Salam Terakhir sang Legenda; Ulasan Film the Old Man & the Gun (2018)

Sutradara dan penulis skenario: David Lowery (Skenario berdasarkan artikel berjudul sama karangan David Gran)

Aktor: Robert Redford, Casey Affleck, Danny Glover, Tom Waits, Sissy Spacek

Robert Redford bukan sekadar seorang aktor, sutradara, produser, pemilik rumah produksi, atau pemrakarsa Festival Film Sundance—sebuah festival yang telah banyak menampilkan bakat-bakat baru dari para sineas di banyak negara dan dinamai berdasarkan nama tokoh yang diperankannya dalam film yang melambungkan kariernya hingga menjadi seorang megabintang di industri perfilman Hollywood, Butch Cassidy and the Sundance Kid (1960)—atau, malah bisa dikatakan bahwa dia lebih dari sekadar gabungan semua itu. Di atas kesemuanya itu ia adalah seorang ikon, seorang legenda (yang masih) hidup.

Sebagai aktor, nyaris semua film yang dibintanginya tak pernah mengecewakan, meski ajang penghargaan perfilman paling bergengsi di Amerika, The Academy Awards tak pernah memberinya Piala Oscar untuk kategori aktor terbaik. Academy justru memberinya piala sebagai sutradara terbaik untuk Ordinary People (1980), film pertama yang ia sutradarai dan ia tidak ikut berperan sebagai aktor. Ia memiliki pesona layar yang khas dan mengilhami metode akting yang diakui dan dihormati para kolega dan aktor-aktor muda lainnya. Yang paling saya ingat adalah ketika ia berperan sebagai Bob Woodward dalam All the President’s Men (1976). Dalam salah satu adegan bertelepon, saya yakin, Robert Redford salah mengucapkan dialog, tapi sutradara Alan J. Pakula justru tidak memotong adegan itu. Efeknya, adegan itu malah menambahi kesan realistis film tersebut secara keseluruhan.

Respek terhadap sang bintang itulah yang terasa kuat dalam film besutan sutradara David Lowery ini, yang sebelumnya pernah menyutradari Redford untuk sebuah film keluarga, Pete’s Dragon (2016). Namun, ini bukan film dengan tema sehangat dan sesemenjana itu. The old Man & the Gun adalah sebuah film pamungkas sang aktor gaek ini, karena Redford sendiri menyatakan bahwa ia akan pensiun setelah film ini. Karenanya, penanganan terhadap berbagai aspek dalam film ini tidak main-main karena ini adalah panggung persembahan terakhir sang legenda di layar lebar.

Tokoh film ini pun klop untuk dijadikan metafora karier pribadi Redford sendiri, tapi bukan soal kriminalnya lho, ya. Kali ini Redford memerankan tokoh nyata bernama Forrest Tucker, seorang career criminal (sebutan untuk penjahat yang naluri kejahatannya makin terasah seiring makin seringnya ia berurusan dengan hukum) yang aksinya lebih ganjil ketimbang fiksi. Ia memulai karier kriminalnya di usia 15 tahun, telah dipenjara 18 kali, dan telah berkali-kali pula berhasil kabur dari penjara.

Spesialisasinya adalah merampok bank. Uniknya, meski ia betul ada membawa pistol, tapi pistol itu, konon, tak pernah berisi peluru. Dan ia memang tak perlu menembakkannya karena senyum dan mata birunya adalah senjata rahasianya. Dari kesaksian para manager dan teller bank yang dirampoknya, mereka terhipnotis oleh kesopanan dan karisma Tucker yang bisa membuatnya melenggang santai keluar dari bank dengan tas berisi uang yang jumlahnya tak banyak-banyak amat. Ya, ia bukan jenis perampok yang bersemangat mengembat uang dalam jumlah berha-ha-ha-ha demi hidup nyaman berfoya-foya setelahnya. Seperti katanya kepada salah satu pengacaranya, saya parafrasekan, “Aku merampok bukan untuk kaya raya, tapi (merampok) itu caraku menikmati hidup”.

Penyakit kambuhan Tucker memang tak tertolong lagi, bahkan setelah kita disuguhi sebuah potongan cerita tentang harapan berkat obat sapu jagat untuk segala persoalan hidup yang sudah sedemikian klisenya digunakan dalam banyak cerita (film Hollywood), yakni “cinta”. Tidak persis-persis amat sih untuk dilabeli “kisah cinta”, tak ada kata-kata itu di sini, tapi adegan pertemuan dengan Jewel (yang diperankan oleh Sissy Spacek dengan akting yang tetap menawan di usia uzurnya, coba perhatikan senyum malu-malu dan semburat merah pipinya. Kalau ada yang membandingkannya dengan Julie Delpy di trilogi Before, saya tetap bertaruh untuk Spacek, deh) adalah salah satu terminal terakhir yang masih menyisakan sedikit pintu “pertobatan” lewat hubungan bernuansa romansa di hari tua.

Akan tetapi, ini bukan film moralis. Di sisi penegak hukum ada sang polisi John Hunt (diperankan Cassey Affleck yang untuk kali ketiga diarahkan oleh Lowery setelah Ain’t Them Bodies Saint (2013) dan A Ghost Story (2017)). Meski ia digambarkan berjibaku mengungkap kasus ini—apalagi ia gemas gara-gara kecolongan di depan mata sendiri. Saat sedang bersama anaknya di sebuah bank, bank tersebut dirampok Tucker dan dua kaki tangannya dengan licinnya—, tetapi di sini ia bukan orang yang, pada akhirnya, bisa meringkus Tucker, karena FBI mengambil alih kasusnya. Padahal, menjelang akhir film, ada adegan Tucker menghampiri Hunt dan keduanya sok-sokan tidak tahu sama tahu satu sama lain.

Meski tindakan kriminal Tucker dan dua anggota geng Over the Hill-nya (diperankan oleh Danny Glover dan Tom Waits yang, meski tampil dalam beberapa adegan saja dan berkesan menggantung, tapi lumayan menambahi latar psikologis tokoh utama dengan akting keduanya)  salah di mata norma mana pun, tapi film ini tidak berpretensi untuk menggugatnya secara frontal, bahkan hingga akhir film. Adegan-adegan perampokan pun terasa berkomedi, karena barangkali memang tak ada kekerasan berdarah-darah di sana. Adegan penangkapannya pun bukanlah adegan ala Bonny and Clyde (1967) yang penuh baku tembak.

Pada beberapa unsur, cerita film ini seperti mengelak pada tuntutan pakem Hollywood sehingga ketika menontonnya kita seperti mendapatkan antiklimaks. Kita mungkin bisa menisbahkannya ke “kejadian nyata” yang dialami Tucker, karena toh dalam realitasnya Tucker memang penjahat kambuhan yang tak akan pernah berubah sampai mampus. Namun, sebagaimana saya katakan di atas, kisah film ini ada mewakili persona Robert Redford sendiri. Meski ia dibesarkan industri arus utama Hollywood, ia juga selalu mencari celah untuk bakat-bakat lain yang tidak terlalu direken Hollywood. Redford punya jiwa pemberontak, kadarnya silakan takar sendiri, yang sekaligus menambahi karismanya.

Lewat Sundance yang telah melembaga secara rutin, spirit itu akan tetap terjaga, meskipun sang legenda telah memungkasi profesi keaktorannya dengan akting gemilang dalam film yang berkesan dalam ini, setidaknya bagi saya yang juga telah berada di usia yang tak muda lagi (sudah, jangan dibahas!). Tinggal Clint Eastwood yang masih “tua-tua keladi”, tetap berakting dan menyutradarai di usia tua (Di tahun 2018 kemarin ia menelurkan The Mule). Semoga Al Pacino dan Robert de Niro mengikuti jejak Redford, daripada bermain dalam film yang “yasudahlah”, mending pensiun aja, Opa! Apalagi para aktor yang jauh lebih muda, seperti Bruce Willis dan Nicholas Cage, fyuh!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!