Siapa pun yang tinggal dan merawat hutan, dialah pemilik hutan. Siapa pun yang tinggal dan merawat tanah, dialah pemilik tanah. Begitu pula dengan laut, gunung, mata air, dan sebagainya. Semua hukum kepemilikan didasarkan pada penemu dan perawatnya. Namun, itu dulu, saat manusia-manusia Nusantara hidup tenteram dan makmur dalam keluarga besarnya yang bernama Badui, Madura, Minang, Sunda, Batak, Banjar, Dayak, Bajo, Jawa, Bugis, Bali, Sasak, Asmat, dan keluarga-keluarga besarnya yang lain; yang pada akhirnya melahirkan bayi bernama Indonesia.
Pada zaman itu, kepemilikan bumi atau sumber daya alam tergantung sekaligus bergantung sepenuhnya pada siapa yang lebih dulu tinggal dan merawatnya. Tak ada yang berani berbuat macam-macam atau curang pada bumi, karena mereka meyakini bahwa akan ada bala yang mengerikan saat amanah ekologis itu dilanggar. Laut akan mengamuk saat manusia mengeksploitasinya. Begitu pula tanah, gunung, hutan, mata air, dan semacamnya.
Pada zaman itu, merawat alam adalah sekaligus meruwatnya. Begitu pula sebaliknya. Tak heran apabila manusia dengan alam hidup begitu intim, harmonis, dan penuh kemesraan. Saking mesranya hubungan ini, tak dapat dibedakan lagi apakah manusia yang menjaga alam, atau alam yang menjaga manusia. Keduanya tidak hanya memiliki hubungan ekologis, tapi juga kosmologis.
Dulu, hutan tetaplah hutan. Sejak hadirnya negara (melalui kementerian yang menanganinya), hutan-hutan itu diberi nama hutan adat, hutan lindung, hutan wisata, hutan konservasi, hutan heterogen, hutan rakyat, hutan produksi, berikut nama-nama atau istilah-istilah lain yang sangat ambigu, membingungkan, sekaligus mengasingkan masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitarnya selama puluhan bahkan ratusan tahun. Amanah ekologi, apalagi kosmologinya, menjadi tergerus.
Hasilnya, hari ini, segala kekayaan alam telah “diprivatisasi” oleh apa yang kemudian disebut negara. Hutan, tanah, laut, gunung, mata air, dan semacamnya tidak bisa dimiliki atau dikelola lagi oleh manusia-manusia yang sejak dahulu merawatnya. Dengan jargon pembangunan dan tentu saja dengan tangan kuasanya, negara pula yang pada akhirnya mengobral kekayaan-kekayaan alam itu pada pengusaha, baik lokal lebih-lebih asing, dengan dalih bernama investasi atau pertumbuhan ekonomi.
Laut yang dahulu ekstotis karena dipenuhi ikan dan terumbu karang kini mulai berantakan akibat perusahaan migas yang beroperasi di mana-mana. Pantai yang dahulu elok kini telah hancur karena pasirnya ditambang. Begitu pula mata air yang jernih dan deras tempat masyarakat minum dan mandi, kini telah dimiliki perusahaan asing dan diproduksi menjadi air minum dalam kemasan (AMDK).
Ironisnya, dalam kasus terakhir ini, melalui iklan yang dilegitimasi oleh instansi kesehatan, masyarakat kita diracuni kesan bahwa AMDK-lah air yang higienis untuk diminum atau dikonsumsi sehari-hari. Akhirnya, kita pun minum air yang tak ditimba dengan tangan kita sendiri. Kita harus membeli kepada orang asing untuk minum air yang sumbernya mengucur dari bongkahan-bongkahan batu di kampung sendiri.
Setelah hutan, tanah, laut, gunung, mata air, dan kekayaan alam itu dikelola oleh pengusaha—yang dihaluskan dengan sebutan investor—melalui perantara negara, lesaplah kemurniannya. Taring-taring industri dengan tamak dan ganas mencabik-cabik keindahannya. Para penemu dan perawat yang puluhan bahkan ratusan tahun hidup bersama bumi itu hanya diberi polusi, laut yang tercemar, juga kubangan-kubangan tambang. Manusia-manusia yang lebih dulu tinggal dan setia merawatnya, kini hanya bisa merasakan kepiluan seraya mengenang keindahan alam yang dahulu pernah mereka miliki.
Panorama menyeramkan ini saya lihat sendiri dengan mata telanjang saat tinggal selama 6 bulan di Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, pada awal tahun 2008 silam. Betapa mengerikannya menyaksikan kubangan-kubangan raksasa bekas galian tambang perusahaan-perusahaan batu bara di hutan-hutan yang dahulu subur, asri, dan sejuk di Tanah Banjar itu. Atau dapat juga disaksikan pada semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang tidak hanya menenggelamkan rumah tapi juga masa lalu dan masa depan masyarakat di sekitarnya.
Amanah ekologis telah dilanggar. Maka jangan salahkan alam apabila tanah longsor, banjir, lumpur, dan geliat alam lainnya menimpa negeri ini. Hal itu terjadi karena pengelolanya, yakni negara, gagal menjalin kemesraan dengan alam. Alam yang dahulu disayang dan dikasihi, kini justru dieksploitasi. Kemesraan kosmologi dicampakkan. Kitab suci menyindirnya dengan puitis: “zhaharal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aydinnasi liyudziqahum ba’dhal ladzi ‘amilu la’allahum yarji’un”; telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan manusia, Tuhan menghendaki manusia-manusia itu merasakan sebagian perbuatannya, agar mereka kembali ke jalan yang benar (dengan cara merawat dan menjaganya).
Apakah indahnya alam Indonesia ini pada akhirnya hanya akan dapat disaksikan dalam lukisan?
Ini pertanyaan yang sama sekali tak butuh jawaban, tapi butuh renungan.
- Berguru kepada Anjing - 18 March 2019
- Kanjeng Nabi, Mengapa Engkau Diprivatisasi? - 1 October 2018
- Rumah tanpa Ibu - 19 March 2018