Sungguh sangat menakjubkan. Betapa tidak, bumi luas membentang yang diciptakan oleh Allah Ta’ala melalui kemuliaan cahaya Nabi Muhammad Saw. ternyata sepenuhnya diproyeksikan oleh hadiratNya untuk menjadi sajadah bagi seluruh sembah sujud beliau dan umatnya. “Sesungguhnya keseluruhan bumi itu merupakan masjid,” sabda beliau pada suatu hari.
Di satu sisi, cahaya suci beliau itu merupakan sarana bagi penciptaan bumi dan seisinya. Bahkan bagi penciptaan seluruh alam raya. Sementara pada sisi yang lain, bumilah yang menjadi wasilah bagi berlangsungnya sembah sujud beliau dan umatnya di hadapan Rabbul’alamin. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa bumi yang sebenarnya fana itu telah bermigrasi secara ontologis menjadi bernilai abadi. Itulah yang disebut dengan genangan keabadian di tengah kepungan ingar-bingar semesta dan kefanaan. Semacam simbiosis-mutualistik-spiritual yang sangat estetis dan elegan.
Betapa sangat asyik. Di hadapan Allah Ta’ala, berbagai hierarki spiritual itu tidak selamanya dibikin saklek dan kaku. Secara lazim, tingkatan yang lebih rendah secara rohani pasti membutuhkan jenjang yang lebih tinggi sebagai wasilah untuk semakin tinggi dan lebih sempurna di hadapan hadiratNya. Tapi karena jelas bahwa Dia tidak terpaku dengan kelaziman, bebas dengan kemutlakan iradahNya, maka sering kali hadiratNya itu justru menghendaki yang sebaliknya. Yakni, yang lebih tinggi itu mesti melewati yang lebih rendah untuk semakin dekat denganNya.
Renungilah dengan jernih dan penuh rasa takzim, bagaimana Allah Ta’ala menempatkan pasukan tentara Islam di Perang Badar melalui usulan ‘Umar bin Khaththab dan tidak memberikan petunjuk langsung kepada Rasulullah Saw. Ketika beliau selesai menempatkan pasukan, ‘Umar bertanya: “Ya Rasul, apakah penempatan pasukan ini berdasarkan perintah langsung dari Allah?” Beliau menjawab: “Tidak, ini hanya realisasi dari perhitungan strategi perangku.” ‘Umar menukas: “Kalau begitu, mending dipindah ke dekat sumur itu. Sehingga ketika nanti panas makin terik menggigit, kita bisa tetap menguasai mata air, sementara mereka tidak. Itulah salah satu cara agar kita menjadi pemenang.” Dan dengan rendah hati dan sikap menghargai, beliau pun mengikuti saran sahabatnya itu.
Tidak hanya itu. Perhatikan pula bagaimana Allah Ta’ala melindungi Sang Nabi Terpilih Saw. itu dengan menjadikan laba-laba dari burung merpati sebagai “tameng” yang diletakkan di mulut Gua Tsur saat beliau dikejar-kejar oleh orang-orang dari kalangan umatnya sendiri yang betul-betul tidak paham apa artinya petunjuk dan keselamatan bagi diri mereka sendiri, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Sungguh menakjubkan, binatang-binatang tak berakal sekalipun bisa menjadi sakti di tangan kuasa dan kehendakNya.
Atau seperti Malaikat Jibril yang keberadaannya, sebagaimana makhluk-makhluk lain yang berjibun dan tidak terhitung jumlahnya, bergantung terhadap keberadaan cahaya suci Nabi Muhammad Saw. itu. Tapi lihatlah bagaimana Allah Ta’ala menjadikan Si Penghulu dari seluruh kalangan malaikat itu sebagai penyampai firmanNya terhadap seorang Nabi Pungkasan Saw. yang kepadanya seluruh makhluk yang lain telah berhutang jasa.
Dan masih banyak contoh lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa walaupun hierarki spiritual itu memang ada, tidak selayaknya siapa pun merasa lebih tinggi secara rohani dibandingkan dengan orang lain. Bahkan dibandingkan dengan makhluk-makhluk di luar manusia sekalipun. Karena setiap tingkatan kemuliaan sesungguhnya mutlak milik Allah Ta’ala belaka, bukan milik siapa pun dari kalangan makhlukNya: “Sesungguhnya seluruh kemuliaan itu adalah milik Allah,” (QS. Yunus: 65).
Suatu saat, Syaikh Junaid Al-Baghdadi yang merupakan poros dari berbagai tarekat ditanya oleh seseorang: “Mana yang lebih mulia antara engkau dengan anjing?” Guru dari Syaikh Husin bin Manshur Al-Hallaj itu menjawab: “Belum tahu, boleh jadi lebih mulia anjing. Tapi kalau di akhirat aku masuk surga, berarti aku yang lebih dimuliakan oleh Allah.” Sebuah jawaban yang betul-betul mengindikasikan kedewasaan dan kematangan rohani.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 1 November 2024
- Syaikh Abu Muhammad ar-Rasibi - 25 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Muqri - 18 October 2024