diri di dalam gudang, menulis cerita pendek yang akan kukirim ke surat kabar. Aku tidak ingin lebih banyak lagi berutang pada Nyonya yang baik hati itu. Aku butuh uang secepat mungkin.

Yang tak kuceritakan pada Nyonya setiap kali di meja makan adalah aku memendam banyak perasaan yang campur aduk: antara benci terhadap penerbit besar, kecewa pada redaktur-redaktur, dan menahan segala amuk terhadap diri sendiri.

Pada hari Sabtu sekitar jam setengah tiga, aku pergi ke gedung surat kabar berskala nasional berkantor. Kutitipkan cerpenku pada respsionis di sana. Dan pergi. Naskah novel kutinggal di gudang, aku tidak ingin membawa itu untuk sekarang. Karena aku tidak tahu mau ke mana, kupikir, akan tepat untuk mengembalikan semangat menerbitkan buku, jika aku ke toko buku. Ya, itu piliahan paling baik.

Toko buku langgananku tidaklah besar. Namun, koleksi bukunya yang istimewa menarik banyak orang untuk datang. Aku beruntung, ada acara bincang-bincang soal penerbitan. Pembicaranya seorang pegiat buku yang memiliki penerbit indie, bernama: Joseph. Memang sudah umum jika setiap minggu ada acara di sini. Mulai dari baca puisi, bedah buku, mengulas cara kritik kritikus, dan lain-lainnya. Aku mengambil tempat di tengah orang yang datang, mendengarkan dengan saksama penuturan orang di depan.

Moderator seorang penyair muda yang tak kukenal memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk berbicara. Dengan agak ragu-ragu aku mengangkat tangan. Aku maju ke depan dan moderator itu memberikan pelantam padaku. Kusapu pandangan pada semua orang yang ada, baru aku memulai: “Jika kalian adalah seorang pengarang dan baru menyelesaikan novel pertama, apa yang akan kalian lakukan?”

“Diterbitkanlah,” salah seorang menjawab. Aku meneruskan: “Lalu kalian menenteng naskah novel yang kalian tulis selama berbulan-bulan, dan datang ke penerbit. Tapi, ternyata redaktur penerbit itu menolak naskah kalian bahkan sebelum dibaca karena jumlah halaman yang kurang, apa yang akan kalian lakukan?”

“Redakturnya pongah.”

“Terlalu pilih-pilih.”

“Penerbit besar memang seperti itu.”

Sahut-sahut suara memenuhi ruangan itu. Kemudian aku mengarahkan padangan pada narasumber. “Apa yang akan Anda lakukan jika seperti itu?” tanyaku.

Moderator mengambil pelantam dan mengulangi pertanyaanku, sebelum akhirnya melimpahkan pada Joseph.

“Jika aku punya karya yang kuyakini bagus dan layak dibaca, maka satu-satunya jalan hanyalah aku harus berusaha menerbitkan karyaku. Bagaimanapun caranya,” Joseph menjawab mantap. Aku tersenyum padanya.

Malam ini aku pulang ke rumah Nyonya Tina tanpa membawa buku baru. Aku tak punya uang.

Terpengaruh perkataan Joseph kemarin, hari ini aku mengiderkan lagi naskahku. Kali ini aku memilih penerbit indie untuk menerbitkan novelku. Setahuku mereka, penerbit indie itu, kebanyakan memilih untuk menjunjung kualitas dibandingkan dengan selera pasar. Artinya mereka itu orang gila karena melawan arus. Sebenarnya masih ada banyak penerbit mayor di kota ini. Tapi aku tidak menyukainya. Kebanyakan buku-buku yang mereka terbitkan tidak bermutu. Hanya novel-novel berisi kisah picisan. Sementara aku, aku inginkan sastra, berisi dan gagah sebagai satuan kebahasaan!

Tenyata bukan gampang menyodorkan naskah pada penerbit kecil. Aku mengalah. Sudah dua tempat berbeda aku sambangi. Dan, keduanya sama-sama menerima novelku untuk ditawarkan ke yang lain. Mereka tidak menolak, hanya aku yang harus mengalah pada keadaan.

Penerbit pertama: “Maaf penerbit ini sudah mau tutup. Buku-buku kami gagal di pasaran.”

Penerbit kedua: “Maaf naskah yang ada pada kami sudah penuh untuk diterbitkan bulan ini.”

“Apa tidak bisa ditambah satu saja?” tanyaku memohon.

“Kami kehabisan modal untuk cetak.”

Menjelang makan siang aku tidak balik ke rumah Nyonya. Hari ini aku agak beruntung. Meski berjalan jauh, tenagaku tidak habis percuma begitu saja. Di jalan saat menuju tempat penerbit kedua aku tidak sengaja menemukan selembar uang terbang di jalanan. Karena tidak ada orang yang mengejar, berarti itu rezekiku.

Panas menyapu bangku-bangku di luar. Orang-orang yang berkantor di dekat sini memilih masuk ke dalam. Termasuk aku. Kupesan mocachino dan memilih tempat yang agak tenang di pojokan. Kedai ini lumayan, batinku, memandangi tembok yang begitu mengesankan. Gambaran tokoh fiktif “anak gila,” Holden caufield” dari The Catcher in The Rye, terlukis didinding kasir yang menghadap jalan. Dinding yang ada di sisi kanannya adalah detektif Sherlock Holmes, dan teman setianya Dokter Watson. Di Dinding yang berhadapan dengan dua penuntas masalah itu, terpajang kutipan-kutipan sastrawan dari seluruh dunia. “Selama wajah seorang kekasih terus bercahaya di dalam hatimu, dunia akan terus menjadi rumahmu.”, “Sekali berarti, sesudah itu mati.”, “Kami memang orang miskin. Di mata orang kota kemiskinan itu kesalahan. Lupa mereka lauk yang dimakannya kerja kami.”, “Kebaikan adalah hal yang bisa didengar orang tuli dan bisa dilihat orang buta.” Sayangnya tidak ditulis pada kata-kata yang terpampang itu kutipan dari siapa. Pengunjung seakan dipersilakan mencari tahu semua itu dari buku yang disediakan di rak yang bebas dibaca.

Pesananku diantarkan. Saat pelayan berbalik membelekangiku, aku menyadari sesuatu. Dia mengenakan topi merah yang sama, yang digunakan Holden saat keluar dari sekolah. Bukan hanya seorang, tapi semua pegawainya. Astaga…, aku benar-benar tercengang. Dan ternyata nama tempat ini: “Kedai Caufield!” Sungguh, apa jangan-jangan kedai ini milik keluarganya. Tapi mereka fiksi! “Anak gila” itu telah merasuki pikiran banyak orang, termasuk aku juga sekarang.

Aku bertahan di kedai ini cukup lama. Sangat, bahkan. Orang-orang kantor yang tadi masuk hampir berbarengan denganku sudah balik ke pekerjaannya dua jam yang lalu. Selama itu, aku beberapa kali mengangkat cangkir dan melihat sisa kerak di kedalamannya. Aku juga tidak tahu untuk apa kulakukan hal itu. Tapi menurutku hal seperti itu diperlukan agar lebih nyaman bertahan di suatu tempat. Selain melakukan hal “aneh” itu, aku membaca ulang naskah novelku. Tidak sampai selesai. Sekitar hampir setengah dan aku malah merasa muak dengan tulisanku. Ada yang mengganjal, sesuatu berkata dalam kepalaku bahwa, tulisanku itu jelek, dan tidak bakal bisa diterbitkan. Namun, aku berusaha berkali-kali memantapkan, novelku ini begitu bagus.

Setengah tiga, aku pergi dari kedai “Holden”. Kudatangi satu lagi tempat penerbit kecil yang kutahu. Kudorong pintu dan suara lonceng yang dipasang di atasnya berdentang. Seorang laki-laki, yang kemarin menjadi pembicara, sedang mengaduk kopi di pojokan ruangan menoleh. Dua laki-laki dan dua perempuan duduk berhadapan di meja panjang bergeming. Mereka terus meneruskan apa yang mereka lakukan tanpa peduli padaku yang datang. Detik demi detik berdetak belum ada yang bicara. Terpaksa aku yang memulai. “Saya punya novel pendek.”

“Sep, urus!” seorang perempuan yang berkacamata berteriak.

“Yang kemarin malam.” Joseph menghampiriku sambil membawa cangkir kopinya.

Aku tersenyum. Joseph menyalamiku, dan mengajakku duduk di luar.

“Bagaimana, bagaimana? Apa yang bisa saya bantu untuk Anda? Oh, ya ampun. Kopi?”

“Saya sudah tadi.”

Kami berdua duduk menghadap jalan. Joseph mengarahkan pandangannya pada benda yang ada di tanganku.

“Seperti cerita Anda kemarin, saya sudah tahu maksud kedatangan Anda.”  Orang ini benar sekali. “Joseph. Redaktur di sini,” dia katakan dirinya sebagai perkenalan resmi. Lalu dia melirik agak lama pada bagian bawah judul naskahku. Namaku tertulis disana. Tiba-tiba Joseph bertanya: “Kenapa menulis fiksi?”

Sejenak aku berpikir. “Aku berlindung dari kehidupan nyata dengan bertahan pada fiksi.”

Joseph hanya memandangiku dengan tatapan menilai.

“Jika aku tak bisa rasakan popularitasku karena aku terlebih dulu mati sebelumnya novel ini diterbitkan, aku gagal sebagai seorang seniman. Aku hanya jadi seorang pewaris, yang tidak tahu apakah karyaku benar-benar dihargai atau sudah dilupakan.” Kutambahkan ini untuk lebih meyakinkannya. Aku tidak lagi harus mengalah.

“Kau berbicara seolah mengancam kami,” balas Joseph dengan bibir terangkat.

“Mungkin aku memang harus berkata seperti ini, karena aku telah pergi ke banyak penerbit lain dan hasilnya ditolak.” Aku berkata jujur.

Entah karena sedikit doronganku atau apa, dia memberi kejelasan: “Kalau begitu kami akan menerbitkannya.”

“Kau janji padaku?” Aku bertanya bersungguh-sungguh, untuk meyakinkan diri sendiri. Seakan aku dan Joseph adalah pasangan kekasih yang akan menjalani hubungan jarak jauh.

Joseph menepuk bahuku. “Kami memang penerbit kecil, tapi kau akan jadi pengarang besar.”

“Kalau itu kau yang berlebihan.” Aku tidak kalah! batinku.

Perbincangan mendadak berhenti. Joseph mengeluarkan bungkus rokok dan menawariku. Aku mengambil satu. Lalu kami berdua melamun memandang kendaraan yang lewat sambil berkepul asap.

Farras Pradana
Latest posts by Farras Pradana (see all)

Comments

  1. Junaidi Khab Reply

    Banyak typonya…

  2. Anonymous Reply

    Suka bangettt

  3. Ar Reply

    Heu heu, mayanlah pereda dongkol

  4. Andris Reply

    Enak dibaca

  5. Oda Reply

    Pereda nyeri para penulis? Huhuhu

  6. Anonymous Reply

    Butuh cerita sambungannya ….

  7. Anonymous Reply

    sangat enak bacanya

  8. i'm rozal Reply

    ditunggu karya selanjutnya…

  9. Farras Pradana Reply

    Terima kasih sudah baca

  10. Mashadi Reply

    Gurih, ada manis-manisnya, yaaa agak pedas juga

  11. Radja Reply

    membuat yakin ! indie.

  12. Anonymous Reply

    Ringan, tapi berbobot. Nah loh

  13. Anonymous Reply

    suka sekali!

  14. S.J. Wiratama Reply

    Cerita ini sangat menarik dibaca. Di awal kita bisa dibuat tegang dengan usaha penulis agar cerpennya diterbitkan. Namun, entah kenapa diakhir hanya terjadi seperti itu. Maksudnya efek tegangnya hilang atas diterimanya penulis pada penerbit itu, tanpa diketahui bagaimana akhir novel itu ketika diterbitkan. Bagian paling mengganjal bagiku adalah jika penerbit itu mau menerimanya dengan mudah seperti itu, mengapa tidak dari dulu saja ke sana. Sekian terimakasih😁

  15. Bejo Reply

    Hunger?

  16. Anonymous Reply

    Di tunggu kelanjutannya, , ,

  17. Wildan Widya Rakhman Reply

    Penyegaran buat saya yang punya niat menerbitkan naskah lewat jalur indie.

  18. yunita karang Reply

    bahasanya mengalir dan berbobot

  19. yunita karang Reply

    bahasanya mengalir dan sangat berbobot

  20. Anonymous Reply

    https://farraspradana26.blogspot.com/

  21. Hallo Man Reply

    Kenyataan yang harus mulai dicicipi semua calon penulis di luaran sana: menulis adalah sebuah jalan perjuangan yang tidak semudah ekspektasi terdahulu… 😁

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!