Beliau merupakan salah seorang sufi yang sangat istimewa di dalam dunia rohani. Gema roh di dalam dirinya sedemikian gemuruh, sedemikian rancak, sedemikian indah. Perjalanan rohaninya ditempuh tidak saja dengan langkah-langkah kaki, tapi dengan terbang dan bahkan melesat hingga sampai di haribaan Tuhan semesta alam.
Beliau dianugerahi kesanggupan sedemikian rupa oleh Allah Ta’ala di dalam melipat jarak geografis. Sehingga langkah-langkah hidupnya menjadi begitu efektif. Umurnya padat berisi dengan nilai-nilai keilahian. Karena beliau telah mendapatkan karunia yang berupa migrasi spiritual yang hakiki. Yaitu, hijrah dari alam ciptaan menuju Penciptanya.
Di dalam kitab rujukan utama yang saya gunakan untuk menulis esai singkat tentang biografi para sufi, Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami, sama sekali tidak disebutkan tentang asal-usul, tahun kelahiran dan wafat beliau. Akan tetapi bagi saya pribadi tetap penting menulis sepenggal kisah rohani beliau. Semoga kita semua kecipratan barokahnya. Amin.
Salah seorang sufi menuturkan pengalamannya bersama dengan Syaikh Abu Ja’far ad-Damaghani. “Pada suatu hari,” ungkapnya memulai kisah, “aku berada di Madinah Munawwarah. Aku melihat seorang lelaki non-Arab. Ukuran kepalanya lebih besar ketimbang orang kebanyakan. Dia “berpamitan” kepada Rasulullah Saw sebelum meninggalkan Madinah Munawwarah.
Ketika dia pergi, aku ikuti jejaknya dari belakang hingga akhirnya sampai di Masjid Dzulhulaifah. Setelah melaksanakan shalat, dia menoleh kepadaku: ‘Kau mau apa?’ tanya dia. ‘Aku mau mengikutimu,’ jawabku. Dia menolak. Aku tetap memaksakan diri untuk mengikutinya. Dia akhirnya berkenan juga dengan mengatakan kepadaku: ‘Jika engkau mesti bersamaku, engkau harus meletakkan langkah kakimu di bekas pijakan kakiku.’ Kuikuti perintahnya. Beliau menyusuri jalan yang tidak biasa dilewati oleh orang-orang.
Malam perlahan turun. Kulihat cahaya lampu-lampu. Dia berkata kepadaku: ‘Itu Masjid ‘Aisyah. Engkau atau aku yang di depan?’ tanyanya. ‘Engkau saja, Tuan,’ jawabku. Dia maju dan aku mengikutinya. Ketika masuk waktu dini hari, aku sampai di Makkah. Orang yang semula kuikuti tadi entah telah ke mana. Aku langsung melakukan thawaf dan sa’i.
Setelah itu, aku mendatangi jama’ah sufi yang “dipimpin” oleh Syaikh Abubakar al-Kattani. Beliau bertanya: ‘Kapan kau sampai di Makkah?’ Jawabku: ‘Sekarang ini.’ ‘Dari mana?’ ‘Madinah.’ ‘Berangkatnya kapan?’ ‘Kemarin.’ Mereka secara serentak saling pandang karena merasa heran, bagaimana mungkin baru kemarin berangkat dari Madinah, sekarang aku sudah sampai di Makkah.
Syaikh Abubakar al-Kattani lalu bertanya lagi kepadaku: ‘Kau bersama siapa dari Madinah?’ ‘Bersama seseorang yang kondisinya begini dan begitu,’ jelasku. ‘Oh, itu Syaikh Abu Ja’far ad-Damaghani. Peristiwa yang kau alami itu tidak seberapa bagi dia. Ayo berdiri semua. Kita perhatikan orang ini. Kita kelilingi orang ini,’ ungkap Syaikh Abubakar al-Kattani.”
Bagi seorang sufi sekelas Syaikh Abu Ja’far ad-Damaghani, melipat jarak geografis merupakan hal yang sepele. Karena beliau telah dianugerahi kesanggupan menerobos kelamnya hutan dunia dan rimba akhirat. Karena beliau telah merasakan tidak saja dilingkupi oleh Allah Ta’ala, tapi bahkan seluruh hidupnya diperankan oleh hadiratNya.
Itulah sebabnya kenapa beliau dirindukan oleh banyak orang. Itulah pula sebabnya kenapa beliau menjadi magnet rohani yang sanggup membuat tertarik banyak orang. Orang-orang ingin mendekat kepada beliau semata karena berharap untuk mendapatkan berbagai kemanfaatan dan barokah beliau. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024