POTRET KAKEK
mulanya potret kakek dibingkai oleh pematang sawah
lengkap dengan capung, lubang belut, dan jejak kaki
para petani. setiap malam kami memandang wajah
kenangan menembang, menerbangkan kupu-kupu,
burung pipit, dan wangi padi. mengirim dongeng
pengantar tidur dari dinding ke setiap ruang dalam
rumah. hingga suatu hari ayah membeli televisi
disimpan tepat di seberang potret kakek. mirip gadis,
yang duduk manis di atas lemari antik itu segera
menggelar gelegar perang dari belahan-belahan
bumi yang berkobar, gemuruh ludah lidah para politisi
mengucur, semarak karnaval para koruptor tersenyum
dan melambaikan tangan, mirip aksi artis sinetron yang
memadati nadi kami. dari pagi hingga pagi. kami duduk
menatap pesona paras masa kini, memunggungi potret
kakek yang dari malam ke malam makin kelabu seperti
gunung sunyi. diam-diam berpijaran melelehkan lava
seperti kemarahan yang melabrak bingkai-bingkai
pematang sawah. ayah sigap mengganti bingkai dengan
tanggul yang dibangunnya dari tanah dan batu
kuburan, membendung lelehan potret kakek
di dinding. bau hangus dan dengus menyembur-nyembur
namun tak membuat kami bangkit dari kecantikan
televisi. aih, makin seksi mengirim gelombang pinggul
penyanyi dangdut, ombak air mata lautan sinetron,
arak-arakan pabrik-pabrik narkoba, kibaran bendera
partai-partai politik di medan perang kebencian,
iringan wakil-wakil rakyat berjalan gagah dari senayan
ke penjara. semuanya seperti pesona iklan yang sengaja
ditebar menggoda dan menggiring kami ke jaring-jaring
mimpi ke taring-taring mimpi. kami telungkup menjelma
patung. dari waktu ke waktu. melupakan potret
kakek yang terus meletus dan runtuh
dalam kepung tanggul kuburan
2018
LIPSTIK BIBI
tak ada yang lebih indah dan bergairah
dari lipstik bibi. merahnya melampaui mawar
ibu di pekarangan. melampaui darah ayah
di pentungan polisi. melampaui pekat anggur
di gelas paman. lipstik bibi merah. merah
yang begitu dioleskan lekas mekar jadi
pelangi. tujuh warna, seperti tujuh jalan yang lesat
mencoreti pintu langit. meluncur lagi turun
membawa hujan. hujan kosmetik. hujan tas.
hujan sepatu. hujan parfum. hujan perhiasan.
hujan rok mini. hujan bikini. ajaib memang, langit
begitu baik pada lipstik bibi. tapi lipstik bibi selalu
pergi. selalu mengajak bibi berhari-hari. entah
ke negeri mana. di kamarnya yang kesepian
kami merindukan bibi merindukan lipstik
bibi yang membara siang ataupun malam. lipstik
yang mirip tongkat sihir di tangan bibi itu bisa
menghadirkan pabrik apa pun untuk bibi. dari pabrik odol
hingga pabrik kondom. di kamarnya yang kesepian itu,
kami asyik bersembunyi, menyelundup dari satu pabrik
ke pabrik yang lainnya. bergulingan di gudang-gudang
surat cinta yang membara. bibi yang selalu pergi
menunggang lipstik itu tidak tahu, bahwa setiap hari
selalu saja ada yang datang ke rumah. mengirim banjir
aksi dan demontrasi, kadang sampai melempar
terasi. mereka mencari bibi. mereka itu para istri
yang suaminya menjadi pacar bibi. mereka itu
para suami yang istrinya menjadi kekasih bibi
2018
NAMA UNTUK TEMAN
kami pernah mengoleksi nama-nama
mencari nama untuk teman kami yang datang
dan lenyap menunggang angin. pulang pergi
dari langit ke bumi dari hati ke kening
tentu tak ada yang lebih menarik selain nama
gagah teman-teman ayah yang datang
dan hinggap menunggang kata
pernah kami sodorkan nama-nama
yang menawan: zulfa nasrulloh, wishu muhammad,
rini rahmawati, beby halki, mia indria, deri hudaya,
ridwan hasyimi, alek subairi, addakil muttaqin
ia cuma tersenyum. kami tawarkan pula nama-nama
yang indah: pradewi tri chatami, evi sri rezeki,
endah dinda jenura, rifki syarani fachry,
fahmy farid purnama, umar fauzi ballah
selalu cuma tersenyum. pernah ia tergelak
saat kami pilihkan sebuah nama antik : gusjur. pendek,
lucu di mulut. tapi cuma tergelak. susah sekali mencari
nama bagi yang tak punya nama tak punya ayah ibu
mungkin ia tak memerlukan nama. ia selalu bergurau
ialah muasal semua nama. di setiap nama itulah aku
menyatu, bisiknya seperti teka-teki yang tak pernah
kami temukan jawabannya. tapi ia selalu hadir dan
mengajak bermain. bermain sampai kami akhirnya
tak peduli nama-nama
tak butuh nama-nama
sampai kami lupa
nama sendiri
2018
PASAR SATWA
berjumpa jerapah di sebuah pasar panjang
dan sepi. jerapah itu mengayuh becak. lehernya
terjulur jauh, tersangkut di matahari, asyik mengunyah
daun-daun api. ada asap tumbuh di punggungnya
sepasang sayap asap yang mengembang seperti kabut,
mengepak dan menghamburkan abu hutan kenangan.
“bagaimana kabar ayah dan ibu?” jerit jerapah, matanya
mendelik sebab leher yang terus memanjang itu mulai
melilit langit. jerapah yang rakus itu terus saja menjerit
seperti sirene polisi, sedang kakinya tak henti
mengayuh becak yang mulai melayang-layang
seperti layangan putus. aih, sepasang monyet
berbulu pelangi duduk dalam becak itu. tersenyum
“bagaimana kabar kakek dan nenek?” sapa mereka
sambil menampung abu dengan mulut yang mirip
mangkuk labu. mirip sepasang sumur kerinduan
penuh bulu. mirip kami, sepasang lapar yang terus
memanggil sebab segala sembab di pasar panjang
dan sepi. pasar yang bergerak seperti rasa lapar
“naiklah, jangan malu-malu! kemon! ada ayah dan ibu
di mana-mana.” mulut jerapah masih menjerit-jerit
di langit, sayap kabutnya terus mengepak. abu hutan
abu gunung. abu sungai. abu laut. berhamburan
ditampung mulut sepasang monyet yang terus membesar
“melompatlah, kakek dan nenek menunggu di mana-mana.”
sepasang monyet menyemburkan pelangi ke mana-mana
pelangi yang meledak menjadi beragam satwa warna-warni
jutaan satwa berdesakan di udara. becak melayang, kami
bergelantungan memegang ekor jerapah. melayang-layang
mengelilingi pasar yang mulai mirip blankar panjang
mirip keranda panjang yang terus bergerak. jongko-jongko
kosong mengingatkan kami pada jajaran kuburan
kuburan untuk ayah. kuburan untuk ibu. kuburan untuk
kakek. kuburan untuk nenek. kuburan untuk kami sendiri
2017
- Puisi Toni Lesmana - 23 January 2024
- Puisi-Puisi Toni Lesmana: Perayaan Kesendirian - 8 June 2021
- Hikayat Sakit Kepala - 12 March 2021