Puisi Dewi Zakia Wardini

 

Kita Akan Selalu Muda

 

Akan ada pagi yang tak membawa lelah;

di sana, kita akan berjalan lagi

tanpa tergesa,

tanpa menoleh pada kehilangan.

 

Meski waktu memahat rambut kita dengan perak,

aku percaya,

tawa kita akan tetap gemilang,

seperti matahari pertama yang kautunjuk dari jendela.

 

Kita tak sedang melawan usia,

hanya menyulam hari

dengan benang-benang cahaya

yang tak bisa kusut oleh masa.

 

Jika suatu saat jarak menggelapkan langkah,

kuharap kau tahu,

aku menanam namamu di ladang musim

dan ia tumbuh,

meski tak kausirami setiap hari.

 

Karena yang tumbuh dari hati

akan selalu muda.

Karena yang dilahirkan oleh harapan

akan selalu pulang.

 

 

 

Mantra yang Mati di Ujung Lidah

 

Ada sunyi yang tak bisa dipecahkan cahaya,

ia tinggal di mataku,

berakar di pori-pori malam

yang menggigil dalam kesendirian purba.

 

Kau adalah kata yang tak pernah sempat kupahat,

rahasia yang kupanggul

seperti jenazah harapan

yang tak pernah diberi liang.

 

Segalanya kehilangan nama

bintang, waktu, bahkan luka.

Mereka semua menjelma debu

yang beterbangan di ruang tak bertuan,

menari dalam kehampaan

yang lebih tajam dari batas akal.

 

Aku bicara pada bayang-bayang

yang menolak menjadi bentuk,

menyusun doa tanpa Tuhan,

menulis surat yang tak pernah dikirim

karena alamatmu telah hangus

dibakar pagi yang tak datang.

 

Kau sembunyi di balik kalimat tak selesai,

dan aku,

aku tinggal di balik titik

yang tak pernah menjadi akhir.

 

Malam tak pernah selesai,

ia hanya berubah rupa,

menjadi matahari yang lupa

bagaimana caranya bersinar.

 

Mataram, 2025

 

 

 

Merawat Senyap

 

Kadang aku ingin menyentuh tepi langit,
mengumpulkan warna yang luruh dari cahaya
lalu kusimpan dalam genggaman,
agar kau tak kehilangan jejak di mataku.

 

Saat fajar berbisik di jendela,
aku menunggu angin membawakan nyanyian
seperti daun-daun yang melayang ke pangkuan tanah
dan aku membiarkan diriku hanyut dalam hening.

 

Banyak kata yang sengaja tak kutuliskan,
karena aku ingin merasakan suaramu dalam diam
menyusuri jejak yang kautinggalkan di pagi yang basah
menyentuh bayang yang kautinggalkan di kaca waktu.

 

Dan kau masih menatap dengan cahaya yang sama,
seolah langit tak pernah kehilangan warnanya
padahal aku telah mengikis malam dengan doa
dan membiarkan sunyi menjaga namamu di perapian.

 

Mataram, 2025

 

 

Requiem Menuju Senja

 

Matahari meregang nyawa di ujung cakrawala,

darahnya menetes di langit,

dan senja menjadi altar

bagi segala yang tak pernah selesai.

 

Kau berjalan menjauh

di atas bayangmu sendiri,

sementara aku terkubur dalam diam

yang lebih tajam dari kematian doa.

 

Rinduku membatu,

menjadi nisan yang tak terbaca di benakmu,

sementara angin menulis ratapan

di dinding waktu yang retak.

 

Aku pernah menjadi rumah bagi suaramu,

kini hanya gema yang memekik

di ruang kosong dada,

tanpa pintu,

tanpa jendela,

tanpa arah pulang.

 

Kita tak menuju senja,

kita ditelan olehnya.

Digulung dalam gelap yang malas bicara,

dihapus dari peta cahaya.

 

Dan malam pun datang,

bukan sebagai selimut,

tapi liang,

tempat kutanam harap yang tak bertunas,

di atas nadi hari

yang telah lama berhenti berdetak.

 

Mataram, 2025

Dewi Zakia Wardini
Latest posts by Dewi Zakia Wardini (see all)

Comments

  1. Glendy Reply

    Puisi Yang sangat indah dan penuh dengan makna

  2. Sasasagyta Reply

    Keren banget 👍🏾

  3. laili Reply

    penggen kerja

    • laili Reply

      penggen kerja

  4. Habibah Reply

    Woww

  5. Rifq Reply

    Kerennn sob

  6. dhan Reply

    beautiful and meaningful 🤍

  7. Reva Reply

    puisinya bagus bngt masya Allah

  8. Reva Reply

    puisinya bagus bngt masya Allah,aku suka bngt am puisi nya yg indah menurut aku

  9. dasa Reply

    bagus banget kata katanya

  10. Alghifari Reply

    Puisi nya bagus sekali

  11. agus dwi hartanto Reply

    bagus kk puisinya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!