Paman Don

ilustrasi paman don-Optimized

“Ada Paman Don, Kak!” kata adikku, Dian, saat kepalanya muncul dari celah pintu kamar. Raut mukanya menunjukkan kesinisan seperti biasa setiap kali Paman Don datang ke rumah. Aku meletakkan majalah yang sedang kubaca, lalu ikut menunjukkan wajah tidak suka.

“Ada apa lagi, sih, ke sini terus?” tanyaku pada Dian yang sudah melangkah untuk duduk di tempat tidurku.

“Sepertinya Mama mau konsultasi lagi deh, Kak,” kata Dian, memberiku jawaban yang sebenarnya telah kami ketahui. Selama ini, hanya itu satu-satunya alasan Paman Don datang ke rumah.

“Konsultasi apa lagi?” seingatku, akhir-akhir ini Mama tidak terlibat masalah apa pun.

“Mama sepertinya tadi nelepon dia, aku sempat dengar kalau ini soal jabatan baru Mama. Mama pusing karena banyak yang membuat gosip tidak enak di kantor dan sore ini Paman Don langsung datang ke rumah,” jawab Dian rinci.

“Memangnya Paman Don itu siapa, sih? Semua dikonsultasikan Mama ke dia. Kalau ngobrol saja sih nggak apa-apa, lah ini bantuannya selalu aneh-aneh.” Suara bernada amarah terpaksa kutahan agar keluar pelan-pelan, mengingat kamarku yang letaknya tidak terlalu jauh dari ruang keluarga tempat Mama dan Paman Don berdiskusi atau entah apa namanya.

***

Namanya Doni. Kakak mamaku yang paling tua. Namun kami, para keponakannya, diajarkan sedari kecil untuk memanggilnya Paman Don. Pekerjaannya pegawai swasta, selain itu dia juga melayani konsultasi tentang masalah-masalah yang tidak biasa. Alias “orang pintar”. Menurut Mama, Paman Don sering kali berkeliling Indonesia untuk menemui pasiennya yang berasal dari beragam latar belakang, seperti pejabat, artis, polisi, guru, dan masih banyak lagi. Seharusnya uangnya banyak, tapi yang sering kudengar Paman Don berkali-kali hidup dalam pelarian karena dikejar-kejar utang. Kata Mama, gaya hidup Paman Don-lah yang membuatnya selalu terlilit utang.

“Dia selalu mau makan enak,” kata Mama pada suatu waktu. “Uang yang didapat langsung habis untuk makan enak,” lanjut Mama lagi.

Tapi aku heran, kenapa Paman Don masih tetap kurus.

Ingatanku akan Paman Don dari dulu tidak pernah berubah baik. Aku ingat saat aku kecil dulu, Paman Don yang sedang bertamu dan mengobrol dengan Mama tiba-tiba menunjukku dari kejauhan karena aku berada di ruangan yang berbeda.

“Maya, itu tidak boleh begitu!” tegurnya keras sambil agak melotot.

Aku yang masih berusia sembilan atau sepuluh tahun hanya bengong dan mencoba mencerna maksudnya.

“Itu duduknya. Perempuan apa yang duduknya begitu!” hardiknya lagi.

Sampai saat ini, kejadian itu meninggalkan memori buruk di pikiranku. Aku tidak suka Paman Don, dia pernah mempermalukanku di depan Mama dan keluarga lainnya dengan suaranya yang lantang dan kasar. Sejak saat itu, tidak pernah sekali pun aku berbicara panjang dengannya. Hanya sekadar basa-basi belaka.

***

“Kecanduan” Mama akan berkonsultasi dengan Paman Don menimbulkan kekhawatiran tersendiri di dalam keluarga kami. Aku, Papa, dan Dian mulai merasa terganggu dengan hal ini. Setiap kali Mama selesai berkonsultasi, Paman Don selalu memberikan air atau minyak yang telah dijampi-jampinya untuk membantu persoalan Mama. Entah itu diminum, dioleskan ke wajah, atau ditaburkan ke suatu tempat yang menjadi sumber masalah. Minyak itu dijualnya dengan harga yang mahal, tapi Mama selalu membelinya.

Aku juga ingat, satu hari setelah pernikahanku, Mama mendatangiku ke kamar saat suamiku sedang pergi keluar.

“Nih, simpen, ya. Udah didoain Paman Don. Kasih ke suami kamu biar dia nurut, karena kelihatannya dia agak keras orangnya,” ujar Mama sambil meletakkan sebungkus gula dan sebungkus kopi di atas kasurku.

“Kalau yang ini, kamu oles ke kedua alismu sambil menghadap matahari terbit. Dipakainya nanti saat kamu mau menghadap bosmu atau orang penting. Nanti, insya Allah orang yang melihat kamu jadi seneng sama kamu dan kamu bisa cepat naik jabatan.” Kali ini Mama bicara sambil menyodorkan botol sangat kecil berisi cairan bening yang akhirnya dia letakkan juga di atas kasur.

“Maya nggak suka yang gitu-gitu, Ma.” Akhirnya aku mengeluarkan pendapatku tentang perlakuan Mama.

“Halaaah…, kamu ini, itu semua didoain sama Paman Don. Paman Don itu shalat semalaman untuk doain kamu. Dia itu ibadahnya lebih bagus dari kamu. Shalatnya nggak pernah tinggal, kalau malam kerjanya hanya shalat dan dzikir semalaman. Harusnya kamu berterima kasih sama Paman Don,” Mama mengoceh panjang lebar membela kakak tercintanya.

Malas berdebat dengan Mama, aku akhirnya diam saja sampai Mama meninggalkan kamar. Gula, kopi, dan botol kecil yang berisi entah apa itu akhirnya berakhir di kotak sampah tetangga.

***

Beberapa bulan yang lalu, saat adikku Dian akan menikah, dia sempat dibuat marah besar oleh kelakuan Mama dan Paman Don. Malam itu, sehari sebelum acara akad nikah, Paman Don datang ke rumah. Mama asyik berbincang dengannya di ruang tamu, lalu lima menit kemudian Paman Don keluar dan mulai menaburkan garam di sekitar rumah kami. Melemparnya juga ke atas genting rumah kami. Dian masuk ke rumah dan mendatangiku dengan menahan tangis. Calon pengantin itu begitu terluka karena acara sakralnya besok harus dikotori dengan ritual semacam itu. Hanya kepada Papa dia berani meluapkan kemarahannya.

“Pa, tolong bilang sama Mama. Aku nggak suka kayak gitu. Dosa. Ini acara aku. Mas Adi dan keluarganya itu orang alim, Pa. Aku malu kalau sampai mereka tahu keluarga kita kayak gini!” Dian mengeluarkan semua emosinya kepada Papa hingga air matanya tumpah.

Papa hanya diam mendengarkan. Papa tahu kalau dia tidak mampu mencegah Mama. Kalau ia sampai melarang Mama melakukan itu semua, pasti akan terjadi keributan besar dan Papa adalah tipe orang yang memilih diam untuk menghindari pertengkaran.

Malam itu, setelah melampiaskan semua kesedihan dan kekecewaannya, aku melihat Dian masuk ke kamar dan membentangkan sajadah.

“Shalat yuk, Kak,” ajaknya kepadaku.

“Kita doain Mama cepet sadar. Aku nggak mau Mama masuk neraka, Kak. Mama orang baik,” katanya sambil menahan air mata yang hampir tumpah lagi.

Besoknya pernikahan Dian berjalan lancar. Kata Mama, ini semua berkat Paman Don.

***

Semakin hari, keberhasilan-keberhasilan Paman Don dalam membantu pasien-pasiennya semakin sering terdengar di rumah. Tidak hanya Mama, Papa yang awalnya antipati terhadap Paman Don kini perlahan mengakui “kelebihan” yang dimiliki oleh pamanku itu.

“Kamu tahu nggak, dulu, Nenek (sebutanku untuk orang tua Mama) saat lagi di pasar bersama Paman Don yang masih kecil, didatangi oleh seorang kakek tua,” Mama memulai ceritanya kepadaku dan adik-adikku yang selalu diulang-ulang di setiap kesempatan berkumpul bersama keluarga besarnya. “Kakek-kakek yang sepertinya peramal itu ngomong kalau Paman Don itu anak yang berbeda, dia punya kelebihan,” lanjut Mama dengan bangga.

“Ternyata, ya ini kelebihannya, kan?! Bisa bantu kita semua,” kata Mama yang dijawab dengan persetujuan kompak dari seluruh keluarga besar yang memang sangat menghormati Mama karena bisa dibilang mamalah yang paling sukses di antara mereka.

Akibat informasi tentang kehebatan Paman Don yang setiap saat “dinyanyikan” Mama dan keluarga yang lain, keraguan mulai tumbuh di hatiku. Apa benar Paman Don sehebat itu? Lalu, sedetik kemudian aku heran sendiri karena citra Paman Don mulai berangsur membaik di mataku. Aku tidak menyukai keadaan ini. Aku membencinya kan dari dulu? Dari kecil.

***

Pagi ini seiisi rumah dibuat heboh oleh lengkingan tangis Mama. Cincin berlian Mama hilang dicuri dari kotak perhiasannya. Mama sendiri tidak tahu kapan pastinya cincin berlian itu hilang karena dia jarang mengecek simpanan perhiasannya. Suasana pagi itu sungguh mencekam. Penuh kecurigaan terhadap seluruh penghuni rumah. Semua lebih banyak diam, takut salah berucap. Dinginnya suasana rumah saat ini mirip sekali dengan suasana rumah yang baru ditinggal anggota keluarganya menghadap Sang Pencipta. Hening. Dingin. Ditambah dengan isak tangis Mama dan tatapan-tatapan kebingungan.

Aku yang mendampingi Mama sedari tadi hanya sibuk membolak-balik isi lemari pakaian Mama yang bagaikan terkena gempa. Sementara Mama, masih dengan isak tangisnya membongkar keluar seluruh isi lemari dengan frustrasi. Lalu tiba-tiba Mama berhenti dari kegiatannya dan seperti teringat sesuatu, dia segera berjalan tergesa menuju meja rias untuk mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat.

“Mama tanya Paman Don, Paman Don pasti tahu cincin itu ada di mana dan diambil siapa,” ucapnya kepadaku seolah aku bertanya.

Aku hanya mengangguk. Ini bukan waktunya untuk berdebat tentang Paman Don.

Tidak lama, ada balasan pesan ke ponsel Mama yang masih belum ia lepas dari tangannya. Balasan pesan itu, ajaibnya langsung membuat Mama semringah. Dia menghentikan semua kegiatannya mengubrak-abrik isi lemari.

“Kata Paman Don, cincin itu tidak hilang. Hanya nyelip. Sabar saja, tidak usah dicari nanti juga ketemu,” katanya membacakan isi pesan singkat balasan dari Paman Don.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk, lalu kutinggalkan Mama yang tampaknya sudah tidak peduli lagi dengan pencarian cincin berliannya. Dia mempercayai sekali kata-kata, “Tidak usah dicari, nanti juga ketemu,” yang keluar dari mulut Paman Don melalui pesan singkatnya.

Aku meninggalkan kamar Mama dengan perasaan campur aduk. Lega sekaligus senang. Aku masuk ke kamar, menutup pintu, dan berbaring di tempat tidur.

Usai sudah huru-hara pagi ini. Paling tidak, dalam waktu dekat Mama tidak akan heboh lagi dengan kehilangan berliannya. Kuakui, Paman Don sangat berjasa kali ini, dia telah menghilangkan suasana mencekam dan saling mencurigai di dalam rumah. Tapi aku juga senang karena dugaanku tepat bahwa Paman Don tidak sehebat itu. Dia hanya orang biasa yang pintar bicara sehingga banyak orang percaya kepadanya. Buktinya, kali ini ramalannya salah.

***

Aku tersenyum sambil memandangi cincin berlian seharga jutaan yang kuambil dari selipan kecil di bawah tempat tidurku. Berlian ini lebih dari cukup untuk membiayai gugatan ceraiku kepada Mas Yoga, pria yang sering kali meninggalkan noda merah dan nyeri di pipiku.

Sumber Gambar: static.shortoftheweek.com

Yenita Anggraini
Latest posts by Yenita Anggraini (see all)

Comments

  1. Frida 'vree' Kurniawati Reply

    Ceritanya mengalir dan asyik diikuti sampai akhir. Eh, twist-nya tak terduga 😀

  2. EDI AH IYUBENU Reply

    Makin matang anjis ini. Dewasa.

    • Yenita Anggraini Reply

      Hua..,dicomment Pak Bos. Alhamdulillah, Pak. Terima kasih atas bimbingannya di Kampus Fiksi.

  3. أسميرى فيا Reply

    bahasanya ringan, dan ceritanya bermakna. Saluut!!

  4. Eko Agus Triswanto Reply

    Mak, Jleb….!!!

  5. Adam Reply

    Pesan moralnya, jangan gampang percaya sama orang, meski sehebat apapun dia. Endingnya ajaib malah, langsung membuat saya sumringah, seakan membaca balasan dr Paman Don. Wkwkwk…

  6. TIto Afwi Senda Reply

    hahahaaha keren kak endingnya

Leave a Reply to Eko Agus Triswanto Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!