Beliau adalah Abu Muhammad Sahal bin ‘Abdillah at-Tustari. Beliau adalah salah seorang sufi yang merupakan pemimpin rabbani. Kondisi rohaninya begitu kuat, tapi kata-katanya begitu lirih. Salah satu dari murid Syaikh Dzun Nun al-Mishri. Segenerasi dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi. Wafat pada tahun 283 Hijriah di umurnya yang ke-80 tahun.
Tentang bagaimana beliau mendaki tangga-tangga rohani sehingga akhirnya sampai pada puncaknya, sampai pada kenikmatan-kenikmatan hakiki dengan merasakan sedemikian dekat pada Allah Ta’ala, beliau mengisahkan tentang peran penting Syaikh Muhammad bin Sawwar yang tidak lain adalah pamannya sendiri di dalam membentuk kecemerlangan rohaninya itu.
“Pada suatu hari,” tutur Syaikh Sahal dengan penuh kenangan yang manis, “pamanku bilang kepadaku:
+’Tidakkah kau berdzikir pada Tuhanmu?’
_’Bagaimana aku mesti berdzikir kepada hadiratNya?’
+’Bacalah الله معي، الله ناظري، الله شاهدي (Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku) pada saat kau menjelang tidur sebanyak tiga kali di dalam hati dan tidak usah dibaca di lisan.’
Selama sekian malam saya mengamalkan apa yang diperintahkan oleh pamanku itu. Lalu kulaporkan pada beliau apa yang sudah kuamalkan. Beliau menyatakan: ‘Sejak sekarang, bacalah kalimat itu sebanyak tujuh kali.’
Kuamalkan perintah beliau. Setelah sekian waktu, beliau memerintahkan kepadaku lagi untuk membacanya sebelas kali setiap malam. Aku mematuhinya dengan tulus dan penuh kesungguhan. Sungguh sangat menakjubkan, saat aku mengamalkan kalimat itu, hatiku merasakan kelezatan rohani yang luar biasa.
Setelah beberapa tahun, pamanku berkata kepadaku: ‘Jagalah baik-baik apa sudah kuwasiatkan kepadamu. Amalkan terus hingga kau kelak menjelang masuk kubur. Itu akan menjadi keberuntungan bagimu, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti’.”
Kebersamaan dengan Allah Ta’ala itu sesungguhnya secara hakiki merupakan suatu kepastian. Karena memang tidak ada apa pun di alam semesta ini yang betul-betul terpisah dari hadiratNya. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa tidak setiap orang—atau mungkin malah kebanyakan orang—bisa merasakan adanya kebersamaan yang sangat sakral dengan Allah Ta’ala itu.
Itulah sebabnya, adanya latihan demi latihan rohani itu merupakan suatu hal harus diintensifkan. Tidak boleh tidak. Di samping dalam rangka melaksanakan perintah dengan penuh ketekunan, juga dalam rangka menyongsong datangnya karunia-karunia rohani dari hadiratNya.
Dari sini kita bisa dengan sangat mudah mengafirmasi adanya totalitas yang dikerahkan oleh para salik untuk mendapatkan posisi yang istimewa di hadapan Allah Ta’ala. Yaitu, posisi yang akrab dengan hadiratNya di mana mereka bisa dengan mudah mendapatkan kucuran-kucuran kenikmatan spiritual yang dihidangkan langsung oleh Allah Ta’ala.
Di saat itu, mereka sungguh sangat dimuliakan dengan dianugerahi predikat sebagai kekasih-kekasih hadiratNya. Moga perjuangan-perjuangan kita pada akhirnya mengantarkan kita ke sana. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 1 November 2024
- Syaikh Abu Muhammad ar-Rasibi - 25 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Muqri - 18 October 2024