Bah Kanta tak pernah mengira bahwa senja bisa tiba-tiba bisu. Petang sebelumnya, ia meninggalkan saung tanpa curiga. Menyusuri jalan menurun sepanjang aliran Cisaninten. Senja hari itu sungguh biasa; rumput-rumput di tepi jalan masih melinting kecokelatan; daun bambu masih berbisik-bisik dicandai angin; balong Sukendar pun masih tetap kering—ikan-ikan sudah lama dijualnya.
Di sanalah Bah Kanta berhenti. Di tepi balong yang kini hanya dataran retak-retak tempat bocah-bocah gosong berlarian berebut bola plastik kisut. Tampak kaki-kaki telanjang saling terantuk, menendang tanah, menghambur debu, memerahkan udara; debu yang juga mengambang menyelimuti jalanan. Ah, ya, mana pula ada jalan di Dusun Tonggoh yang diaspal?
“Jang[1]! Jang Saswi!” Suara paraunya menggantung di udara, sejenak saja, lantas tenggelam dalam teriakan meriah bocah-bocah. “Saswi!” teriaknya lagi.
Gerutu samar-samar keluar dari mulut yang separuh giginya tanggal. Bah Kanta menopang tubuh dengan iteuk[2] sambil berdecak jengkel, ia berjongkok pelan, membengkokkan lutut yang gemeretak bagai engsel rusak. Diambilnya biji tanah kering di bibir balong. Lalu, lengannya melenting mengambil ancang-ancang.
Pletak!
“Aduh!” Bocah paling bongsor berkaus kuning menoleh.
“Pasanglah telingamu walau sedang khusyuk bermain, lengah seperti itu tak baik buat akal!” serunya sambil melambai menyuruh Saswi mendekat. “Kau tahu bapakmu di mana?”
Saswi mengusap-usap kepala, bengong sejenak. “Tak tahu, Bah,” cetusnya ragu, matanya melirik tanggung pada rumah di seberang balong. Rumah Sukendar, tentu.
“Aku sudah ke sana, dia tak ada. Sampaikan saja, nanti malam aku datang lagi habis Isya.”
Bocah lima tahunan itu mengangguk, masih mengelus kepala yang kena peluru tanah Bah Kanta. Sial betul, pikirnya. Serenta itu dia tak pernah meleset soal tembak-menembak. Tempo hari, sebelum kemarau memanggang sawah-sawah, Bah Kanta mengajak serombongan anak menyumpit burung emprit sambil mengendap-endap di antara rerumpun padi. Mendebarkan sekali. Saswi tak tahu siapa lagi di dusun ini yang mahir menyumpit. Jelas bukan bapaknya, tiap hari ia bekerja di balai desa.
Namun, pernah pula Saswi dan bocah-bocah lain digelandang sewaktu mengincar burung bersayap kuning di anak bukit ujung dusun. Habis sudah. Mereka diseret ke saung Bah Kanta sambil dihujani omelan sepanjang jalan.
“Disuruh siapa kalian? Kecil-kecil mengincar caladi bawang! Buat apa? Ha? Kalian tak tahu itu burung apa? Datanglah ke sini saban sore. Banyak burung lain! Ayam juga banyak! Kenapa mengincar burung ini? Hah!”
Begitulah lagaknya jika ia sedang berang. Walau sesungguhnya, omelan itu cuma akal-akalan; untuk membuat senjanya tambah meriah.
Tak ada satu pun yang sakit hati karenanya. Malah, semakin ia mengomel, semakin giranglah bocah-bocah. Omelannya memang kerap dibumbui dongeng dan hikayat; kisah-kisah bermacam satwa. Tambah lagi, bale-bale saungnya yang tepat menghadap anak bukit menyajikan pemandangan bak kebun binatang setiap petang.
Orang-orang tua menamakan anak bukit itu sebagai Pasir Saninten. Di sana, monyet-monyet acap terlihat berlompatan di dahan-dahan, mengudap daging biji saninten mentah. Kalau beruntung, di lereng yang ditanami Bah Kanta pohon johar dan albasiah, kadang terlihat lasun[3] berkelebat, menyelinap dari kejaran monyet-monyet iseng. Belum lagi suara burung bultok yang bertingkahan dengan kicau cangkakak. Riuh nian.
“Nah, kalau yang suaranya truk-trok-truk-trok itu burung caladi mematuk-matuk semut di kayu.” Begitu biasanya Bah Kanta menjelaskan sambil menganyam dudukuy[4] untuk dijual; pekerjaan rutin yang juga ia lakukan di kala senja.
“Itu caladi yang dulu, Abah?”
“Woah, bukan. Yang dulu itu caladi bawang. Susah sekarang mah carinya. Langka. Yang ini paling caladi kundang.”
Kalau sudah begitu, anak-anak akan bergeletakan di bale-bale yang dialasi tikar pandan tipis, khusyuk menyimak cerita tentang hewan berupa-rupa. Tak peduli walau baju mereka terbedaki debu dari papan kayu. Maklumlah, rumah duda tua tanpa anak, sekali seminggu saja tersentuh sapu.
Walau demikian, saung itu tak pernah sepi pengunjung. Apalagi dulu, sebelum kemarau mengisap air di hulu. Mata air Cisaninten kala itu mengalir deras dari tujuh titik; yang paling besar terletak sendirian di lereng utara yang terkenal rimbun belukarnya; lima lainnya berjajar bak sabuk perigi yang melingkari lereng bukit, mengular, lalu bersatu menjelma bengawan di hilir; sedangkan satu lagi, yang paling kecil, dihibahkan warga untuk mengairi beberapa petak sawah Bah Kanta.
Dihibahkan? Entah. Kata sebagian warga, justru Bah Kanta yang memberikan enam mata air untuk mereka. Karena, apalah jadinya Pasir Saninten tanpa aki-aki yang selalu memakai baju kamprét[5] dan totopong[6] itu? Dialah yang merawat semaian rasamala, saninten, jamuju, juga johar dan mahoni di lerengnya. Dari dulu. Sejak puluhan tahun lalu. Meneruskan darma buyut-buyutnya.
Demikianlah senja demi senja ditekuninya dari bale-bale itu. Ia bebas melepas pandang menyeberang bentang tegalan sampai puncak bukit. Hanya bentang luas itu yang memisahkan saungnya dari Pasir Saninten, bentang tegalan yang juga menjadi batas Dusun Tonggoh dengan Dusun Kimaung. Rumah Bah Kanta memang paling tepi dan menyendiri, tak ada rumah lain didirikan di situ. Kosong saja. Konon, tegalan itu adalah tanah bengkok jatah carik desa.
***
“Buat apa atuh, Bah? Pakai tukar guling segala? Saya mah tidak butuh sawah.” Sukendar bersandar santai di kursi ruang tamunya yang baru direnovasi—satu-satunya ruang tamu berubin keramik di Dusun Tonggoh. Senja sudah pamit dari tadi, berganti jangkrik yang adu nyaring di halaman.
“Nya, resep wé. Jang. Cuang pelakan tangkal rambutan, manggu, sawo, duren. Lebar wé diingkeun kosong kitu,”[7] jawab Bah Kanta kalem. Totopong-nya dibuka, diletakkan di atas meja ukir kayu jati. Tampak jelas helai-helai rambutnya memutih keperakan.
“Bukan saya tidak mau, Bah. Tapi, itu kan tanah negara. Harus diurus ke kecamatan, kabupaten, propinsi. Panjang urusannya. Mending kalau bisa. Kalau tidak dapat ijin, ya, percuma capek-capek. Susah, Bah.”
Bah Kanta mengangguk-angguk, beradu pandang dengan jendela yang terbuka. Angin malam meliuk diam-diam ke bawah kursi lalu meniup-niup kakinya. Ah. Bagaimanakah mengatakannya? Ditatapnya gelas plastik air mineral yang disediakan Sukendar sebelum disesap pelan-pelan. Rasanya tawar. Tak begitu segar.
Sesungguhnya, ia cuma ingin menanam rumpun bambu di tegalan kosong samping saung. Akan ia buat rapat di tepinya yang berbatasan dengan Kimaung. Lalu, sisa tanahnya akan ia tanami buah-buahan. Mungkin menyenangkan melihat bocah-bocah berebut memanjat pohon rambutan. Sesederhana itu.
Ah, benarkah hanya itu?
Tidak, tidak. Tak hanya itu. Sebetulnya ia pernah mengalami senja yang buruk ketika bertemu tiga anak muda perlente beberapa waktu lalu. Anak muda yang membuat darahnya mendidih dan rematik di lututnya mendadak hilang. Seketika ia menjadi cergas dan buas kala melihat tiga pemuda kota itu menyandang senapan menuruni bukit. Salah satu dari mereka menenteng gumpalan berbulu cokelat di tangannya. Berani nian! batin Bah Kanta sambil merasakan bara di dadanya.
Untungnya bara itu tak meletup, ia tahu bujang kota berbeda dengan bocah dusun yang malah tertawa girang bila diteriaki. Maka, diajaknya mereka mampir ke bale-bale, dimintanya bercerita seolah Bah Kanta memang tertarik mendengarnya.
“Kami dari Bandung, Kek,” kata yang perawakannya gempal berambut mirip landak. “Niatnya sih cari caladi bawang, biasalah, ada pesanan. Tapi susah banget carinya. Nih, malah dapat musang merah.”
Ha! Berani sekali dia! batin Bah Kanta sambil menjaga air mukanya. “Memangnya buat apa cari burung itu?”
“Biasalah, Kek. Buat syarat. Kalau Kakek mau carikan, nanti kami beli lima ratus ribu,” timpal si kurus ceking kelihatan tak sabar.
Lima ratus ribu?! Bahkan tempo hari ada calon bupati yang menjanjikan satu juta untuk membeli burung caladi, dia tak sudi! Puih! Kapan orang-orang kota ini akan membiarkan burung bermahkota merah itu hidup tenang? Buat apa mereka beternak ayam, sapi, kambing, kalau mereka masih saja memburu binatang? Pastilah lebar sekali perut mereka, pikir Bah Kanta. Dulu, ia memang diajari menyumpit burung, tapi tak sembarang burung! Cuma emprit yang sering menghabiskan bulir padi muda!
Bah Kanta masih ingat apa yang dikatakan calon bupati berambut pitak kala itu, “Sst…, bukan buat dimakan…,” bisiknya pelan, mata culasnya melirik ke kiri dan kanan, takut ada yang mendengarkan. “Buat syarat, Ki… ehm buat… anu, sesajen. Minta berkahnya begitu lho, Ki. Namanya juga ikhtiar, sebentar lagi Pilkada, Ki.” Begitu katanya, sambil matanya bergerak-gerak tak mau diam. Barangkali begitulah gelagat manusia yang tak bisa dipercaya, batin Bah Kanta.
Karena itulah ia ingin memagari tegalan di perbatasan dengan bambu wulung yang tinggi-tinggi. Agar pemburu amatiran tak sembarangan memasuki Pasir Saninten dari sisi ini. Adapun lereng utara, memang jarang dijamah manusia, tak mungkin orang kota berani masuk lewat sana.
Diremasnya gelas plastik air mineral yang isinya tandas. Dilihatnya Sukendar asyik menatap televisi, tertawa-tawa sendiri. Percuma saja membicarakannya lagi. Bahkan, tadi ketika Bah Kanta menawarkan sawahnya yang bisa dipanen setahun tiga kali, demi diizinkan menanami tegalan, carik desa itu tampak enggan menanggapi. Ia pun berpamitan, setelah meninggalkan sumpitan untuk Saswi yang dibuatnya dari bambu tamiang.
***
Ah, memang, tak ada yang menyangka bila senja bisa benar-benar bisu. Sebagian malah mengira bahwa senja tak pernah bicara. Tapi, tidak bagi Bah Kanta. Baginya, senja adalah suara paling akrab di telinga. Begitu srengenge[8] turun, ia tahu anak-anak dusun telah pulang dari madrasah. Akan dibasuhnya kaki yang penuh lumpur sawah sebelum ia naik ke bale-bale. Menunggu pekik riang bocah yang berlomba menanjak ke saung.
Ricik pancuran di sore hari adalah penanda senjanya akan bermula. Bersamaan dengan tonggeret yang berbunyi mirip terompet. Kadang, dibuatkannya pula terompet dari buluh padi untuk bocah-bocah; mereka terlampau gemar bersaing dengan serangga. Sesekali ada pula kicau, cericit, kuak, dan bermacam nada sahut-menyahut dari bukit sana. Orang sedusun tahu, hanya Bah Kanta dan segelintir orang yang bisa menerjemahkannya.
Maka, ketika hari itu tiba, tak semua orang dapat menyadarinya. Apalagi, pagi hari sebelum senja menjadi bisu, semua masih terasa biasa. Kukur bultok masih terdengar diselingi lengking citkucuit, yang konon merupakan pengantar orang mati. Ah, soal itu Bah Kanta tak ambil peduli, burung-burung memang memiliki kebijaksanaannya sendiri.
Diraihnya setelan kampret hitam bau matahari selepas dijemur kemarin, lengkap dengan totopong lurik. Tak lupa ia masukkan tempat minumnya ke dalam koja[9]. Amat jauh jarak yang akan ditempuhnya dengan berjalan, ia harus berjaga-jaga agar tak kehausan. Hari itu, ia membulatkan hati untuk mencoba mengurus izin bertanam. Atau entah izin apa namanya.
Tak ada yang berbeda ketika ia berangkat, hanya kerisik daun bambu menjadi lebih lirih, dan gemeresak rumput terdengar agak parau. Ia sempat mengaso di Dusun Kimaung, bercengkerama dengan warga yang tengah mengaspal jalan. Orang Kimaung tentu saja mengenalnya, dan tak melihat hal yang berbeda dari dirinya.
Hanya saja, ketika ia pulang dan kembali melewati kerumunan orang-orang, tak satu sapaan pun yang ia balas. Ia berjalan lurus dengan tatap serupa api, langkahnya yang biasa terbata, kini menjadi lekas-lekas. Wajahnya tampak meringis seolah menahan nyeri.
Masih tersengal, ia membaringkan tubuh menatap langit-langit saung yang menghitam dipulas jelaga, merasakan dipan kayu yang bertambah dingin sejak kepergian istrinya dua tahun lalu. Serasa ada yang mencubiti jantungnya dengan kawat besi. Ngilu dan nyeri. Bayangan-bayangan bermunculan di langit-langit; pohon saninten yang lurus tinggi, dengan kulit buah yang tajam-tajam; kera badung berkuak-kuak sambil berlompatan di atas dahan; mata air lereng utara yang memancar deras meluap-luap. Lalu, cengkeraman nyeri itu kian menjadi.
Betapa tidak! Ketika ia sampai di balai desa, Pak Kades memberitahunya bahwa tegalan itu telah ditawarkan pada pengembang perumahan! Tanpa panjang urusan, tanpa banyak perkara, tak perlu sampai ke provinsi seperti kata Sukendar. Ah, mengapakah? Di mana yang salah? Bahkan, mata air lereng utara pun telah dijual pada pengusaha air mineral! Sejak satu tahun lalu!
Gustiiii! Bah Kanta mendekap dada kirinya dengan gigi gemeretak. Seperti ada yang meremas jantungnya kuat-kuat hingga sesak. Aliran Cisaninten yang kian susut berkelebat di benaknya. Lalu senyap. Senja tiba-tiba tak terdengar suaranya.
Ya, bersama deru truk pengangkut aspal yang terdengar mendekat, senja seketika menjadi bisu.
Jauh di hilir, di bibir balong kering, bulu kuduk Saswi meremang karena senja tiba-tiba hening. Ia beranjak sambil mengelus sumpitan dari bambu tamiang yang halus dan kokoh. Berharap suatu hari Bah Kanta mau mengajarinya.
[1] Dari kata “ujang”, panggilan bagi laki-laki yang masih muda.
[2] Tongkat dari kayu.
[3] Sejenis musang berbulu cokelat kemerahan.
[4] Penutup kepala dari anyaman bambu.
[5] Baju tradisional Sunda, longgar dan dibiarkan terbuka di bagian depan, biasanya berwarna hitam.
[6] Ikat kepala khas Sunda.
[7] Sekadar kegemaran, Jang. Mau ditanami pohon rambutan, manggis, sawo, durian. Sayang kalau dibiarkan kosong begitu.
[8] Matahari.
[9] Tas selempang yang terbuat dari anyaman rotan.
- Senja yang Mendadak Bisu - 22 May 2015
kadarwati TA
Bah Kanta kena serangan jantung,, dan tiba-tiba senja mendadak bisu. tak ada kicauan burung dan suara-suara bambu yang bersahutan lagi.
Good…….
Rafid Shidqi
Bagus!!
Hayuno Sakura
amazing…
Vita Fatimah
Suka
Nur Ria
dalem sekali ceritanya huhu:(
Lia djafar
Bisakah anda menentukan Abstrak, Orientasi, Komplikasi, Evaluasi, Resolusi, dan Koda pada Novel tersebut?