Seekor Kucing Ingin Bercinta Sebelum Banjir Tiba

pinterest.com

 

Sepuluh menit sebelum banjir tiba, seekor kucing hitam memasuki gang pertama kompleks perumahan dengan langkah tergesa. Semalam ketika ia melintas di mulut gang itu, ia melihat seekor kucing betina belang tiga menatapnya penuh cinta dari balik tong sampah. Seekor kucing betina baru. Entah datang dari mana. Belum pernah ia melihat kucing itu selama lima tahun tinggal di kompleks perumahan itu. Melihat kucing itu hatinya berdebar. Namun karena teramat lelah sehabis berkelahi dengan kucing berbulu emas, ia mengabaikannya dan berjanji pada diri sendiri akan mengunjunginya lagi dan mengajaknya bercinta.

Delapan menit sebelum banjir tiba, kucing hitam itu mendapati gang itu telah sepi. Hanya tumpukan sampah organik dan non organik mengitari tong. Kucing betina belang tiga yang dilihatnya semalam di balik tong sampah tak kelihatan. Ke manakah pujaan hatinya pergi? Apakah telah menyelamatkan diri dari banjir? Ia kemudian berjalan gontai menuju mulut gang. Tak lupa ia mengencingi tiang listrik sebagai tanda gang itu adalah daerah teritorinya.

Matanya tajam menyapu jalanan. Siap tahu kucing betina yang dilihatnya semalam sedang berkeliaran mencari makan. Tapi ia tak menemukannya. Hanya orang-orang yang sibuk mengangkut barang ke atas loteng. Meja, kursi, lemari, kulkas, televisi, kompor gas, dan entah apa lagi. Air sudah menggenangi kompleks perumahan. Orang-orang yang rumahnya tak punya loteng mulai mengumpulkan barang-barang dalam ruang tengah lalu menumpuknya seperti membangun menara Eiffel. Mereka kemudian mengikatnya pada palang pintu dengan tali. Air di selokan mulai meluap pelan-pelan. Genangan di mana-mana.

“Untuk apa diikat seperti itu?” tanya seorang anak pada bapaknya.

“Agar tak terseret arus,” ujar bapaknya. “Ayo, lekas mengungsi. Banjir besar akan datang sebentar lagi,” lanjut bapak itu sambil mengunci pintu rumahnya lalu menggendong anaknya menjauh dari kompleks perumahan.

Ia benar-benar bersyukur menjadi seekor kucing. Tak perlu pusing memikirkan harta benda saat banjir datang melanda. Yang ia perlukan hanya tenaga dan kelincahan untuk melompat ke tempat yang lebih tinggi. Menyelamatkan diri agar tak terseret arus. Manusia terlalu banyak maunya. Terlalu ingin punya segalanya, menumpuk harta dengan merusak apa saja.

Tujuh menit sebelum banjir tiba, kucing hitam itu berlari menyusuri gang demi gang. Pada gang ke tujuh ia melompati tandon air kemudian melompat ke atas genting sebuah rumah. Air sudah setinggi mata kaki. Ia masih penasaran dengan kucing betina belang tiga yang ia lihat semalam. Kucing yang cantik dan memesona. Matanya biru sebiru lautan. Tubuhnya dipenuh bulu berwarna kuning, cokelat, dan hitam. Mirip peta dunia. Berahinya timbul. Ia ingin bercinta dengan kucing betina itu. Udara begitu dingin. Awan menggumpal memperkelam pagi. Memperkelam hati yang sepi. Ah, tak ada salahnya membersihkan diri, batinnya. Ia kemudian merebahkan tubuhnya dan mejilati bulu-bulunya. Berharap ketiga bertemu pujaan hatinya dan bercinta tubuhnya begitu bersih, berkilau dan gagah.

Lima menit sebelum banjir tiba, guntur menggelegar. Ia kaget dan melompat ke genting rumah yang lain. Turun ke sebuah loteng dan berlindung. Tak disangka di loteng itu ia bertemu dengan kucing berbulu emas yang semalam berkelahi dengannya. Keduanya saling mengeong, kembali menantang duel.

“Pergi sana! Ini wilayahku,” teriak kucing berbulu emas.

“Enak saja. suasana begini masih mikir wilayah. Semua tempat aman adalah wilayah semua mahkluk saat bencana. Tak usah egois,” si kucing hitam menimpali.

“Pergi!”

“Tidak!”

“Pergi!”

“Tidak!”

Suara keduanya begitu berisik. Seorang anak kecil melempari keduanya dengan batu dan membuat keduanya melompat ke atas genteng dan berlarian berlawanan arah. Kucing hitam ke kanan. Si kucing berbulu emas ke kiri.

Kucing hitam itu baru berhenti berlari di gang ke sepuluh tepat ketika mendengar teriakan orang-orang di bawah.

“Tanggul jebol. Tanggul Jebol!”

“Lari! Lari!”

“Mengungsi. Mengungsi!”

Orang-orang yang tak punya loteng semburat ke luar rumah. Berlarian. Beberapa yang lain menaiki loteng tetangga dan disambut dengan wajah masam. Beberapa lainnya lagi berhasil menaiki perahu karet yang disediakan petugas penanggulangan bencana. Beberapa yang lain terjatuh. Lantas berdiri dan berlari lagi. Menyelamatkan diri.

“Ke masjid. Ke masjid!” seseorang berteriak

“Kenapa masjid?” seseorang bertanya.

“Masjid rumah Tuhan. Tempat ibadah. Tuhan tak akan mungkin menenggelamkan rumahnya sendiri,” ujar orang yang tadi berteriak menyuruh orang ke masjid.

Beberapa orang percaya. Mereka berlari ke masjid. Dalam keadaan genting beberapa orang berpikir berdasarkan insting. Bukan berdasarkan logika. Beberapa yang lain tetap mengikuti petunjuk petugas penanggulangan bencana. Menuju titik kumpul evakuasi untuk kemudian diangkut ke tempat-tempat pengungsian. Ke manakah tempat pengungsian para hewan?

Dan gelombang air sepertinya berlari jauh lebih cepat dari Usain Bolt. Menyapu segala yang bernyawa dan tak bernyawa. Dan kompleks perumahan kini berubah menjadi sungai. Banjir mengalir sampai jauh. Sampai penuh. Arusnya begitu deras menerjang-terjang. Deras dan mematikan. Kucing hitam itu menyaksikan mobil-mobil hanyut terbawa arus. Juga ternak-ternak dari kampung sebelah. Mereka timbul tenggelam dengan napas satu-satu sebelum akhirnya mengapung selamanya tanpa bergerak. Tak bernyawa. Dan tumpukan sampah. Sampah. Sampah. Bergelombang-gelombang dibawa arus deras. Manusia tidak hanya membangun rumah, menebang pohon, tapi juga menciptakan sampah.

Dan masjid, masjid pun tak luput dari ganasnya banjir. Banjir tak punya Tuhan. Banjir tak punya agama. Banjir tak punya perasaan. Masjid yang penuh orang turut juga disapunya. Arus yang deras memecahkan kaca-kaca masjid. Beberapa orang yang berpegangan pada tiang masjid terseret arus. Dan masjid pun turut pula terbawa arus. Teriakan minta tolong menggema.

Ke manakah kekasihku pergi? Batin kucing hitam itu. Apakah ia telah mati terseret arus? Apakah ia berhasil menyelamatkan diri? Kalau ia selamat di manakah ia berada sekarang? Sekarang musim kawin. Musim bercinta.  Takdir. Takdir. Sekejam itukah takdir?

Kucing hitam melompati lagi rumah demi rumah. Mencari sebuah loteng. Gerimis mulai turun perlahan. Makin lama makin deras. Hujan tumpah. Pada gang ke sembilan, ia menemukan loteng dan melompat ke terasnya. Ruangan di loteng itu penuh barang-barang. Ia melihatnya dari gorden yang tersingkap. Di balik lemari, ia melihat Ladrak, tukang bakso Kapitan sedang bercinta dengan perempuan. Yang jelas bukan istrinya. Mungkin pemilik rumah loteng ini.

Ia kenal Ladrak si tukang bakwan. Ia kenal pula dengan istri Ladrak. Sebab di sanalah ia pertama kali tinggal sebelum akhirnya diusir karena terlalu sering mencuri biji bakwan. Mulanya, kalau teramat lapar dan mengais sampah sudah tak lagi bisa memberikan rasa kenyang, ia masih suka mengendap-endap memasuki dapur kios bakwan Ladrak dan mencuri. Sampai kemudian sebuah cemeti melukai punggungnya. Dan ia tak pernah ingin kembali lagi.

Lihatlah, betapa manusia masih bisa ena-ena dalam keadaan bencana. Tak punya jadwal musim kawin. Bahkan kalau mau, tiap hari adalah hari musim kawin. Sekarang musim kawin kucing. Dan ia ingin bercinta seperti Ladrak. Setidaknya sebelum banjir makin tinggi dan menenggelamkan loteng-loteng. Hujan makin deras di luar. Memukul-mukul genting. Dan makin dalam meninggalkan kepedihan. Di dalam loteng, erangan perempuan itu makin keras. Keras dan juga dalam.

Kucing hitam itu hanya bisa meringkuk di pojokan. Mengibas-ibaskan tubuhnya yang basah. Sesekali melirik Ladrak yang masih sibuk bercinta. Kenapa manusia suka bergaya seperti anjing bercinta atau kucing bercinta? Si kucing hitam tak pernah mampu menjelaskannya. Keberadaan pujaan hatinya saja ia tak mampu menjelaskan. Apalagi perkara gaya bercinta manusia. Ia kemudian rebah. Menjilati tubuhnya. Mengeringkan badannya.

Beberapa jam kemudian hujan berhenti. Awan-awan gelap menyingkir pergi. Langit cerah. Sementara banjir makin meninggi. Arusnya makin deras. Loteng telah sepi. Dan kucing hitam melompat lagi ke atas genting. Tapi kali ini sial. Mungkin karena licin atau karena lapar, ia tergelincir dan jatuh ke arus banjir.

Tubuhnya diseret arus. Ia berusaha menyelamatkan diri. Meraih tiang-tiang listrik yang ia lewati. Tapi tak berhasil. Tubuhnya terus diseret deras arus banjir menjauhi kompleks perumahan. Ia terus berupaya menaikkan kepalanya ke atas permukaan air agar bisa bernapas. Tapi arus di bawah bergulung-gulung dan deras membuat ia tenggelam dan timbul. Hingga tenaganya habis, habis dan habis. Tapi ia berusaha untuk tak menyerah.

Banjir terus menyeretnya entah ke mana. Ia menyaksikan beberapa tubuh manusia tak bernyawa juga mengapung menyalipnya. Tubuh yang  pucat. Dengan mulut menganga. Ia tak ingin mati. Ia mencoba berenang ke pinggir dengan sisa tenaga, tapi arus memukulnya lagi ke tengah. Entah sudah berapa kilometer ia terseret arus, saat mendongakkan kepalanya dari air, di sebuah atap rumah ia melihat kucing betina belang tiga pujaan hatinya tengah bercinta di dengan kucing jantan berbulu emas. Kucing yang sering berkelahi dengannya. Sebelum benar-benar tenggelam dan tak kelihatan lagi di permukaan air, ia melihat kucing betina belang tiga itu menatapnya sambil mengerang. Dan ia menatapnya pula dengan tersenyum. Kemudian tenggelam.

Edy Firmansyah
Latest posts by Edy Firmansyah (see all)

Comments

  1. Rix Reply

    Kasihan betul,
    Ceritanya dikemas apik, mendeskripsikan kehidupan orang-orang menengah bawah. Terus berkarya!

  2. wi gung Reply

    Meliput banjir dari dekat dengan segala isinya. Ok..

  3. Rach Reply

    Saya menemukan ada beberapa typo. Atau mungkin saya yang typo dalam mengeja kata ya?

    • Husa11 Reply

      Dasar kucing

  4. TUKANG BARU Reply

    sama bos, saya juga begitu. tapi saya menikmati alur dan gaya berceritanya. keren.

  5. @kuma Reply

    Insting bukan logika ><

  6. Yul Reply

    Ya, ada beberapa typo. Sedikit mengganggu. Namun karena ceritanya menarik dan dikemas apik, cacat itu tertutupi dengan baik. Kereenn..

    • Jeany Jayantari Reply

      Suka bgt sama ceritanya, kritikan ngena bgt, diambil dari sidut pandan seekor kucing, siapa sangka ini bisa mengkritik kehidipan manusia. Sangat apik

  7. Hilang Reply

    Iya… manusia tak punya musim kawin

  8. Batmanz Reply

    Asli,,dari awal udah menarik… Sampe tamat juga, padahal gak suka baca..heh

  9. Batmanz Reply

    Tapi tragis…😭😭

  10. Chris Reply

    Duh, kasihan banget. Cing..cing..

  11. Nandito A.P Reply

    Kritik sosialnya ngena banget, seolah benar-benar berada di sudut pandang kucing haha.

    • Elok Reply

      Kasian betul kau cing,

  12. Rin Reply

    rasanya pegen nangis

  13. faris Reply

    akhirnya koq sedih ya…

  14. Gendhuk Gandhes Reply

    Sederhana tapi dalem isinya.

  15. siput santuy Reply

    uwwuuuu uhuhuu ucing nya keciannn

  16. abdul aziz Reply

    bang kalo kirim cerpen ke BASABASI.co ditulis dibadan email atau dg file pdf?
    terimakasih

  17. andrew Reply

    Penantian yang ujungnya sama aja,
    Woi cing tarik kata katamu, karna sebagai kucing dia tidak memikirkan harta benda.

Leave a Reply to Husa11 Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!