Puisi-Puisi Suad al-Shabah

 

PADA MULANYA ADALAH WANITA

Orang-orang berkata:

Menulis adalah dosa besar

Maka jangan menulis!

Salat di hadapan aksara haram hukumnya

Maka jangan coba mendekat!

Tinta sajak-sajak adalah racun

Jangan sekali-kali kau meneguknya!

Namun inilah aku

Aku tenggak semuanya

Dan aku tidak keracunan dengan tinta di atas mejaku

Aku kobarkan api pada bintang-bintang

Tuhan pun tak murka padaku

Juga nabi tak marah padaku

Orang-orang berkata:

Berbicara adalah hak istimewa pria

Maka jangan berbicara!

Cumbu rayu adalah seni pria

Maka jangan jatuh cinta!

Menulis adalah lautan yang dalam

Maka jangan kau tenggelam!

Namun inilah aku

Sudah jatuh cinta berkali-kali

Inilah aku

Sudah berenang berulang kali

Dan kuterjang semua samudra tanpa tenggelam

Orang-orang berkata:

Aku meruntuhkan tembok kemapanan

Dengan bait puisi

Padahal para penyair hanya dari kalangan lelaki

Lalu bagaimana mungkin dalam suatu kabilah

Akan terlahir penyair perempuan?

Aku hanya bisa tertawa mendengar omong kosong ini

Aku meledek orang-orang yang di masa Jahiliah

Menguburkan anak perempuan hidup-hidup

Aku membatin:

Mengapa nyanyian pria halal

Tapi suara perempuan dianggap hina?

Mengapa mereka membangun tembok dari mitos

Antara ladang dan pohon

Antara awan dan hujan

Antara wanita yang romantis dan pria?

Siapa bilang puisi punya jenis kelamin

Prosa punya jenis kelamin

Dan pemikiran juga punya jenis kelamin?

Siapa bilang semesta ini

Menolak kicauan indah burung-burung?

Mereka berkata:

Aku telah memecahkan marmer nisanku

Itu benar adanya

Aku telah menjagal para kelelawar dari eraku

Itu juga benar adanya

Aku telah mencabut akar-akar kemunafikan, dengan puisiku

Aku telah meruntuhkan zaman timah

Jika mereka melukaiku

Maka rusa yang terluka

Adalah hal terindah di dunia ini

Jika mereka menyalibku

Kuucapkan terima kasih

Karena mereka menjadikanku dalam barisan al-Masih

Orang-orang berkata:

Kewanitaan adalah kelemahan

Sebaik-baik wanita

Adalah ia yang rela

Kebebasan adalah puncak kesalahan

Dan wanita paling cantik

Adalah wanita penurut

Orang-orang berkata:

Sastrawan wanita merupakan hal yang aneh

Ia bagian dari rumput yang tak diterima di padang pasir

Dan wanita yang menulis puisi

Tak lebih dari wanita yang tak berdaya

Aku hanya bisa tertawa atas apa yang mereka bilang tentangku

Aku menolak pemikiran dari zaman timah

Juga logika dari zaman timah

Aku akan tetap bernyanyi di puncakku yang paling tinggi

Aku sadar guntur akan berlalu

Angin puyuh akan berlalu

Kelelawar akan berlalu

Aku juga tahu

Mereka akan berlalu

Dan yang tersisa hanyalah diriku

 

 

YANG LEBIH DARI SEKADAR KEKASIH

Biasa saja

Semua kata-kata yang aku ungkapkan

Perihal kebesaran cintamu

Duhai kekasih

Adakah kata lain

Yang tak diketahui siapa pun

Yang bisa menarikku dari rasa bosan

Wahai rajadiraja

Duhai yang lebih dari sekadar kekasih

 

 

MENGAPA LIDAHKU?

Jika aku tak bisa ngopi

Bersama dirimu

Mengapa kopi perlu ada?

Jika aku tak bisa berjalan-jalan denganmu

Tanpa suatu tujuan

Mengapa jalan harus ada?

Jika aku tak bisa bergurah

Dengan menyebut namamu tanpa rasa takut

Mengapa bahasa perlu ada?

Jika aku tak bisa berteriak “Aku mencintaimu!”

Lalu apa gunanya lidahku ini?

 

 

LEGALITAS

Aku tak meminta pada zaman ini

Untuk mengakui legalitas cinta kita

Justru kau dan aku

Yang akan memberi legalitas pada zaman ini

 

 

DOA

Pada suatu malam aku berdoa pada Tuhan

Agar aku terbebas dari mencintaimu

Tuhan mengabulkan doaku

Dengan mengubah diriku menjadi batu

 

 

PERTANYAAN

Orang-orang bertanya:

Apa warna langit?

Apakah biru?

Merah?

Atau ungu?

Minta mereka menghadap dan bertanya padamu

Sebab langitku adalah dirimu

 

 

KEPO

Aku tahu

Dalam hidupmu

Aku adalah wanita pertama

Namun setan yang setiap pagi

Ikut ngopi bersama kita

Tak henti-henti memaksaku untuk bertanya:

“Lalu siapa wanita yang kedua?”

 

 

PADA KEDUA LENGANMU

Pada kedua lenganmu

Pengasingan berubah

Menjadi tanah air

 

 

DUNGU

Kita membawa gunting

Untuk memotong pita kenangan kita

Dalam sebuah perayaan festival

Kita pun sadar

Yang kita potong bukan pita kenangan kita

Melainkan jemari kita

 

 

PELABUHAN TERAKHIR

Aku berjanji padamu

Untuk menjadi tanah airmu

Maka berjanjilah padaku

Untuk menjadi ibu kotaku

Aku berjanji padamu

Untuk menjadi perahu impianmu

Maka berjanjilah padaku

Untuk menjadikanku pelabuhan terakhirnu

Aku berjanji padamu

Untuk menjadi awanmu

Maka berjanjilah padaku

Untuk menjadi hujanku

 

 

 

Diterjemahkan oleh:
Musyfiqur Rahman
, mahasiswa pascasarjana konsentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga dan alumnus Ponpon Pesantren Annuqayah, Sumenep. Selain menulis dan menerjemah, ia mengelola sastraarab.com. IG/Twitter: syahdaka.

Suad al-Shabah
Latest posts by Suad al-Shabah (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!