DI MALIOBORO
Malioboro tanpa dirimu hanyalah jejeran sepeda, becak
Dan bangku-bangku kosong. Kutulis puisi dan terhenti
Tiba-tiba, seperti hidup yang dicekik pekik kengerian
Kekasih, Malioboro tanpa dirimu adalah puisi yang kehilangan
Kata-kata. Hanya bunyi yang mengambang di jalan lengang
Di lampu-lampu pias. Bangunan-bangunan itu
Adalah tubuh murungku yang meringkuk
Tanpa selimut. Tanpa dirimu, Malioboro juga kehidupan
Seperti kubur panjang kesunyianku
Kuhibur diriku dengan potret wajahmu, paras remaja
Yang kubekal siang malam. Kupasang di tiang-tiang
Lampu-lampu jalan kemudian kubacakan
Puisi yang tak tuntas ini, kubacakan
Dengan suara yang memar. Terus kubacakan
Seperti merapal doa bagi fajar kedatanganmu
YOGYAKARTA
Apa yang kuingat di kota ini hanyalah dirimu
Tak ada yang lain. Kunikmati setiap embusan
Napas. Ada napasmu, kekasih, terhirup lembut
Menghangatkan dada sepanjang perjalanan sendu
Di kota ini. Dulu kita saling menanggalkan kesedihan
Alun-alun, keraton, kauman seakan pusat semesta cinta
Kusongsong matahari pagi dengan tatapmu di tatapku
Kekasih, langkahku kini ringan, tubuhku melayang
Menapaki jejak kegembiraan. Jengkal demi jengkal
Erang dan desah, geliat dan gelinjang sajak kasmaran
Setiap tempat, di sini, adalah dirimu
Setiap arah, di sini, adalah parasmu
Kunikmati lagi cinta yang riang
Kuhayati lagi perasaan yang lepas
Dirimu, di sini, dalam diriku
Hanya dirimu yang kuingat
Di kota ini, kekasih, dan kata
Nyala merah kemesraan
PERJALANAN KECEMBURUAN
Subuh ini, berjalan melewati para pedagang, becak
Dan lelaki yang mengenakan blangkon di sebuah tugu
Dari perempatan kuikuti langkah sepasang pengamen
Yang berbelok ke arah stasiun. Lampu jalan dicumbui angin
Hotel-hotel seperti saling cubit saling gigit
Dalam gigil. Gitar tergantung di punggung lelaki
Yang tangannya pelan meremas pundak perempuan
Melewati sebuah kantor surat kabar yang memendam
Sajak-sajakku untukmu, sajak-sajak yang mungkin
Sedang merayap ke jendela, memandang dunia
Dengan mata merah jambu mereka
Seseorang menyapu jalanan, seperti aku yang selalu
Ingin membersihkanmu dari guguran daun masa lalu,
Sia-sia. Kenangan seperti sampah yang selalu datang
Dilempar tangan-tangan jahil waktu. Serupa penyapu itu
Setiap pagi kubersihkan jalan-jalan di hatimu
Sebagai bagian dari kesetiaan, atau mungkin
Kecemburuan. Sepasang pengamen itu masih berjalan
Berpegangan. Kuikuti dengan perasaan iri dan sunyi
Langkah mereka lagu yang tak lagi memerlukan
Nyanyian riuh stasiun Tugu. Kereta yang lamban dan berat
Gerbong-gerbong itu mirip kerinduan yang merayap
Di tulang punggungku. Membikin bungkuk dan nyaris
Tersungkur. Terus kuikuti mereka yang saling menyatakan
Cinta, tanpa kata-kata. Kurindukan dirimu, kekasih
Di bawah hijau penunjuk jalan. Kurindukan hingga aku
Mabuk bahkan nyaris gila. Kupanggil dirimu sambil
Menyeberangi jalan, seolah-olah kau ada di sana
Padahal hanya sepi pohon beringin. Aku gemetar
Melepas kancing dan kencing sambil tetap
Memanggil dirimu. Di bangku-bangku cokelat Malioboro
Kucari lagi dirimu, kekasih. Namun yang kutemukan
Lagi-lagi sepasang pengamen itu yang saling peluk
Berbagi kecup. Aku terus berjalan memeluk diri
Sendiri. Memeluk dirimu dalam diriku, dirimu
Dalam diriku. Memeluk kecemburuan
DI PRAMBANAN
Meloloskan diri dari kerumunan gemuruh dunia
Kubawa tubuhku, sendiri memasuki pelataran candi
Seperti memasuki sebuah hati. Hatimu, kekasih
Diam-diam kusucikan sekujur rindu ini, sebelum
Kusentuh bongkah-bongkah batu, reruntuhan
Yang ambruk disebabkan lindu cemburu. Jemariku
Gemetar dan dadaku berdebar
Sayup suara gamelan jiwa, mengalun dari pohon
Berbunga jingga. Candi-candi meruapkan aroma
Dupa, selubung harum patung-patung kesabaran
Yang menyapa ramah dalam gelap dan lembap
Kumasuki semua candi, seakan memasuki ruang
Suci dalam hatimu. Kumurnikan kata-kata dengan
Darah segar luka, lantas kupanjatkan sajak-sajak
Cinta, doa-doa kasmaran yang melulu menyebut
Namamu, kekasih, berulangkali. Berulang-ulang
Di sini kutemukan, pada puncak-puncak stupa,
Diriku memeluk dirimu. Ratusan tahun menyusun
Bongkah-bongkah kata dari kerontang sungai batin
Menjadi seribu puisi persembahan. Kuukir pernyataan
Cinta menjelma relief-relief, kekasih, dan aku terus
Memanggilmu hingga suaraku pecah menjadi
Hamparan pasir. Angin menerbangkan lembut diri
Sukmaku kepadamu. Ciumlah, peluklah angin yang
Harum berembus mengelusmu. Tubuhku masih
Keluar masuk candi, tapi sukmaku sudah melayang
Pulang. Kepadamu. Bersarang nyaman di dirimu. Rumah
Ibadah paling indah bagi cinta dan luka
GOA PINDUL
Kukenang sebuah goa
Celah sempit dengan sungainya
Yang hijau dan tenang
Kukenang lagi kegelapannya
Sayap kelelawar dan lebat
Rambut batu waktu
Terkenang pula tubuh
Yang mengalun lembut
Basah menanti lenguh
Jatuhnya sehelai cahaya
Nyala dari senyummu
Dari cintamu, kekasih
- Puisi Toni Lesmana - 23 January 2024
- Puisi-Puisi Toni Lesmana: Perayaan Kesendirian - 8 June 2021
- Hikayat Sakit Kepala - 12 March 2021
Novita
great:)