Hujan
/1/
Hujan yang singgah
ke rekah tanah
Barangkali menyimpan
petuah pun silsilah
/2/
Lewat nyanyi
gerimis yang ritmis
Terudar kabar
dingin yang hambar
/3/
Di air yang mengalir
daun-daun melaju
Meriak ke hilir
ke nasib ia menuju
(Denpasar, 2015)
Filsafat Terbang
Terbang bukan semata ke tujuan
Tapi bagaimana membujuk angin
Agar terpenuhi segala ingin
Terbang barangkali ketinggian
Mencapai yang tak terjangkau
Menggiring tepuk pun pukau
Terbang pada akhirnya hilang
Di rimbun awan melayang
Dan berakhir sebatas kenang
(Denpasar, 2015)
Saraswati Puja
tuhan yang cantik
berwajah keemasan
merangkul genitri
keropak juga wina
turun ke bumi lata
demi memberi sedekah
pengetahuan kebenaran
yang dinanti dahaga
angsa putih mengepak
dan angin jadi detak
segala noda diluruhkan
kebaikan dialirkan
oh sang hyang aji
puja saraswati suci
dalam hening diri
jalani ritus semadi
mengingkari fana
kebatilan dunia
(Denpasar, 2014)
Sajak Cinta 4
/1/
Adakah yang mampu
Mematahkan rindu
Akan senyummu itu
Selain sebuah temu
/2/
Adakah yang hendak
Merelakan cintanya
Sebelum ia mencoba
Bersikeras dalam usaha
/3/
Adakah yang bisa
Menulis puisi cinta
Selain benar ia
Telah jatuh cinta
/4/
Karena ia merasakannya
Maka ia tak akan pernah
Berhenti memuliakanmu
Lewat puisi-puisinya ini
(Denpasar, 2015)
Hujan Kemudian Kesepian
Hujan tak cuma menumbangkan
pohonan. Tapi juga mematahkan
keyakinanmu yang kemarau itu.
Teriak parau yang membebaskan
tak lagi didengar Tuhan.
Dan kini kau cuma kesepian
yang terdampar di ruang nirwaktu.
Sungai pikiran mengurungmu.
Sesuatu yang mengada hanyalah
semata marabahaya.
(Denpasar, 2014)
Pejalan Tidur
Dan kubebaskan diriku
Dari kungkunganmu
Wahai musim keparat–
Maka kurelakan darah
Gelegak hampa sudah
Dalam kuali semesta–
Dan kuserahkan mata
Batin redup remang
Ke puisi sesat kelana–
Maka jalan paripurna
Saat lampu kota nyala
Melapangkan dahaga–
Akulah pejalan tidur
Merasa dada rumah
Langkah tak terukur–
(Denpasar, 2015)
Imlek
Langit basah
Tanah rekah
Biji diri
Tanam kini
Di hadapan
Hio yang nyala
Terbuka surga
Tercapai doa
(Denpasar, 2015)
Anjing yang Menggigil
Sendirian dalam Hujan
/1/
Di dalam hujan
seekor anjing menggigil
sendirian.
Ia tak lagi bisa
menyalak galak
atau memberondong
gonggongan kosong
kepada sesiapa
dengan penuh curiga.
Seperti pernah ia
perbuat di masa muda.
/2/
Yang lalu terkenang
kesalahan dulu membayang.
Hujan makin deras
halilintar menggelegar keras.
Si anjing yang berjalan
sendiri dalam hujan.
Tanpa ada kawan
menemani perjalanan.
Langkahnya berat
terasa raga sekarat.
Bulan tak juga hadir
hidupnya betapa pandir.
Sesekali cuma bisa diam
mengenang silam
yang penuh kecurangan.
Sambil memandang hujan
yang turun kuyupkan badan.
/3/
Angin bersiut dingin
menyapa si anjing
yang terlihat penat
wajahnya memucat.
Dari matanya terlihat
terbaca ribuan muslihat.
Yang mengendap liat
telah menjelma tabiat.
/4/
Anjing yang tertatih
kini mengutuki takdir
yang dibuatnya tanpa
ditimbang dan dipikir.
Matanya tak lagi terang
sudah lama hilang bintang.
Hidup yang terpalsukan
keadilan sering dimainkan.
/5/
Sebab di sini hujan
menghunus kebenaran
maka si anjing keparat
tubuhnya pun tersayat.
Esoknya ramai diberitakan
dalam gigil hujan sendirian
ada anjing mati mengenaskan
sebab telah berani menduakan
yang namanya kebenaran.
(Denpasar, 2015)
Kabar Chairil Anwar
Apa kabar Chairil
Penyair sejati sampai
1000 tahun lagi
Senin pagi di sini
Ada yang ingin
Sedikit kubagi
Perihal ingatan
Alangkah tawar
Kurasakan, Anwar
Kota bagai kutukan
Memenjara segala
Yang berani hidup
Tak ada seling kabar
Yang kini terdengar
Mampu jadi debar
Semua jadi pasi
Saling tukar peri
Semua tak pasti
Hanya rasa hampa
Terpendam nyala
Mendesak dada
Dan apa kau di sana
Rasakan juga hal sama
Gelisah meriak jiwa
Menanti kabar senja
Yang tak kunjung tiba
Di pelabuhan kecil?
(Denpasar, 2015)
Semacam Rencana
Aku berjalan saja
Waktu telah padam
Segala di luar tubuh
Adalah kebisuan panjang
Dan langit jadi murung
Berjatuhan burung-burung
Ke mana langkah
Harus ditambatkan
Kanan dan kiriku
Penuh kubur silam
Sementara peta
Tak terbaca mata
Sebelum petang tandang
Dan penjuru tersembunyi
Bisakah ini raga
Betah dalam jaga
Menyusuri ketakpastian
Menyusun tiap langkah
Agar arah di depan tercapai
Rencana tergenapkan selesai
(Denpasar, 2015)
Tualang Kopi
Ini kopi
Bermula sebagai biji
Lahir dari sebuah pokok
Yang memelihara gigih
Dari seorang petani
Yang semenjak dipetik
Pada hari terbilang baik
Berpindah sekian tangan
Tak pernah terbawa lena
Selalu bersetia berjaga
Dalam ketabahan rasa
Ia tak sampai
Menitik air mata
Meski harus mencintai terik
Dan dipilah lalu dipilih
Demi berakhir remuk
Tergilas pun ditumbuk
Hancur berkeping
Sampai merupa serbuk
Yang tersimpan rapi
Dalam sebuah kemasan
Maka bernamalah ia
Sesuai kenan juragan
Pemilik galeri kopi
Entahlah ia kopi
Berasal dari jauh mana
Entah dari tangkai
pokok kopi yang mana
Entah ia lama semadi
Di kebun petani siapa
Tapi kini telah tersaji
Hangat. Menyatu nikmat
Di dalam gelas sedang
Tertakar sempurna
Bercampur susu pun gula
Di sebuah meja datar
Di depan ini lelaki
Kopi nan selalu
Membuat bersemangat
Begitu diseruput
Mengawali hari
Menerbitkan harapan
Dalam setiap tegukan
Kopi sebagaimana doa
Gelap pekatnya adalah dunia
Ampasnya jadi keinginan
Aroma kopi jadi semayam
Puisi juga Tuhan
Sebelum akhirnya kau
Bertemu dengan dirimu
Yang paling hakiki
Setelah lama kiranya
Ia sesat mengembara
Lewat bayang diri
Mengambang sepi dalam kopi
Kau bermula kembali
(Denpasar, 2015)
Menjadi Air
Kau bisa menjadi air, deras mengalir. Bila keruh yang kau pilih, tentu jernih telah tersapih.
(Denpasar, 2015)
Pelukan Hujan
Aku ingin memeluk tanpa mengenakan lengan juga tangan. Pelukan milik hujan yang menguyupkan.
(Denpasar, 2015)
- Puisi-puisi Putu Gede Pradipta (Bali); Hujan Kemudian Kesepian - 29 March 2016