Bahaya Cerita Tunggal

Apa yang menghalangi hubungan dan interaksi kita selama ini? Cerita tunggal. Cerita tunggal menciptakan jurang pemisah; keterputusan ikatan antarmanusia. Hal ini menyebabkan hilangnya informasi dan fakta penting. Hal ini juga membujuk kita semua untuk membuat prasangka dan memisahkan orang-orang di sekitar kita. Sebuah cerita tunggal dibuat dengan menunjukkan sekelompok orang tertentu sebagai satu hal dengan berulang-ulang; dan cerita itu yang kemudian mereka pakai setiap waktu untuk menjadikannya persepsi orang lain. Ketika hanya ada satu cerita tentang sekelompok orang, itu akan mendominasi bahkan merampas martabat orang lain. Cerita tunggal mengurangi orang, membuat mereka tidak lengkap, datar, dan berada pada satu dimensi. Akibatnya, menjadi sangat sulit untuk mengenali kemanusiaan yang adil dan setara dalam karakter satu cerita.

Cerita tunggal berangkat dari sudut pandang, satu sisi dari sesuatu atau seseorang. Cerita tunggal memiliki kekuatan menceritakan interpretasi yang salah dari cerita yang sebenarnya. Sebagian dari hidup saya, saya telah mendengar berbagai cerita tunggal. Cerita yang tidak lengkap membentuk hidup saya dalam beberapa cara. Ketika saya berkuliah di Medan, Sumatra Utara, saya selalu bertemu dengan banyak orang, dari berbagai latar belakang sosial-budaya, yang mayoritas dari mereka memiliki pandangan negatif terhadap kampung halaman saya: Parlilitan. Stigma negatif itu masih melekat kuat hingga sekarang. Tentang kampung halaman saya yang dianggap sebagai “sarangnya” para dukun jahat dan adanya praktik-praktik ilmu hitam. Karena itu, ada beberapa orang yang enggan berdekatan dengan saya. Mereka mengira saya akan membawa hal-hal buruk pada mereka. Padahal, saya tidak melakukan apa-apa terhadap mereka.

Saya tidak menyalahkan atau menggugat mereka tentang stigma itu. Justru, saya memberi pengertian dan menceritakan yang sebenarnya. Kemungkinan, mereka mendapatkan cerita itu dari orang lain dan kemudian disebar ke orang lain untuk diceritakan kepada orang berikutnya. Padahal, cerita yang mereka dengar tidak seperti yang mereka bayangkan. Kalaupun ada, itu cerita masa lalu dan hanya terjadi di satu atau dua kampung, yang kemudian membuat orang-orang menggeneralisasikan semua kampung di sana—kampung halaman saya. Saya tidak dapat membayangkan bila cerita semacam ini akan selalu hidup dan tumbuh subur dalam masyarakat kita yang majemuk ini.

Sedihnya, saya tidak pernah mendengar orang-orang bercerita tentang kampung halaman saya yang dikelilingi hutan-hutan yang lebat, sejuk dan indah. Tentang burung-burung dari Eropa yang bermigrasi ke hutan kami. Kampung halaman saya adalah surganya kapur barus, nilam, karet dan haminjon (kemenyan) yang terkenal dan diekspor hingga ke luar negeri. Sayangnya, karena stigmatisasi yang melekat kuat itu membuat kampung halaman saya datang dari satu cerita yang tidak lengkap, tidak adil dan tidak tereksplorasi dengan baik.

Pengalaman lain yang tidak pernah terlupakan. Sewaktu saya merantau ke Pulau Jawa, bertemu dengan orang-orang baru di luar dari suku saya, mayoritas dari mereka selalu mengatakan bahwa orang Batak punya karakter keras, cerewet, dan temperamen. Padahal, tidak semua orang Batak punya perangai demikian. Citra itu seolah melekat kuat dalam diri orang Batak. Keyakinan pada stereotip itu membuat orang-orang di luar suku saya menjadi sangat percaya pada stereotip itu sendiri dan sangat sulit untuk mengubah keyakinan itu karena telah mengembangkan keterikatan emosional dengannya dan tidak ingin atau tidak cukup pintar untuk mengubahnya.

Cerita tunggal yang lain, yang saya dapatkan sewaktu sekolah adalah tentang sejarah. Dalam buku teks mata pelajaran sejarah, kisah-kisah yang dituturkan selalu datang dari pihak pemenang. Teks-teks yang tertaut dalam buku pelajaran sejarah memberikan cara bagi siswa untuk mengonseptualisasikan pembentukan sikap mereka dan keterbatasan cerita formatif yang tidak diperluas oleh cerita dan pengalaman tambahan. Guru SMP saya pernah bertanya, “Siapa penemu Benua Amerika?” Jawaban yang saya dapatkan sudah tentu Christopher Columbus. Tak satu pun di antara kami mengatakan, “Orang yang menghuni pulau” atau “penduduk asli yang berada di pulau.” Itu karena tidak ada cerita lain, yang memadai tentang Pulau Amerika. Semua berangkat dari cerita tunggal belaka.

Apa yang saya dapatkan dan saya pelajari sejak dari SD hingga mengecap universitas adalah sejarah yang ditulis oleh orang yang mampu menulis. Mereka adalah “pemenangnya.” Buku-buku mencatat itu dengan baik. Cerita tunggal itu dituliskan oleh “pemenang” dan kemudian disebarkan ke seluruh penjuru dan itulah yang kita pelajari hingga hari ini. Sejarah selalu menjadi alat “pemenang” untuk membangun kepercayaan diri dan dominasi lahiriah. Sejarah ditulis untuk mengingat hal-hal yang terjadi di masa lalu, dekat atau jauh. Ini mungkin berdasarkan fakta, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan “pemenang.” Biasanya, kebenaran sejarah hanya beberapa persen, dengan beberapa melebih-lebihkan pencapaian dan kurang detail tentang bintik hitam yang tertaut dalam kertas putih peradaban. Sehingga “pemenang” bisa mendapatkan kedamaian dan kenyamanan dari sejarah, dan orang-orang biasa yang tak tertulis dalam sejarah menyembah kemuliaan “pemenang” dan bersujud kepada mereka. Kita hanya membaca dan mendengar cerita “orang-orang menang,” tetapi tidak pernah mendengarkan cerita “orang-orang kalah.”

Apakah itu berarti yang “kalah” tidak pernah menulis tentang “kekalahan” mereka? Hampir selalu ada versi sejarah yang berbeda, yang ditulis oleh orang yang berbeda dengan pandangan berbeda tentang apa yang mereka bicarakan dan alami. Ini tergantung sudut pandang. Menurut saya, kalimat “sejarah ditulis oleh pemenang” ini bukanlah tentang “orang kalah” yang tidak memiliki versinya sendiri atau sepatah kata pun tentang perang, konflik atau pertempuran mereka. Saya selalu memahami ini sebagai “versi pemenang” yang mengambil jalan terbaik dari kesadaran populer. “Versi pemenang” menjadi yang paling diingat orang terlepas dari versi lain, atau tampilan lain, sedangkan “versi kalah” seolah tenggelam dan tidak mendapat tempat. Cara pemenang selalu tampak sebagai orang baik dan yang kalah adalah orang jahat. Pemenang adalah orang baik dan orang kalah adalah orang jahat. Padahal, kita belum tahu pasti siapa yang baik dan siapa yang jahat sebelum mendengar suara dari keduanya.

Cerita tunggal dapat berfungsi sebagai cerita biner, menciptakan ilusi bahwa hanya ada satu ide yang benar dan yang lain adalah salah. Cerita tunggal melahirkan prasangka, rasisme dan diskriminasi karena cerita yang dibuat tentang suatu subjek tidak lengkap dan hal ini membuat cerita dari satu subjek tertentu menjadi satu-satunya cerita paling diakui. Membincangkan sejarah dimulai dengan eksplorasi identitas dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Siapakah saya?” “Sejauh mana saya bisa mendefinisikan diri saya sendiri?” “Label apa yang orang lain berikan pada saya?” Mendefinisikan diri sendiri dan kelompok orang sering kali berarti membedakan “kita” dari “mereka”.

Di samping itu, media juga turut menyumbangkan pengaruhnya dalam menyuguhkan stereotip. Media berbasis iklan produk tertentu selalu menampilkan orang-orang yang “sempurna” dan dipandang “cantik, berkulit putih-bersih, berambut panjang berhidung mancung dan postur badan yang tinggi.” Bagaimana dengan orang berkulit hitam, cokelat, kuning, pendek, botak dan di luar kategori cantik yang kaku tadi? Apakah mereka tidak cantik? Ketika media melakukan ini, kita melihatnya sepanjang hari dan cenderung berpikir bahwa “ketidaksempurnaan” dan “kesempurnaan” ini adalah suatu kenyataan. Jadi, kita mulai membandingkan diri kita dengan orang-orang yang memakai makeup dan rambut mereka ditata secara profesional, yang memiliki wajah yang jelas dan mata yang cerah karena editing dan pencahayaan yang baik, posisi, dan lain-lain. Itu sebabnya orang-orang sering mulai berpikir, bahwa mereka tidak cantik, karena media memberi kita definisi “kecantikan” dengan menunjukkan orang-orang “sempurna” tersebut. Jadi, mengapa media memengaruhi persepsi kita tentang kecantikan? Karena mereka memengaruhi semua persepsi kita yang lain, merasuki kesadaran kita, membiarkan mereka melakukannya dan kita menerimanya secara cuma-cuma. Kita dihantam dengan gambaran-gambaran persepsi sampai pada tingkat yang cenderung melampaui keakraban hingga dapat diterima dan bahkan diinginkan.

Mempromosikan Kebudayaan

Bangsa kita adalah bangsa yang besar, datang dengan keragaman budaya, ras, dan pengalaman yang kaya. Karena itu, buku-buku pelajaran dari semua jenjang juga harus mencerminkan keragaman itu sendiri daripada kecenderungan menekankan pada pengalaman orang-orang dari subjek tertentu atau bahkan dari pengetahuan dan pengalaman orang luar. Semua orang berhak melihat diri mereka sendiri dan anak-anak dengan identitas lain terwakili secara setara dalam buku pelajaran. Ini mempromosikan pemahaman tentang kemanusiaan bersama dan mendorong empati, pengalaman universal dan respons budaya.

Salah satu cara agar peserta didik dapat belajar tentang kelompok orang adalah melalui halaman-halaman buku-buku pelajaran yang mengakomodasi semua entitas budaya. Sama seperti orang sungguhan yang memiliki banyak cerita, begitu juga karakter dalam buku pelajaran. Jika kita mereduksi karakter menjadi stereotip atau mereduksinya menjadi makanan tradisional, festival, cerita rakyat, tradisi, dan kesenian, kita berisiko menceritakan satu cerita: yang cacat, tidak unik, tidak beragam dan tidak indah.

Sudah barang tentu, kita harus merayakan keragaman, dan mempromosikan keunikan dalam budaya masing-masing. Jika buku-buku pelajaran tidak juga berfokus pada kemanusiaan kita yang beragam, kita tidak akan membantu peserta didik mengembangkan pemahaman, empati, simpati dan daya tanggap budaya. Untuk menghindari perangkap cerita tunggal, para peserta didik harus membaca buku tentang semua cerita, jenis karakter, jenis tokoh, jenis bahasa, dengan semua jenis latar belakang dan identitas, dan memiliki semua jenis pengetahuan dan pengalaman yang beragam.

Karena itu, cerita itu memang penting dan memiliki banyak cerita juga sama pentingnya. Kita perlu tahu semua cerita. Semua cerita dari seluruh penjuru Nusantara. Itu mengapa saya selalu mengajak mahasiswa untuk bercerita tentang diri mereka secara lisan atau menulis cerita tentang diri mereka dalam bentuk esai, menulis tradisi mereka yang unik, kebudayaan mereka yang khas dan kemudian dibacakan di depan teman-temannya yang lain. Dengan begitu, cerita yang dikisahkan menjadi sangat beragam dan setiap mahasiswa dapat memahami kebudayaan dan tradisi orang lain.*

Roy Martin Simamora
Latest posts by Roy Martin Simamora (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!