PADA MULANYA ADALAH WANITA
Orang-orang berkata:
Menulis adalah dosa besar
Maka jangan menulis!
Salat di hadapan aksara haram hukumnya
Maka jangan coba mendekat!
Tinta sajak-sajak adalah racun
Jangan sekali-kali kau meneguknya!
Namun inilah aku
Aku tenggak semuanya
Dan aku tidak keracunan dengan tinta di atas mejaku
Aku kobarkan api pada bintang-bintang
Tuhan pun tak murka padaku
Juga nabi tak marah padaku
Orang-orang berkata:
Berbicara adalah hak istimewa pria
Maka jangan berbicara!
Cumbu rayu adalah seni pria
Maka jangan jatuh cinta!
Menulis adalah lautan yang dalam
Maka jangan kau tenggelam!
Namun inilah aku
Sudah jatuh cinta berkali-kali
Inilah aku
Sudah berenang berulang kali
Dan kuterjang semua samudra tanpa tenggelam
Orang-orang berkata:
Aku meruntuhkan tembok kemapanan
Dengan bait puisi
Padahal para penyair hanya dari kalangan lelaki
Lalu bagaimana mungkin dalam suatu kabilah
Akan terlahir penyair perempuan?
Aku hanya bisa tertawa mendengar omong kosong ini
Aku meledek orang-orang yang di masa Jahiliah
Menguburkan anak perempuan hidup-hidup
Aku membatin:
Mengapa nyanyian pria halal
Tapi suara perempuan dianggap hina?
Mengapa mereka membangun tembok dari mitos
Antara ladang dan pohon
Antara awan dan hujan
Antara wanita yang romantis dan pria?
Siapa bilang puisi punya jenis kelamin
Prosa punya jenis kelamin
Dan pemikiran juga punya jenis kelamin?
Siapa bilang semesta ini
Menolak kicauan indah burung-burung?
Mereka berkata:
Aku telah memecahkan marmer nisanku
Itu benar adanya
Aku telah menjagal para kelelawar dari eraku
Itu juga benar adanya
Aku telah mencabut akar-akar kemunafikan, dengan puisiku
Aku telah meruntuhkan zaman timah
Jika mereka melukaiku
Maka rusa yang terluka
Adalah hal terindah di dunia ini
Jika mereka menyalibku
Kuucapkan terima kasih
Karena mereka menjadikanku dalam barisan al-Masih
Orang-orang berkata:
Kewanitaan adalah kelemahan
Sebaik-baik wanita
Adalah ia yang rela
Kebebasan adalah puncak kesalahan
Dan wanita paling cantik
Adalah wanita penurut
Orang-orang berkata:
Sastrawan wanita merupakan hal yang aneh
Ia bagian dari rumput yang tak diterima di padang pasir
Dan wanita yang menulis puisi
Tak lebih dari wanita yang tak berdaya
Aku hanya bisa tertawa atas apa yang mereka bilang tentangku
Aku menolak pemikiran dari zaman timah
Juga logika dari zaman timah
Aku akan tetap bernyanyi di puncakku yang paling tinggi
Aku sadar guntur akan berlalu
Angin puyuh akan berlalu
Kelelawar akan berlalu
Aku juga tahu
Mereka akan berlalu
Dan yang tersisa hanyalah diriku
YANG LEBIH DARI SEKADAR KEKASIH
Biasa saja
Semua kata-kata yang aku ungkapkan
Perihal kebesaran cintamu
Duhai kekasih
Adakah kata lain
Yang tak diketahui siapa pun
Yang bisa menarikku dari rasa bosan
Wahai rajadiraja
Duhai yang lebih dari sekadar kekasih
MENGAPA LIDAHKU?
Jika aku tak bisa ngopi
Bersama dirimu
Mengapa kopi perlu ada?
Jika aku tak bisa berjalan-jalan denganmu
Tanpa suatu tujuan
Mengapa jalan harus ada?
Jika aku tak bisa bergurah
Dengan menyebut namamu tanpa rasa takut
Mengapa bahasa perlu ada?
Jika aku tak bisa berteriak “Aku mencintaimu!”
Lalu apa gunanya lidahku ini?
LEGALITAS
Aku tak meminta pada zaman ini
Untuk mengakui legalitas cinta kita
Justru kau dan aku
Yang akan memberi legalitas pada zaman ini
DOA
Pada suatu malam aku berdoa pada Tuhan
Agar aku terbebas dari mencintaimu
Tuhan mengabulkan doaku
Dengan mengubah diriku menjadi batu
PERTANYAAN
Orang-orang bertanya:
Apa warna langit?
Apakah biru?
Merah?
Atau ungu?
Minta mereka menghadap dan bertanya padamu
Sebab langitku adalah dirimu
KEPO
Aku tahu
Dalam hidupmu
Aku adalah wanita pertama
Namun setan yang setiap pagi
Ikut ngopi bersama kita
Tak henti-henti memaksaku untuk bertanya:
“Lalu siapa wanita yang kedua?”
PADA KEDUA LENGANMU
Pada kedua lenganmu
Pengasingan berubah
Menjadi tanah air
DUNGU
Kita membawa gunting
Untuk memotong pita kenangan kita
Dalam sebuah perayaan festival
Kita pun sadar
Yang kita potong bukan pita kenangan kita
Melainkan jemari kita
PELABUHAN TERAKHIR
Aku berjanji padamu
Untuk menjadi tanah airmu
Maka berjanjilah padaku
Untuk menjadi ibu kotaku
Aku berjanji padamu
Untuk menjadi perahu impianmu
Maka berjanjilah padaku
Untuk menjadikanku pelabuhan terakhirnu
Aku berjanji padamu
Untuk menjadi awanmu
Maka berjanjilah padaku
Untuk menjadi hujanku
Diterjemahkan oleh:
Musyfiqur Rahman, mahasiswa pascasarjana konsentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga dan alumnus Ponpon Pesantren Annuqayah, Sumenep. Selain menulis dan menerjemah, ia mengelola sastraarab.com. IG/Twitter: syahdaka.
- Puisi-Puisi Suad al-Shabah - 21 June 2022