Perempuan yang Merindu dan Empat Puluh Empat Pernikahan

twimg.com

Ini pernikahan keempat yang kusaksikan dari beranda kamar. Pengantin wanitanya ada dua, kembar. Mereka mengadakan pesta di hari yang sama dengan gaun yang hampir mirip namun dengan warna yang berbeda. Kedua mempelai pria juga tampak akrab satu sama lain. Membuat geli karena sensasi aneh yang ikut kurasakan dari lantai empat belas ini.

“Seru ya kalau punya saudara kembar!”

Aku mengalihkan pandangan dari pesta di bawah sana, menantang matahari sore demi memandangnya, laki-laki yang duduk di depanmu. Kamu ikut mengalihkan pandangan dari pesta dan memandang laki-laki itu.

“Kalau istrinya tertukar gimana, ya?”

“Jadi kamu mau nikah sama orang kembar biar bisa tukeran, gitu?” sindirmu dengan nada sangat sinis. Dia malah tertawa. Tawa yang menggemaskan kalau menurutmu.

“Iya ya, mungkin begitu lebih seru!” selorohnya, membuatmu kesal.

Aku kembali memandang pesta di bawah sana, yang dihiasi dengan pernak-pernik serba putih, sampai ke bunga-bunganya. Tak menghiraukanmu lagi yang masih memandangnya kesal. Aku hanya ingin menikmati pesta itu dalam diam dari atas sini, bersamamu, dengan angin sore hari yang menyegarkan. Senyum hangat para pengantin itu membuatku tersenyum sendiri. Sampai laki-laki itu mengucapkan sesuatu yang tak pernah kukira akan terucap di depanmu.

“Aku iri pada laki-laki itu….”

“Kenapa?”

Ia tersenyum kepadamu. “Aku tak bisa melakukan hal yang sama pada wanita yang selama ini berusaha kucintai.”

***

Ini pernikahan kedua puluh empat yang kusaksikan dari beranda kamar. Musiknya sering kali mengganggu istirahatku, mengusik waktu sendiriku saat menunggumu pulang. Namun aku hanya bisa terdiam di sudut beranda apartemen blok paling ujung di lantai empat belas bangunan berlantai dua puluh ini, memandang sebuah lahan terbuka gedung sebelah yang hanya disewakan untuk pesta orang-orang berkantong tebal. Tampaknya musim kawin sudah dimulai.

Aku menyukaimu sejak datang ke apartemen ini—mendedikasikan hidupku untuk menjagamu siang dan malam. Kita sering menghabiskan malam bersama di beranda mungil ini, dihibur oleh angin malam dan secangkir kopi. Banyak cerita yang kudengar darimu, dari sejak lulus kuliah dan mendapat pekerjaan sampai ketika kamu bertengkar dengan rekan kerjamu. Bahkan cerita kamu jatuh cinta pada lelaki yang seharusnya tak boleh kamu cintai.

Malam ini, nuansa ungu menyelimuti pesta meriah di bawah sana, di tepi kolam yang airnya dipenuhi kelopak mawar merah muda. Sebenarnya aku tak sepenuhnya membenci pesta-pesta pernikahan yang berisik itu. Malah aku kadang menikmatinya dengan atau tanpa kehadiranmu. Aku senang memperhatikan semua kegiatan orang-orang bergaun mewah dan berjas mahal yang mondar-mandir di pesta itu. Tentunya tawa palsu mereka juga menarik.

Malam ini tampaknya kamu ingin tidur cepat. Sepertinya harimu tak berjalan sebaik biasanya, lihat, wajahmu lusuh dan tampak mengerikan. Atau mungkin kamu hanya lelah.

“Berisik!”

Kamu melempar sepatu berhak tinggi itu ke jendela yang memisahkkanmu denganku yang ada di beranda, membuatku terkejut setengah mati. Tanpa peduli apa-apa lagi, kamu tanggalkan pakaian dan bergelung di atas ranjang. Aku yakin benar sekarang kalau kamu bukan hanya lelah. Sesuatu meresahkanmu, membuatku takut juga.

“Argh, Julia!”

Suara teriakan itu memaksamu membuka mata kembali dan kudapati seorang lelaki berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut yang luar biasa. Tangan kiri laki-laki itu memegang beberapa map dan tangan kanannya membawa tas kerja, yang kupikir adalah milikmu—tentunya karena aku sudah hafal mana saja barang kepunyaanmu.

“Pakai bajumu!” serunya sambil berjalan ke sudut kamar untuk meletakkan barang-barang milikmu ke atas meja.

“Kau kan sudah sering melihatku begini… taruh di sana dan pulanglah!”

Dari tempat aku berdiri, laki-laki itu berkacak pinggang selama beberapa saat dan kemudian menghampirimu. Dalam satu tarikan, selimut sudah menutupi tubuh kurusmu. Aku ingin menghajar laki-laki yang bersikap kurang ajar padamu, namun apalah daya aku tak bisa bergerak sesuai keinginan. Aku tak bisa menghentikannya untuk menyentuhmu di malam-malam dingin sebelumnya. Aku tak bisa berbuat apa pun saat melihatmu meneteskan air mata saat ia memuaskan nafsunya. Aku tak bisa apa-apa untuk menolongmu, Julia.

“Kamu harus mandi sebelum tidur. Kubuatkan susu panas untukmu.”

Laki-laki itu melenggang keluar sambil menggelung lengan kemejanya sampai siku. Aku memejamkan mataku lagi, tak ingin melihatnya memaksamu melayani kebinatangannya. Kemudian kudengar laki-laki itu berucap dan ternyata ia duduk di sampingmu sembari menyodorkan segelas susu cokelat. Aneh, tidak biasanya ia berlaku sopan padamu seperti ini.

“Julia, bangun…. Mandi dulu….”

Perlahan, ia membantumu meminum susu itu dan menuntunmu ke kamar mandi. Kamu keluar lima belas menit kemudian dengan wajah yang sedikit lebih segar. Namun aku tahu betul, kamu sedang kacau. Kamu bisa saja melompat dari beranda kalau tidak ada laki-laki itu sekarang. Sedikitnya, aku bersyukur ada laki-laki itu sekarang. Ya, untuk kali ini saja.

“Apa perlu kupanggilkan dokter?” Laki-laki itu menatapmu, terlihat khawatir. Entah apa yang terjadi dengannya hari ini, yang jelas aku hanya mengkhawatirkan kondisimu.

“Pulanglah, Arga.”

Kamu melewatinya dan kembali bergelung di balik selimut. Laki-laki itu menghela napas panjang dan memberimu kecupan di dahi, lalu pulang dengan langkah perlahan. Setelah Arga pergi, bukannya memejamkan mata, kamu malah memilih beringsut ke lemari pakaian di sudut kamar, meraih sebuah kemeja berwarna biru tua yang warnanya sedikit memudar di bagian kerah dan ujung lengannya. Kamu membuka jendela kamar yang tingginya hampir menyentuh langit-langit, dan berjalan menuju beranda. Di sampingku, kamu duduk sambil memeluk kemeja lusuh itu.

Kamu punya kebiasaan baru semenjak kepergian Guntur—laki-laki yang berhasil membuat hidupmu berubah seratus delapan puluh derajat, ah tidak, hidupmu berputar tiga ratus enam puluh derajat. Semenjak Guntur pergi, kamu yang ceria kembali menjadi kamu yang lama—yang tak pernah tersungging senyum di bibir. Rasanya aku bisa merasakan sakitnya kamu menahan rindu yang kadang melebihi sakit kepala sekalipun. Kalau sudah begitu, tak ada yang bisa mengalahkan bau tubuh Guntur yang bisa segera kamu nikmati melalui kemeja biru tua itu. Aku sendiri kurang yakin apa yang membuat kemeja itu masih memiliki bau yang kuat yang bisa mengingatkanmu padanya. Kamu begitu suka menciumi baunya. Sesuatu yang menggemaskan. Sesuatu yang lucu. Bau yang membuat candu.

“Bahkan Arga sekalipun tak bisa memberikan rasa candu ini….” Kamu melongok ke bawah, tersenyum sinis. “Mungkin aku akan melewati pernikahan kesekian dengan meringkuk di beranda bersama kemeja biru tua ini selamanya.”

***

“Kurasa aku akan lompat dari sini. Kebetulan sekali ada pesta di bawah.”

Aku terkejut mendengarmu berucap seperti itu. Sebelum kamu melangkahkan kaki lebih lanjut, aku benar-benar panik, berusaha untuk menghalangimu. Namun sia-sia, aku tak bergerak sesenti pun dari tempatku berdiri kaku. Kalau aku bisa menangis, aku akan menangis sekarang dan meraung agar kamu tak melompat ke bawah.

Aku bengong begitu melihatmu berdiri di sampingku, menatap ke bawah dengan mata melotot dan mulut sedikit terbuka. Aku yakin bukan pernikahan itu yang menghentikanmu. Ada sesuatu di sana yang aku tak tahu apa itu.

“Kenapa dia…?”

Kalimatmu tak selesai, menggantung bebas seperti langkahmu yang begitu kencang menuju pintu. Beberapa menit kemudian kulihat siluetmu berlari di tengah kerumunan orang-orang bergaun dan berjas mengkilap itu. Kamu tampak mencolok hanya karena turun mengenakan gaun tidur tipis yang melambai ditiup angin. Tiba-tiba kamu berhenti di dekat mempelai wanita yang tengah menyapa tamu. Bukan dia yang kamu tatap tetapi seseorang di sampingnya yang kutahu benar siapa itu. Guntur.

Aku tak memiliki pendengaran ultrasonik untuk mengerti apa yang kamu ucapkan di bawah sana. Yang kutahu kamu sangat marah, air matamu menetes dan menderas sembari menarik lengan kemeja Guntur. Kamu terlihat frustrasi dan menjambaki rambutmu sendiri. Kamu berteriak di depan wajahnya. Beberapa keamanan segera merangsek masuk dan menyeretmu menjauh.

Aku tak habis pikir dengan Guntur. Kenapa dia membiarkanmu diseret petugas seperti anjing gila? Kenapa dia pura-pura tak mengenalmu? Kenapa?

“Aku tak akan mati sebelum dia mati di tanganku!”

Suaramu terdengar bahkan sebelum sosokmu muncul di ambang pintu. Rambutmu berantakan, gaun tidurmu kusut, wajahmu memerah marah akibat menangis. Aku ingin merengkuhmu, menggantikan Guntur, namun sekali lagi aku tak berdaya di sudut beranda. Kamu melempar semua gelas dan piring, suaranya memekakkan telinga, membuatku ingin menangis.

Tiba-tiba kamu menjerit histeris. Pecahan piring melukai tangan dan pahamu, membuat cairan kental berbau amis dan berwarna merah mengalir dari lukamu. Aku ingin menangis saat itu juga, membagi rasa sakitmu bersama. Namun aku tak bisa apa-apa.

“Demi Tuhan, aku akan membunuh laki-laki itu!”

Saat itu aku memandang pernikahan ke tiga puluh empat yang kusaksikan dari beranda. Seseorang berjas yang kukenal bernama Guntur tengah menatap kosong ke angkasa, tak mengacuhkan wanita bergaun putih yang telah menjadi istrinya. Entah apa yang dipikirkannya saat melihat kamu—gadis yang katanya pernah ia cintai, berteriak putus asa memanggil namanya. Entah apa yang dipikirkannya saat melihat ke arah apartemen kami.

***

Hari-hari terasa begitu mengerikan setelah kejadian itu. Kamu bisa dikatakan sudah kembali seperti yang dulu, yang kejam dan tak berbelas asih. Kata cinta tak lagi bisa menyemaikan bunga-bunga di dalam dirimu. Mungkin kamu sudah bukan manusia normal lagi karena setiap ucapan yang keluar dari mulutmu hanya berupa sumpah serapah kepada lelaki bernama Guntur. Hari-hari kosongmu yang biasa dihabiskan dengan Arga kini kamu habiskan sendiri sambil menyusun rencana paling jahat yang bisa menghancurkan Guntur.

Kamu adalah Julia. Dengan atau tanpa kehadiran Guntur, sifat aslimu tak akan pernah pupus. Aku tahu betul bahwa kamu akan mengejar tujuan sampai ke ujung dunia. Sekalinya kamu menetapkan sesuatu, kamu harus mencapainya. Termasuk membunuh Guntur dengan tanganmu sendiri.

Aku melihat sendiri senyum mengerikan itu malam harinya. Kamu memandang kemeja biru yang kamu sematkan di dinding dengan paku. Kalau aku punya bulu kuduk, mungkin semuanya akan meremang seketika melihat kemeja yang seperti media santet itu. Seolah bukan kemeja yang ingin kamu paku ke dinding, melainkan Guntur sendiri. Kamu bukanlah lagi seorang manusia. Kamu kini bagaikan iblis yang siap menyeret Guntur ke dalam lautan api neraka.

“Besok adalah hari yang kunantikan,” desismu sambil membaui kemeja itu. Matamu seakan menyala marah, “Akan kubawa kau ke jurang kematian!”

Itulah kata-kata terakhir yang kudengar darimu. Keesokan paginya kamu berangkat pukul delapan dengan seringai mengerikan. Hanya berbalut kemeja putih dan celana jins serta rambut yang disisir sekenanya, kamu pergi. Entah apa yang kamu lakukan, entah apa yang kamu inginkan.

Aku berdoa dan terus berdoa akan keselamatanmu. Kamu pulang pukul sembilan petang kurang sepuluh menit. Ada darah di kemeja putihmu, namun yang membuatku cemas adalah orang yang datang bersamamu. Lelaki yang membuatmu melambung tinggi namun juga yang menjatuhkanmu ke dasar jurang terdalam. Guntur.

“Akan kubunuh kau, Guntur!” Kamu mengigau pelan.

Lelaki itu hanya menatapmu yang berada dalam gendongannya dengan wajah tanpa ekspresi. Kemudian ia meletakkanmu di tempat tidur dengan perlahan, mengganti kemeja yang ternoda darah dengan piama bersih yang diambilnya dari lemari, dan membersihkan wajahmu dengan handuk yang sudah dibasahi air hangat. Ia merawatmu sedemikian rupa sehingga wajahmu tampak lebih baik.

Kamu masih belum sadar ketika ia kembali dari kamar mandi untuk membereskan baju kotormu dan membersihkan dirinya sendiri. Lelaki itu terpaku sesaat melihat kemejanya yang kamu tancapkan di dinding dengan paku-paku berkarat. Wajahnya begitu tenang sampai membuatku ingin melemparkan diriku sendiri ke arahnya. Sebenarnya apa yang terjadi hari ini?

Saat tengah bergulat dengan pikiranku sendiri, kamu bangun. Pertama kamu terkejut mendapati Guntur ada di sampingmu. Detik berikutnya, lelaki itu menyerangmu dan membungkammu dengan sentuhan tak bermoralnya. Aku marah sekali melihatmu direndahkan seperti itu. Namun seketika aku terdiam dalam kesedihan yang mendalam melihat lenganmu melingkar di lehernya. Ini pertama kalinya kalian bercinta dan aku tidak senang sama sekali.

***

Aku tersadar karena suara berisik di bawah sana. Pernikahan keempat puluh empat yang kusaksikan dari atas sini. Belum kembali sepenuhnya kesadaranku, kamu sudah berdiri di sampingku. Kamu menatap ke bawah sama sepertiku tadi. Matamu membengkak, rambutmu jatuh tergerai sedikit berantakan, di balik kemejamu yang dikancing seadanya kulihat bekas percintaanmu semalam bersama Guntur. Aku beralih ke tempat tidur di mana lelaki itu tengah terlelap. Tenang sekali. Aku tak habis pikir apa yang ada di kepalamu, membiarkan laki-laki sialan itu membodohimu.

Tiba-tiba kurasakan tanganmu membelai puncak kepalaku. Aku menatapmu yang melihat ke arahku dengan senyum yang tak bisa kupahami.

“Hei tembikar tuaku, aku terkadang lupa punya kamu. Maaf ya kamu jadi jarang kubersihkan semenjak tahun lalu.” Aku terhenyak mendengarnya.

“Rasa-rasanya semua kejadian dalam hidupku kamu saksikan, ya? Mulai dari kamu datang ke sini, sampai sekarang. Kamu pasti… melihatku berubah….”

Ya, aku melihatmu berubah. Aku melihat semua yang terjadi padamu.

Kamu tersenyum, manis sekali. “Kamu pasti juga mengenal dia, kan?” Kamu melirik sekilas ke arah Guntur yang masih diam tak bergerak kemudian kembali tersenyum padaku.

“Mungkin kamu pikir dia adalah laki-laki brengsek yang hanya memperdayaku bukan?” Aku mengiyakan. Kamu terkekeh. “Ya, memang begitu. Semalam aku berniat membunuhnya namun gagal, aku malah melukai perempuan yang tengah bersamanya. Entah siapa itu aku tak tahu…, aku tak peduli juga….”

Kamu melongok ke bawah lagi dengan alis menyatu di tengah.

“Mereka berisik sekali, ya?” Kamu bergumam kemudian kembali tersenyum saat melirik ke arah Guntur yang masih terlelap. “Seberisik apa pun mereka, ia tak akan pernah bangun….”

Saat itulah kusadari bahwa Guntur bukan hanya tertidur karena kelelahan. Kamu telah membuatnya beristirahat selamanya. Saat itu juga kusadari bahwa kamu telah kembali menjadi kamu yang lama. Selesai mengucapkan itu, kamu mengusapku lembut.

“Nanti mungkin kamu akan ikut oleh Mama dan Papa di rumah mereka. Maaf ya aku tak pernah merawatmu seperti dulu lagi, lihat, sekarang kau begitu kusam.” Kamu berdiri setelahnya. Memandang kerumunan di bawah dengan mata sendu namun sarat akan kebencian. Tiba-tiba senyum itu muncul lagi. Bukan senyum kesedihan namun senyum kebahagiaan. Kamu naik ke undakan pagar beranda dan merentangkan kedua lengan ke angkasa.

“Sejuk!” teriakmu. “Bagaimana kalau kita meriahkan pesta di bawah?”

Kamu memang tak pernah mengingkari ucapanmu. Kamu meriuhkan pesta di bawah sana dengan caramu sendiri—dengan menjatuhkan diri sendiri ke tengah-tengah kerumunan orang yang tengah tertawa palsu. Seketika jeritan membahana di bawah seperti yang kamu inginkan. Dengan disaksikan oleh ratusan orang yang menghadiri pernikahan keempat puluh empat itu, kamu menutup kisah hidupmu sendiri dengan dramatis. Dan aku di sini adalah saksi tak bergerak dari jatuh bangun cerita seorang perempuan yang selalu merindu.

Selamat tinggal, Julia.

Rani Evadewi
Latest posts by Rani Evadewi (see all)

Comments

  1. dsktarain Reply

    kisah cinta yang mngerikan,
    yah terkadang cinta memang seegois itu dan sesakit itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!