
Sepasang Tubuh
Sepasang tubuh berpapasan dalam cermin
Aku dan tubuhku saling memandang
Meraba pokok waktu. Hari yang kulakoni
Saat ini, masa lawas yang ia jalani di tapal
Sunyi yang waswas.
Ada yang lekat dalam penantian dan harapan
Ada yang sungsang di puncak takdir
Dan jurang nasib yang ngambang. Aku tak tahu
Ke mana tubuhku dijaring bayangannya. Ia takkan
Bertanya di simpang mana tubuhku melepas
bayangannya.
Sepasang tubuh saling memagut dalam cermin
Ia copot matanya bagai burung menggarami udara
Lalu dalam kegelapan mereka saling menerka
Tubuh siapakah yang dikendarai ini, gerangan?
Sementara bayangan tidak sepatah pun
Menciptakan jawaban.
2015
Mereka Terus Bergegas
Wajah ini tak pernah sendirian
Tapi milik siapa? cermin memikatnya
Setiap saat. Lalu dua paras berhadapan
Mereka tak saling raba, walau rindu
dan cemas saling berdekapan
Tubuh ini tegap dalam perangkapnya
Tumbuh dalam pohon usia muda
Lalu lengan cermin memeluknya lekat
Mereka satu dalam hakikat, walau hidup
Memagut kepada harap juga maut
Pada hasrat sunyi yang lumer
Tiada kegelapan yang dikenal
Sebagai cahaya karam.
Mereka berjalan jauh ke dasar pandang
Ke tubir-tubir rahasia tak kenal sauh
Mereka terus bergegas bagai kuda pacu
Di kalang perjudian. Ia pesat cemeti
Ke bokong sendiri. Berdarah. Ia pesat lagi
Iingar dan siul penonton dari balik balkon
Tak sampai memberinya batas kemenangan
Wajah dan tubuh ini ranggas di hadapan cermin
Mereka ganas dalam bertahun pelukan
Tapi pupus dalam sekejap ciuman
Lalu pada hari-hari berikutnya
Mereka menjumpai kenyataan
2016
Enam Bait Stanza
Untuk Indonesia
Di sepanjang jalan
Dalam ingar lagu-lagu kemerdekaan
Pada sederet baliho yang memadat
Di setiap tikungan atau pertigaan
Juga pada papan nama toko-toko
Aku mencium peluhmu yang kecut
Disuling dari rahim kampung
Juga padang-padang gambut
Di pasar-pasar induk
Pada jongko-jongko
Pada papan dan tempayan
Semua impian digantang
Di sini kuhirup napas petani
Menangkap dengus nelayan
Seperti hidup dalam mitos
Kebun dan laut kian hampos
Tapi di muka jalan raya
Bocah-bocah kencur berbaris riang
Mereka gembalakan kegembiraan
Pada beton dan tiang-tiang pancang
Tempat kampung nenek moyangnya
Dikaram paksa lantaran desakan waktu
Digada lantaran manisan kekuasaan
—Tumpur
Dari candu televisi dan koran
Dari kudapan lubuk kecemasan
Aku ingin mengubur diri sendirian
Menghayati segenap kenyataan
Sambil tersenyum dalam gelap
Terbayang sudah bocah-bocah sekolah
Dengan daki mengendap di kerah
Bermain layangan, kelereng dan galah
Tapi kenyataan belingsatan tak karuan
Ia hinggap di reranting nestapa
Jadi iklan bius beribu pesakitan
Ada yang berdoa dengan setumpuk kepasrahan
Dan menabung harap dalam selembar amalan
Lalu didaraslah baris-baris nubuat
Bagi jerat-jerat nasib dan pukat tabiatnya
—Pasrah
Kepada bedeng-bedeng tepi kali
Lambung-lambung yang berkarat
Suara-suara parau dari jantung kemiskinan
Tegaklah kalian dari sirkus kemerdekaan
Dari kelonan rayuan pulau kelapa
Dari mimbar dan mikrofon yang sakit jiwa
Setabah batu kucintai kalian
Yang terus bernyanyi meski ditekan majikan
2017
Kepada Waktu
Kepada waktu aku berkisah sepasang angsa di telaga
Sepasang kekasih yang menggantang harap di udara
Sepasang kupu-kupu yang terperangkap di pigura
Serta bunga-bunga cahaya di gedung-gedung kota
Tapi apalah daya bagi kata-kata yang kadung apak
Di telaga perahu dan galah tiada mencipta riak
Di udara impian tinggal lembaran nasib yang sesak
Di pigura wajah-wajah bopeng kita yang tampak
Dan di gemerlap kota, desa-desa tiada kunjung tanak
Kepada kalian yang meyakini ladang dan kebun
Adalah kitab yang didaras sepanjang usia tahun
Akar dan rotan yang cukup hidup dari sejentik ibun
Kenangkanlah padamu nyanyian rindu yang alun
Yang datang dari setiap huma dan rumpun
Dalam sekejap dibakar perasaan ngungun
Kepada kalian yang mengimani pantai dan laut
Adalah bentangan mukjizat tiada kenal surut
Liuk angin dan gemuruh ombak yang berpuput
Kenangkanlah padamu sekebat layar sekerlip suar
Yang datang sebagai jamuan hajat juga mahar
Dalam sekejap digulung jiwa-jiwa yang cabar
Apalah daya bagiku mengutuk waktu
Selain mencintai puisi setabah batu
2018
Tamimi
Tak ada masa kanak-kanak di sini
Ruang main tersimpan rapi di perut bumi
Mimpi-mimpi kian asing dari sejumlah tidur
Yang kami sendiri lupa bagaimana mengingatnya
Tak ada selembar saputangan di sini
Air mata kami telah jadi logam dan baja
Bagi mereka yang fasih menarik pelatuk senjata
Jangan ajari bagaimana membela diri
Sejak dalam rahim Ibu,
Kami makin terbiasa mendengar
Dentuman rudal dan bunyi tembakan itu
Seperti lagu-lagu rakyat yang biasa
Kami nyanyikan di halaman rumah
Ketika Bapak mati di tembak
Di lapang terbuka, di antara lelaki-lelaki lain
Yang menggenggam batu di tangannya
Tak ada waktu bagi Ibu untuk meratapinya
Ia akan terus mengupak perlawanan baru
Karena setiap seorang lelaki gugur
Di medan itu, darahnya akan cepat menyatu
Ke tubuh Ibu, lalu lahirlah kami
Dengan tangan yang sedia mengepal
2018
- Puisi-Puisi Bode Riswandi; Mereka Terus Bergegas - 11 December 2018
Deviyustiika
Kereenn pak👏