Sam dan Seekor Burung yang Akan Mengantarkannya ke Surga

Hubungan Sam dengan istrinya sebenarnya baik-baik saja, tidak pernah ada masalah serius, sampai pada suatu momen wanita itu terpaksa mengusirnya pergi.

Tidak ada adegan banting pintu pagi itu, atau baju-baju yang melayang, bahkan ungkapan-ungkapan manis pengusiran semacam minggat dan sebagainya, sama sekali tidak terdengar. Namun dengan naluri kelelakiannya, Sam tahu diri dan maklum belaka bahwa istrinya untuk beberapa saat mungkin tak ingin melihat mukanya lagi.

Seterang cahaya matahari yang mengguyur pelupuk matanya, Sam sudah jelas melihat bahwa persoalan ini timbul dari kakak iparnya. Tapi ia tak bisa menahan kakinya yang sudah kadung melangkah enteng meninggalkan rumah itu.

Aku tidak mendengar suara motor, atau pintu kamar yang dibuka dari luar saat ia menyelinap ke rumahku. Tapi begitu terbangun pukul 10.00, kulihat Sam sudah tiduran di lantai di bawah ranjang seperti sampah.

Setelah sebentar mencuci muka, aku membawakan sebotol air putih bersama teh jeruk nipis. Kemudian kubuatkan roti tawar yang sudah kububuhi margarin dan kutaburi gula pasir untuk menu sarapan. Saat itulah, ia bercerita tentang seekor burung yang akan mengantarkannya ke surga.  

“Ia milik Burhan, kakak iparku, dari sana permasalahan ini bermula,” kata Sam sambil memungut rokok dari saku celananya. Aku tidak menemukan umpatan dari ucapannya, meski hatinya kupikir sedang tidak baik-baik saja.

Tentulah cerita soal burung versi Sam tidak semulia kisah seorang pelacur dengan anjingnya. Sang pelacur diriwayatkan melenggang ke surga lantaran menyelamatkan nyawa seekor anjing yang kehausan. Sementara burung versi Sam, sebenarnya lebih cenderung aib keluarga.

Berdasarkan keterangan Sam, usia kakak iparnya sekarang 38 tahun, terpaut hampir delapan tahun darinya. Selain gemar memelihara burung, Burhan juga rajin shalat, dan selebihnya adalah pengangguran.

Semula Sam memandang kakak iparnya sebagaimana ia menatap pegunungan, kokoh nan menyejukkan. Namun saat sudah serumah dengan menikahi Fatimah, sampai sekarang Sam mengaku belum menemukan ungkapan yang pas untuk mewakili watak kakak iparnya.

Aku bisa berusaha menjelaskan bahwa intinya, Burhan senang merecoki urusan Sam dan Fatimah. Lama-kelamaan gangguan semacam itu kian mengusik konsentrasinya dalam mengendalikan kemudi rumah tangganya.

Gejala awal yang diperlihatkan kakak iparnya adalah tujuh bulan lalu, ketika Sam dan istrinya memutuskan mengambil kredit motor untuk merayakan satu tahun pernikahan. Keduanya sudah sepakat memilih jenis skuter matik keluaran terbaru, bahkan sudah menghubungi salesnya.

Tapi Burhan yang mencium rencana itu tiba-tiba langsung mendesak agar mengambil motor lanang saja yang lebih gagah. Untuk menguatkan argumennya, ia mencontohkan Gus Mahar yang karismatik dan punya empat istri. Setiap sore ia melihat panutannya itu pergi menilik ladang dengan mengendarai motor sport. Kalau tidak bisa mencontoh amal perbuatannya, kita harus meniru apa yang orang alim kenakan. Kira-kira seperti itu anjuran kakak iparnya. 

Sam kurang setuju pada awalnya. Tapi atas saran istrinya, ia akhirnya mengalah. Burhan adalah kakaknya yang bagaimana pun punya peran bagi keluarganya, begitulah sang istri menenangkan.

“Sekarang, dia bahkan sudah menyiapkan nama untuk anak kami nantinya,” ucap Sam.

“Lebih baik sekarang kau cari kontrakan saja,” aku berkomentar, “Atau tinggal sementara di rumah orang tuamu.”

“Aku sudah mengusulkan, tapi persoalannya tidak semudah itu,” jawab Sam.

Kawanku lalu menjelaskan, sejak ibu mertuanya meninggal, hanya Fatimah satu-satunya wanita di rumah itu. Ayah dan kakaknya belum terbiasa menghadapi seabrek urusan rumah, dan sebagai satu-satunya perempuan, ia merasa punya tanggung jawab untuk ikut mengurus keperluan mereka. Apalagi mendiang ibunya pernah berpesan untuk menjaga dan mengurus Burhan sebelum ia menemukan jodohnya.

Namun sampai detik ini, Sam tak yakin ada wanita keblinger yang mau hidup dengan Burhan. “Kupikir ia tidak akan menikah,” katanya.

Untuk sekadar meringankan hatinya, aku membuka layanan pemutar musik berbayar dari ponselku, lalu menawarinya barangkali ada lagu yang ingin ia dengarkan. Sam mula-mula menjawab terserah, tapi ketika aku menyetel Bob Dylan “Blowin’ in the Wind”, baru setengah menit berjalan tiba-tiba dia minta dimatikan. Aku menurutinya.

Sebenarnya Sam curiga bahwa kesukaan kakak iparnya pada burung hanya pelarian belaka akibat terlalu banyak menerima penolakan. Maksudku, ada jenis manusia yang mendadak menggeluti hal lain hanya karena kesulitan memeluk apa yang ia cita-citakan.

Seorang pemain gitar akhirnya pergi menjajakan tanah kavling karena ia kesusahan bertarung di atas panggung. Fakta-fakta itu membuktikan bahwa manusia adalah makhluk paling bisa bertahan dalam kondisi apa pun. Kini, setelah menerima penolakan ke sembilan, Burhan menemukan cintanya pada seekor burung. 

Setiap pagi, sambil mengapit rokok, ia akan bersiul di depan burung-burung peliharaannya. Ia tak lupa memandikan, menjemurnya, atau membersihkan kandang, juga tidak terlambat menyiapkan pakan. Kadang-kadang ia menyetel suara burung berkicau dari Youtube dengan volume keras. Sam tidak tahu persis apa maksud dari tingkahnya itu, tapi yang jelas perkara tersebut membuat kebisingan tersendiri baginya.

Aku perlu menegaskan posisiku dalam cerita ini bukanlah orang netral. Maksudku, Sam adalah kawanku, kami sudah lama saling mengenal. Artinya aku harus selalu mendukungnya. Bahkan jika ia menyuruh aku menculik kakak iparnya, sekarang juga, aku tidak bakal menolak. 

Jauh sebelum ia menikah, kami sering berkumpul sekadar gitaran di teras rumah sampai larut malam. Saat-saat itu, mungkin bosan dengan hari-hari monoton yang kami lalui, Sam mengajakku membuka usaha jasa cucian motor. 

Terus terang aku tertarik dengan usulan itu. Tapi kemudian aku lebih memilih membuka kedai kopi demi sebuah pertemanan. Maksudku, banyak hubungan persahabatan mendadak rusak bermula dari bisnis bareng. Memang tidak semuanya, tapi aku berjaga-jaga saja.

Sam kemudian membuka usahanya sendirian dengan hanya mengandalkan sekumpulan bocah luntang-lantung yang biasa menenggak sirup obat batuk sampai puluhan bungkus di pinggir jalan. Ia merekrut mereka dengan pembagian 60 persen untuk Sam, dan sisanya buat mereka.

Tak disangka usahanya mujur, dan anak-anak itu sekarang tumbuh dengan lebih baik, mereka tidak lagi mabuk sirup obat batuk, tapi sudah ganti vodka setiap akhir pekan.

Meski begitu, Sam enggan mengabaikan kesempatan gemilang yang menghampirinya. Ia pun membuka cabang satu lagi di seberang sebuah SMA Negeri. Di sana ia bertemu seorang guru honorer berbulu mata lentik bernama Fatimah.

Wanita itu datang di hari Jumat sehabis gerimis. Dari meja kasir, Sam terus mengamati gadis itu yang menunggu cucian motornya sambil terkantuk-kantuk, dan gadis itu sempat membuang senyum malu-malu dari balik kerudungnya saat ketahuan tertidur. Berbekal isyarat malu-malu itulah pada kedatangannya yang kedua, Sam memberanikan diri berkenalan. 

Pertama kali mengunjungi rumah Fatimah, Sam disambut lelaki berjenggot keriting dan berambut botak yang kemudian ia ketahui adalah kakaknya. Lelaki itu murah senyum dan suka mengajak ngobrol ketika Sam berkunjung ke sana. Di saat-saat seperti itu, Sam cuma perlu menyimak apa pun topik obrolannya sambil berbagi rokok. 

Sebuah inisiatif pun lalu terbit dengan sendirinya. Setiap kali berkunjung ke rumah Fatimah, kawanku ini akan membawakan dua bungkus rokok khusus untuk calon kakak iparnya.

Pendekatan itu kenyataannya memang berhasil melancarkan asmaranya sampai ke pelaminan. Aku tahu, hubungan keduanya sempat ditentang bapak Fatimah gara-garanya Sam berasal dari lingkungan organisasi Islam yang berbeda dengan mereka. Tapi kakak iparnyalah yang kemudian datang memberi semacam pencerahan dengan ucapan-ucapan menyejukkan hati. 

Sampai pada akhirnya mereka menikah, Sam, demi apa pun yang ia hormati, tak punya cara dan keberanian bagaimana harus menghentikan jatah rokok untuk kakak iparnya yang di usianya menginjak 38 tahun itu masih membujang dan pengangguran. 

Terkadang dalam hati kecilnya Sam berharap iparnya akan merasa tak enak hati atas pemberiannya itu, lalu memintanya untuk menyudahi saja. Tapi seiring berjalannya waktu, bujang bongkotan itu justru makin kelewatan dan kian tak tahu diri.

Ketegangan itu akhirnya mengalami puncaknya di pagi hari, setelah dua pria berjaket kulit tiba-tiba datang ke rumahnya untuk mengambil kembali motor yang sudah nunggak empat bulan. Sam terkejut, sebab selama ini dia merasa sudah menitipkan duit setoran kepada Burhan, bahkan ia sengaja tak minta kembalian untuk dia beli rokok. Tapi ternyata uang-uang itu dilarikan untuk seekor murai.

Saat ditanyai, Burhan berdalih pinjam dan berjanji akan menggantinya jika burung itu menang lomba. Tak berhenti sampai di sana, ia juga sempat memberi nasihat halus, bahwa burung itu bisa menjadi ladang pahala untuk bekal akhirat jika Sam mau mengikhlaskan uangnya.

Mendengar itu, Sam, untuk pertama kali dalam hidupnya tiba-tiba merasa punya kesempatan menghajar orang. Seketika itu juga ia mendaratkan dua pukulan persis ke muka Burhan. Serangan itu membuat ia terjengkang ke meja makan saat istri dan ayah mertuanya sedang sarapan.

Istrinya sudah menjerit pada pukulan pertama, tapi kemudian Sam berhasil meloloskan satu pukulan lagi. Mungkin karena selera makannya mendadak rusak karena keributan itu, ayah mertuanya tiba-tiba membanting piring untuk menghentikannya kegaduhan. Fatimah makin kalap bukan main, sekuat tenaga ia buru-buru memeluk Sam, lalu membawanya ke luar pintu rumah. Setelah itu ia menguncinya dari dalam.

Udara di kamar mulai terasa gerah mungkin karena kebanyakan asap rokok. Sam melepas kaosnya, menyampirkannya ke pundak. Spontan aku beranjak untuk membuka jendela. Di luar langit tampak cerah, kurasakan angin sedikit demi sedikit mulai berembus mendatangkan hawa sejuk.

“Sekarang bilang saja, perlu kuberi pelajaran apa bajingan itu?” Terus terang, aku ikut geram mendengar ceritanya.

Tapi kulihat Sam cuma tersenyum menanggapi tawaranku, lalu menggeleng beberapa kali, “Sudah, lanjutkan saja dulu Bob Dylan- nya,” katanya.

Pemalang, 2022

Sulung Pamanggih
Latest posts by Sulung Pamanggih (see all)

Comments

  1. aris puji santoso Reply

    bagus, datar dan enak dinikmati….mengangkat konflik sederhana di keseharian hidup rumah tangga.

    • tuturmama Reply

      mantap kak, enak tulisannya

  2. Sutanto Aji Reply

    Keren

    • Axxustin Reply

      bagus sekali

  3. Wahyu R Reply

    Asoy banget tulisannya

  4. Dhofar Reply

    Mantap…. Konflik kekinian… Ikut menikmati sambil belajar. Maturnuwun

  5. A. Sasa Reply

    Bisa dapat buku Seharusnya Malam Ini Saya Jatuh Cinta dimana kak?

Leave a Reply to Sutanto Aji Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!