Masih ingat adegan kala Rangga mengajak Cinta ke daerah Kwitang, Jakarta Pusat, tempat ia biasa membeli buku-buku lawas di film ‘AADC?’ pada 2002 lalu? Saat itu, sebelum bertengkar, Rangga berkunjung ke kios pedagang buku langganannya, Pak Limbong—diperankan almarhum Gito Rollies.
Di sana, Rangga dan Cinta bertengkar masalah kepentingan individu dan kelompok, dalam hal ini hubungan asmara. Saat Cinta pergi meninggalkan Rangga, Pak Limbong mengucapkan sebuah kalimat kepada Rangga—yang sempat dijadikan sebagai joke.
“Kau perhatiin, kalau sampai dia menengok kemari, itu berarti dia berharap kau mengejarnya.”
Adegan ketika Rangga dan Cinta pertama kali pergi bareng ini, mungkin saja salah satu adegan yang paling tertancap di ingatan banyak orang tentang film “AADC?”. Pak Limbong menjadi potret pedagang buku lawas di daerah Kwitang yang sudah “dimakan zaman”.
Pemandangan buku-buku dan majalah-majalah bertumpuk di emperan jalan dan kios-kios terlihat di film itu. Ya, Kwitang memang sempat menjadi surga para pemburu buku lawas. Setidaknya sebelum para penjaja buku direlokasi ke Blok M Square dan Terminal Pasar Senen pada 2008 lalu, dengan alasan menjaga ketertiban umum.
Meski saat ini kita masih bisa menemukan beberapa pedagang buku di trotoar jalan kawasan Kwitang, mayoritas sudah hijrah ke dua tempat tadi.
***
Ihwal denyut nadi para pedagang buku lawas, memang memiliki sejarah yang cukup panjang di Jakarta. Mereka seakan-akan kerap pindah tempat, sesuai tuntutan kebijakan pemerintah kota.
Pada 1950an, selain barang bekas, seperti pakaian, alat-alat dapur, piringan hitam, dan sebagainya, buku lawas dijual di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat. Penulis Seorang Pembantu—tentu saja bukan pembantu betulan—mengisahkan hal itu di majalah Varia edisi 12 November 1958. Seorang Pembantu merupakan istilah yang digunakan oleh media massa kala itu untuk menyebut kontributor.
Menurutnya, para pedagang ramai setelah orang-orang Belanda pulang—atau dipaksa pulang—ke negerinya.
Dahulu, kawasan Menteng memang menjadi salah satu basis tempat tinggal para londo. Pada 1957 dan 1958, menurut penuturan Firman Lubis di dalam bukunya Jakarta 1950-an; Kenangan Semasa Remaja, hubungan Belanda dan Indonesia memanas, akibat memuncaknya sengketa wilayah Papua yang masih diduduki Belanda.
Pada 1957, pemerintah Indonesia mengambil tindakan tegas untuk mengambilalih perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Lantas, kampanye anti-Belanda muncul di mana-mana, termasuk di Jakarta. Orang-orang Belanda pun pulang ke negerinya.
Seiring waktu, banyak rumah-rumah yang ditinggalkan orang Belanda itu diambil alih oleh orang-orang Indonesia. Pedagang pun menguasai wilayah Jalan Surabaya untuk menjajakan dagangan barang bekas dan buku-buku lawas.
Menariknya, para pedagang buku lawas di kawasan Jalan Surabaya itu biasa memakai peti-peti untuk menyimpan buku-buku lawas dagangannya.
“Dipodjokan dj. Surabaja berderet-deretlah peti besar2 dan didalamnja terdapat buku2 tua, dari jang tertipis hingga jang tertebal, dari jang masih agak baru hingga jang sudah hampir hantjur termakan kutu,” tulis Seorang Pembantu di majalah Varia.
Para pedagang buku lawas, biasanya duduk di sebelah rak buku-buku yang mereka jajakan. Sembari matanya mengawasi para pembeli, yang tak jarang hanya melihat-lihat dan “mengacak-acak” saja.
Fungsi peti bagi si pemilik kios buku lawas adalah untuk menyimpan buku-buku itu, kalau kios tutup. Seorang Pembantu pun menulis soal perbedaan berbelanja di toko buku biasa dan di pelapak buku lawas. Menurutnya, kita mesti punya keahlian menawar, kesabaran tinggi, dan sedikit licik—pura-pura menanyakan buku yang tak terlalu penting, kemudian menyelipkan pertanyaan buku yang sangat penting dicari. Begitulah.
Lantas apa buku incaran para penggemar buku lawas di masa itu?
Ternyata buku-buku berbahasa Belanda. Menurut sang penulis, buku-buku itu banyak diburu, karena pemerintah tak memperkenankan kembali mengimpor buku-buku berbahasa Belanda.
Para pedagang, tulis Seorang Pembantu, mendapatkan buku-buku lawas dari hasil membeli dari orang-orang yang membutuhkan uang, atau mereka yang menjualnya karena tidak diperlukan lagi.
“Banjak sekali diantaranja adalah anak-anak sekolah jang karena membutuhkan uang untuk membeli buku lainnja, terpaksa menjual buku2nja jang sudah kurang diperlukan lagi. Juga karena sempitnya tempat di rumah, banjak orang jang terpaksa menjimpan hanja buku2 jang benar2 berguna dan menjual jang dianggapnja kurang perlu.”
Para pedagang itu, juga mendapatkan buku-buku lawas dengan cara kiloan. Harganya tentu rendah. Dan, dijual kembali dengan harga yang “pantas” untuk sebuah buku lawas. Tentu saja, harga itu relatif, kan?
Seorang Pembantu menyebut tempat lainnya di Jakarta saat itu yang menjual buku lawas. Selain di Jalan Surabaya, ia menulis bilangan Pasar Senen merupakan pusat pasar buku lawas. Nah, kalau dicermati, kawasan Senen memang dari dahulu adalah tempat perputaran buku-buku lawas yang “seksi” itu. Saat ini, kita tak akan lagi menemukan penjaja buku lawas di Jalan Surabaya.
***
Firman Lubis, penulis buku Jakarta 1950-an; Kenangan Semasa Remaja, mengatakan ketika itu ada sejumlah toko buku di Jakarta, selain para pelapak yang menjajakan buku-buku lawas di emperan jalan. Ia menyebut, Gunung Agung—sebelumnya bernama Lie Tak San Kongsie–sebagai salah satu yang terkenal. Toko tersebut masih bisa kita lihat hingga kini, di bilangan Kwitang, di antara jejeran pelapak buku emperan yang masih bertahan di sana—meski mereka kucing-kucingan dengan petugas. Sebelum di Kwitang, Gunung Agung membuka gerainya di Kramat Bunder. Selain Gunung Agung, ada toko buku Tropen di Pasar Baru dan van Dorp di Jalan Juanda.
Buku bacaan saat itu, kata Firman, yang paling populer adalah buku-buku cerita silat Indonesia dan terjemahan. Selain itu, ada pula buku-buku berbau “porno”. Harganya sekarang tentu saja sudah mahal, karena sudah dianggap langka dan antik. Dahulu, mungkin masih murah-meriah.
Buku-buku yang saya sebutkan terakhir sempat membuat Pramoedya Ananta Toer geram. Sastrawan adiluhung itu menulis di Star Weekly edisi 12 Januari 1957. Di dalam artikelnya berjudul “Keadaan Sosial Parapengarang Indonesia”, Pram menilai, “Sebuah buku tjabul atau sensasi jang serem bisa mengalami tjetak-ulang 3 kali dalam setahun, dengan oplag antara 3 sehingga 7,5 ribu buah.” Ia menyindir sepinya para pembaca membeli buku-buku sastra berkualitas, yang susah payah habis dalam waktu lima tahun dengan 3 ribu hingga 7.500 eksemplar.
Sejatinya, buku-buku yang dikatakan “porno” oleh Firman dan Pram itu tak lebih dari buku fiksi kriminal, yang dibumbui sedikit cerita tentang hal-hal agak erotis. Biasanya sampulnya menggambarkan seorang perempuan, yang membuat para pembaca lelaki tergiur.
Saya sendiri memiliki beberapa buku berjenis itu, salah satunya berjudul Trio. Buku yang sampulnya menggambarkan ilustrasi seorang perempuran berbikini, lelaki dan perempuan bercumbu, dan pria yang melihat mayat tergeletak itu berisi tiga cerita dari tiga penulis, yakni “Perawan tak Bertjelana” karya Vicky, “Drama Ngeri di Malam 29 Mei” karya Alex Mogot, dan “Pengakuan” karya A. Rachman DJ. Isinya, ya cerita kriminal.
Kini, di tengah gegap-gempita teknologi, komunikasi, dan informasi yang semakin mutakhir, para pelapak buku lawas rupanya memiliki tempat berdagang yang lebih hemat, cepat, praktis: media sosial.
Para kolektor biasanya membeli dengan buas di para pelapak yang berseliweran di media sosial. Mereka tak peduli harga, asal lawas dan terkesan langka, mereka beli. Tak peduli ketika sampai di rumah, buku-buku lawas itu dibaca atau dibiarkan tergeletak saja di ruang-ruang sesak di rumahnya. Hingga habis dimakan ngengat.
- Menyaksikan Sepak Bola Indonesia Tersungkur di Asian Games 1962 - 30 July 2018
- “Hijrahnya” Buku-Buku Lawas - 8 February 2018
- Simbol Puitik “Istirahatlah Kata-kata” - 26 January 2017