
Kita Akan Selalu Muda
Akan ada pagi yang tak membawa lelah;
di sana, kita akan berjalan lagi
tanpa tergesa,
tanpa menoleh pada kehilangan.
Meski waktu memahat rambut kita dengan perak,
aku percaya,
tawa kita akan tetap gemilang,
seperti matahari pertama yang kautunjuk dari jendela.
Kita tak sedang melawan usia,
hanya menyulam hari
dengan benang-benang cahaya
yang tak bisa kusut oleh masa.
Jika suatu saat jarak menggelapkan langkah,
kuharap kau tahu,
aku menanam namamu di ladang musim
dan ia tumbuh,
meski tak kausirami setiap hari.
Karena yang tumbuh dari hati
akan selalu muda.
Karena yang dilahirkan oleh harapan
akan selalu pulang.
Mantra yang Mati di Ujung Lidah
Ada sunyi yang tak bisa dipecahkan cahaya,
ia tinggal di mataku,
berakar di pori-pori malam
yang menggigil dalam kesendirian purba.
Kau adalah kata yang tak pernah sempat kupahat,
rahasia yang kupanggul
seperti jenazah harapan
yang tak pernah diberi liang.
Segalanya kehilangan nama
bintang, waktu, bahkan luka.
Mereka semua menjelma debu
yang beterbangan di ruang tak bertuan,
menari dalam kehampaan
yang lebih tajam dari batas akal.
Aku bicara pada bayang-bayang
yang menolak menjadi bentuk,
menyusun doa tanpa Tuhan,
menulis surat yang tak pernah dikirim
karena alamatmu telah hangus
dibakar pagi yang tak datang.
Kau sembunyi di balik kalimat tak selesai,
dan aku,
aku tinggal di balik titik
yang tak pernah menjadi akhir.
Malam tak pernah selesai,
ia hanya berubah rupa,
menjadi matahari yang lupa
bagaimana caranya bersinar.
Mataram, 2025
Merawat Senyap
Kadang aku ingin menyentuh tepi langit,
mengumpulkan warna yang luruh dari cahaya
lalu kusimpan dalam genggaman,
agar kau tak kehilangan jejak di mataku.
Saat fajar berbisik di jendela,
aku menunggu angin membawakan nyanyian
seperti daun-daun yang melayang ke pangkuan tanah
dan aku membiarkan diriku hanyut dalam hening.
Banyak kata yang sengaja tak kutuliskan,
karena aku ingin merasakan suaramu dalam diam
menyusuri jejak yang kautinggalkan di pagi yang basah
menyentuh bayang yang kautinggalkan di kaca waktu.
Dan kau masih menatap dengan cahaya yang sama,
seolah langit tak pernah kehilangan warnanya
padahal aku telah mengikis malam dengan doa
dan membiarkan sunyi menjaga namamu di perapian.
Mataram, 2025
Requiem Menuju Senja
Matahari meregang nyawa di ujung cakrawala,
darahnya menetes di langit,
dan senja menjadi altar
bagi segala yang tak pernah selesai.
Kau berjalan menjauh
di atas bayangmu sendiri,
sementara aku terkubur dalam diam
yang lebih tajam dari kematian doa.
Rinduku membatu,
menjadi nisan yang tak terbaca di benakmu,
sementara angin menulis ratapan
di dinding waktu yang retak.
Aku pernah menjadi rumah bagi suaramu,
kini hanya gema yang memekik
di ruang kosong dada,
tanpa pintu,
tanpa jendela,
tanpa arah pulang.
Kita tak menuju senja,
kita ditelan olehnya.
Digulung dalam gelap yang malas bicara,
dihapus dari peta cahaya.
Dan malam pun datang,
bukan sebagai selimut,
tapi liang,
tempat kutanam harap yang tak bertunas,
di atas nadi hari
yang telah lama berhenti berdetak.
Mataram, 2025
- Puisi Dewi Zakia Wardini - 3 June 2025


Glendy
Puisi Yang sangat indah dan penuh dengan makna
Sasasagyta
Keren banget 👍🏾
laili
penggen kerja
laili
penggen kerja
Habibah
Woww
Rifq
Kerennn sob
dhan
beautiful and meaningful 🤍
Reva
puisinya bagus bngt masya Allah
Reva
puisinya bagus bngt masya Allah,aku suka bngt am puisi nya yg indah menurut aku
dasa
bagus banget kata katanya
Alghifari
Puisi nya bagus sekali
agus dwi hartanto
bagus kk puisinya