
Neth bisa melakukan gerakan salto koprol sebanyak tiga kali dan berhasil mendarat dengan posisi kaki yang masih tegak. Berkat itu ia mendapat nilai sempurna dari Mas Ian, kakak pelatih yang telah bersabuk biru. Otot dan tulang kaki Neth memang sekuat lelaki. Bedanya dengan lelaki, Neth sungguh melindungi aku.
Dari balik pintu kedai, aku bertepuk tangan. Kuusahakan tanpa suara agar tidak ada seorang pun tahu aku sedang mengintip dan berujung bahagia. Terutama Pak Tom. Lelaki tambun itu lebih menganggap aku kuda daripada manusia. Kerja, kerja, dan kerja.
Sebetulnya aku ingin angkat kaki seperti kepergianku sebelumnya, meski dengan dua alasan berbeda. Dulu aku pergi karena tidak tahan melihat kemarahan. Dan kini aku ingin pergi karena tidak tahan selalu dimarahi. Aku dianggap penjahat kelas kakap hanya karena memecahkan sebuah gelas, dan itu pun tanpa sengaja karena terjatuh dari nampan. Akan tetapi, pergi dari Neth?
Neth langsung menganggapku sahabat di awal pertemuan kami. Hanya saja, aku tidak suka. Sahabat adalah separuh perjalanan yang telah tertempuh. Sedangkan aku dan Neth belum menempuh perjalanan selangkah pun, semisal berbagi potongan kue atau menghadap matahari jelang senja dengan duduk di bangku yang sama, sebagaimana yang pernah kulakukan dengan seorang perempuan dewasa yang wajahnya sudah seperti nenek berpenyakitan yang dua atau tiga hari lagi bakal mati. Memang kemudian ia memang benar-benar mati, dan itu menjadi kebahagiaanku yang pertama.
Lucu memang karena kematian justru menjadi sumber dari rasa bahagia. Terlebih jika kematian itu adalah kematian sahabat sendiri. Lebih lucu lagi karena aku baru merasakan kebahagiaanku di umur jelang dua puluh. Enam bulan lalu. Satu bulan kemudian aku bertemu Neth, kebahagiaanku yang kedua.
“Bisa kau pukul balik cowok model begitu?” seru Neth kepadaku dengan nada begitu kesal. Tangan kanannya mengepal dan memukul-mukul telapak kirinya yang terbuka. Beberapa saat sebelumnya, Neth yang tengah takzim menikmati seporsi mie ayam tambah ceker, bangkit dari duduknya. Tangannya tidak terulur kepadaku, seperti umumnya prosesi perkenalan, melainkan mencekal kerah baju lelaki mata keranjang yang mencolek pinggangku kala aku menyajikan semangkuk bakso pesanannya.
Hal itu sering terjadi dan Pak Tom tidak membelaku. Yang dipikirkannya hanya pengunjung yang semakin ramai sejak ada aku. Kebanyakan dari mereka adalah lelaki muda, mungkin beberapa tahun lebih tua dariku. Dan aku terbiasa pula dengan lelaki macam begitu. Lelaki yang melindungi dan menjaga perempuan hanya ada dalam novel fiksi. Namun, perempuan yang melindungi dan menjaga perempuan, baru sekali ini aku tahu.
Lelaki mata keranjang itu mengumpat Neth yang dituduh mencampuri urusannya. Untungnya, jelang siang itu pengunjung kedai sepi. Beberapa jam lagi biasanya baru ramai saat jam istirahat kantor yang bersamaan dengan jam pulang anak-anak sekolah menengah. Dan karena sedang sepi itu, aku tidak buru-buru ke dalam dan bersiap untuk mengantarkan pesanan baru. Aku mematung bagai biksu menyaksikan Neth adu mulut dengan si lelaki bertubuh ceking. Mungkin karena ceking itulah nyalinya langsung ciut ketika Neth menyingsingkan ujung baju dan menampakkan lengannya yang gempal. Si lelaki pergi dengan bersungut-sungut ke arah kasir yang berada di depan.
“Jangan-jangan kau malah suka diperlakukan seperti itu. Jadi sia-sia saja aku membelamu, bah!”
“Demi Tuhan, itu tidak benar!” seruku. Namun, dengan segera aku menutup mulutku. Dan kali ini kulakukan dengan kesadaranku sendiri. Dulu perempuan dewasa sahabatku itu yang selalu mengarahkan aku agar menutup mulut. Tidak boleh bercerita kepada siapa-siapa. Ia tidak ingin membebani orang tuanya di kampung halaman sana dengan kenyataan bahwa sebenarnya ia tidak bahagia.
“Kalau begitu kenapa diam saja?” bentak Neth. Aku tertegun mendengar suara tenornya. Nadanya mengingatkanku pada nada bicara seorang lelaki tinggi besar, berkumis tebal, dan berhidung mekar. Lelaki yang kupanggil dengan ‘dia’, meski ibu tak pernah jemu mengingatkanku bahwa kami sedarah daging. Kenyataan itu membuatku heran dengan perempuan yang telah melahirkanku itu. Ia sedang mempraktikkan kesabaran atau kebodohan?
“Memangnya apa yang bisa dilakukan seorang perempuan? Bukankah harus menurut dan diam?” tanyaku.
Bola mata Neth membesar, seolah ingin keluar dan memisahkan diri dari kelopak induknya. “Kalau begitu kau harus bersahabat denganku agar tahu apa saja yang bisa dilakukan seorang perempuan.”
Hari-hari berikutnya aku baru tahu bahwa Neth adalah anggota sebuah perguruan pencak silat. Ternyata Neth adalah salah satu dari kelompok berbaju hitam yang selalu melakukan kegiatan latihan setiap malam Kamis dan Minggu di halaman depan kantor kecamatan. Kedai tempat aku bekerja persis di samping kantor kecamatan itu. Kupikir mereka laki-laki seluruhnya karena semua berambut pendek. Ternyata terselip Neth di antaranya, satu-satunya anggota pencak perempuan.
Sejak peristiwa itu, Neth jadi sering makan di kedai Pak Tom. Kadang bakso, kadang mie ayam, kadang seblak. Selalu aku yang mengantarkan pesanan ke mejanya. Curi-curi waktu untuk mengobrol dua tiga patah kata di sela-sela waktu kerja, sudah memberiku kebahagiaan luar biasa. Entah telah berapa kebahagiaan yang Neth berikan kepadaku sejak kami bertemu, meskipun ia tidak menyadarinya. Dan mungkin tidak akan pernah menyadarinya.
Jika pesanan Neth hendak diantar pelayan lain, aku rela memohon-mohon agar bisa menggantikannya. Kerelaanku memohon layaknya pengemis itu dulu juga pernah dilakukan ibu agar ‘dia’ berhenti memukul tangannya, berhenti menendang pinggangnya, berhenti menempeleng pelipisnya. Tetapi setiap rintihan yang keluar dari mulut ibu justru terdengar berbeda di telinga ‘dia’, mungkin menjadi semacam kalimat tantangan. Buktinya ‘dia’ justru semakin kuat dan sering memukul, menendang, dan menempeleng ibu. Sejak itu ibu menutup mulutnya dan mengajarkanku melakukan hal yang sama.
‘Dia’ tidak suka ibu bergaul, punya banyak teman, sering pergi, dan bertanya macam-macam tentang hal yang dilakukannya di luar rumah. Bagi ‘dia’ tugas istri hanya melahirkan keturunan dan memasak yang enak. Selebihnya mesti menurut. Tidak boleh menuntut seberapa pun yang diberikan suami.
“Ibu pasti sedih tidak punya teman, ya?” tanyaku waktu itu.
“Kata siapa tidak punya? Ibu kan sudah memiliki sahabat terbaik. Anak Ibu yang sudah besar dan cantik ini.” Ibu mengacak poniku. Aku suka satu bagian dari kalimatnya itu: sahabat. Mungkin hanya dengan menjadi sahabat, aku merasa telah melakukan sesuatu untuk ibu. Selama ini aku tak ubahnya manekin yang hanya mampu memandangi ibu yang menjadi sasaran amarah. Aku ingin melindungi ibu, tetapi ‘dia’ tak segan mengunciku di gudang yang gelap dalam keadaan perut lapar.
Namun, bagaimanapun dipenjara layaknya gadis pirang yang dikunci nenek sihir dalam puncak menara, berita bahwa ‘dia’ punya perempuan muda di luar sana sampai juga ke telinga ibu. Tidak hanya satu, tetapi beberapa. Seorang tetangga perempuan yang kerap bergosip, bertamu ke rumah kami dan mengembuskannya.
Mengenai perempuan muda itu, ibu memberanikan diri untuk bertanya. Dan seperti yang kuduga, beberapa bagian tubuh ibu menerima hukumannya. Aku menjerit-jerit di gudang ketika kudengar suara benda jatuh dan berdebam. Ternyata itu ibu. Ia bersimbah darah, terluka parah. Dokter tak mampu menyelamatkannya.
Entah apa yang ‘dia’ katakan hingga semua orang percaya bahwa kematian ibu adalah kematian biasa. Sehari setelah pemakaman, aku memilih angkat kaki, diiringi senyum ibu setiap kali aku mendongak ke langit untuk menemukannya di nirwana. Itu pertanda, ibu sudah bahagia karena bisa lepas dari monster berkedok suami. Dan jika ibu bahagia, aku orang pertama yang ikut bahagia.
Aku mengulang-ulang di otakku percakapan terakhir dengan ibu. Sebagai penguat dan pembunuh rindu. Bahwa aku sahabat terbaiknya. Bahwa aku sudah besar dan cantik. Dulu ibu selalu menggodaku jika ada beberapa lelaki yang mendekatiku.
Ibu bilang gadis sebaik dan secantik aku pasti mendapatkan lelaki yang baik pula. Ibu juga bilang aku cocok dengan seorang lelaki tinggi besar. Tetapi aku menggeleng. Bukankah ‘dia’ juga tinggi besar dan kekuatannya itu justru digunakan untuk menyakiti. Begitu pun ketika ibu bilang lelaki muda berkumis tipis itu sungguh manis, atau lelaki anu dengan ciri-ciri itu, selalu saja membuatku teringat ‘dia’ beserta kenangan akan luka yang dibekaskannya di relung hati.
“Jadi, lelaki seperti apa yang kau sukai?” tanya ibu kala itu. Kali ini Neth juga menanyakan hal yang sama. Sebelumnya, ia datang dengan motor besar dan mengajakku berkeliling. Kami menepi pada sebuah bangku di alun-alun kota dengan menggigiti arum manis berwarna merah muda. Sayang sekali ini bukan senja, tetapi malam bermendung tanpa kerlipan sebiji mata pun rembulan dan bintang.
“Entahlah,” jawabku.
“Aneh kali kau ini, bah. Aku saja bingung kenapa tidak ada seorang laki pun suka kepada cewek tomboi macam aku. Mungkin karena aku tidak good looking macam perempuan pada umumnya, ya? Giliran kau, malah menolak-nolak pula.”
“Tidak, Neth. Kau salah. Kau teramat manis. Juga baik. Meski nada suaramu keras, tetapi hatimu sungguh lembut.”
Neth tertawa. Badannya sampai berguncang dan arum manisnya belepotan di ujung-ujung bibir. “Untung kau perempuan. Kalau laki, sudah pasti langsung minta kawin aku.” Dan Neth tertawa lagi.
Aku merasa begitu nyeri. Untuk pertama kali, Neth membuatku patah hati setelah bertubi-tubi memberi bahagia. Tapi sebagaimana memberi rasa bahagia, sedihku pun tak disadarinya.
Mengapa aku harus bersyarat laki-laki untuk bisa kausukai, Neth? batinku.
Neth menoleh dan tersenyum kepadaku. Demi Tuhan, ia terlihat menarik sekali.
OM Budi
Lanjutkan berkarya, Bagus cerpen nya
Rapka Alparizi
lanjutkan bakat mu kak, bagus banget cerpen nya👍👍
NN
tokoh aku mencurigakan….
halub
Yaelah penyuka sejenis!
Cangkir rindu
OMG….. OMG OMG OMG. I’M SPEECHLESS. This is beyond beautiful… The way you wrote and pictured si ‘aku’, juga bagaimana respon trauma terselubung yang disebabkan oleh ayahnya; si ‘aku’ yang menunjukkan dia takut dimarahi, nada tinggi, dsb. Dan juga dinamika singkat antara Neth dan si ‘aku’, I totally get it.
Terus gaya penulisannya? I love it. Really love it. Cantik banget.
Thank you for making such a beautiful cerpen. Terus berkarya kak <3.
Fadillah
Keren bgt cerpennya kak. Aku ga tau harus apa pas ending. Shock? Happy? Sedih?
Gaya nulisnya juga bagus. Ga bikin boring. I really love it