Ahok, Prostitusi, dan Mimpi yang Setengah Progresif

Ahok

Setelah rusuh dengan Fahira Idris dalam perkara pengaturan miras, baru-baru ini Ahok menantang lebih banyak orang dengan mengeluarkan pernyataan tentang legalisasi prostitusi. Ini seakan menjadi sekuel dari perang abadi antara orang progresif dan orang moralis.

Ahok yang logis mengerti bahwa lokalisasi prostitusi (dalam bentuk apartemen) akan mendatangkan keuntungan lebih besar, baik dalam bentuk pemasukan ke dalam kas Pemda, pun kemudahan untuk mengakses dan mengelola para PSK. Akan tetapi, kita pun patut mencatat bahwa andai prostitusi tidak menjadi kendaraan HIV, Ahok pasti tidak akan mau berpusing-pusing mengurusi pasar seks, merecoki kaum kimcil onlen dan variannya. Di pihak lain, para moralis, yang cara berpikirnya niscaya berkutat pada soal label, yang tekstual, das sollen, sekalipun jauh dari aktualitas dan sudut pandang yang solutif, tidak akan pernah mau mempercayai keberadaan niat baik dalam diri seorang “kafir” seperti Ahok.

Apesnya Ahok, di negeri demokrasi seperti Indonesia, tidaklah krusial siapa yang benar dan siapa yang salah, sebab yang banyak dalam jumlah dan mampu menekanlah yang akan menang atau dimenangkan. Akhir dari wacana Ahok ini bisa ditebak: terganjal di meja dewan, atau porak-poranda oleh geng bersurban.

***

Mari sedikit mundur untuk menyigi sejarah prostitusi dan untuk lebih memahami cara berpikir Ahok. Praktik jual beli seks sudah muncul sejak zaman Babilonia. Dalam kiprahnya yang kerap diasosiasikan dengan perempuan, prostitusi pernah dipandang sebagai ancaman oleh orang Amerika; pernah dipandang sebagai potensi oleh orang-orang Jepang; dan sampai saat ini masih menjadi penenang mental para atlet—entah di olimpiade, sea games, atau piala dunia. Untuk para atlet lelaki, signifikansi keberadaan PSK justru lebih penting ketimbang tepuk tangan dari para penonton layar kaca.

Berdasar pada fakta itulah, para fatalis di era postmodern berfatwa bahwa prostitusi tidak akan pernah bisa dihapuskan. Ia merupakan efek dari kebutuhan dasar mamalia, terutama yang berkelamin jantan, yang kerap uring-uringan, ngamukan, lupa arah, andai kebutuhan seksnya tidak terpenuhi dengan baik, yang tidak semuanya mau atau mampu meniduri pacarnya, apalagi menikah, hanya untuk melepaskan libidonya selama lima belas menit. Maka, yang mampu kita lakukan terhadap prostitusi “hanyalah” mengelolanya.

Kemudian, mari maju ke masa depan. Anggaplah wacana ini jadi diresmikan. Dua persoalan lain yang akan dihadapi Ahok ialah: pertama, kepatuhan orang-orang yang punya andil di dalamnya. Ambil contoh soal miras.

Permendag Nomor 6 Tahun 2015 tidak perlu ada andai peraturan sebelumnya, yakni Permendag Nomor 20 Tahun 2014, terlaksana dengan baik. Dalam hal ini, Ahok pernah nyeletuk tentang sertifikasi pelacur, plang larangan masuk untuk muslim (di depan apartemen prostitusi), dan pengiriman dai, pendeta, atau pastor, dalam jangka waktu tertentu, untuk berusaha memberi cara pandang dan atau jalan hidup yang lebih baik pada pelacur tersebut.

Bisakah semua itu terlaksana?

Ini selalu menjadi pertanyaan besar, bukan saja untuk Ahok, melainkan untuk seluruh manusia waras di DKI, di Indonesia. Kita sudah punya Pancasila selama enam puluh tahun lebih, memujinya jutaan kali, tapi toh tidak pernah terlaksana dengan kaffah. Di bagian ini, mari mengheningkan cipta sejenak. Jangan-jangan kita ini bangsa yang rajin menelurkan gagasan yang brilian, tapi miskin implementasi, lemah konsistensi.

            Kemudian, kedua, perkara masyarakat kita yang tertutup dan kaum moralis tingkat lanjut. Andai apartemen itu telah berdiri, gunjingan-gunjingan mereka tentu tidak akan lagi setabah Hujan Bulan Juni-nya Sapardi.

Orang-orang yang mampu berjuang mendirikan agama dengan tangannya, semisal geng bersurban itu, akan ikut turun gelanggang. Mereka memang bisa diselesaikan dengan sejumlah setoran. Tetapi suasana, gosip yang hilir mudik, hujatan demi hujatan, akan membuat calon konsumen tidak nyaman. Siapa lelaki yang kemudian mau memarkir mobilnya, motornya, atau berjalan masuk ke dalam apartemen yang selalu diintip banyak orang yang merasa suci?

            Kita ini bangsa yang lebih terbiasa main judi di kandang ayam, minum miras di warung jamu, dan ngeseks di semak-semak. Kita lebih terbiasa menonton geng bersurban yang merazia warung makan ketimbang menyaksikan orang berciuman di pinggir jalan. Lebih memilih untuk menyensor belahan dada ketimbang senyuman para koruptor yang keluar dari pintu pengadilan. Ini permasalahan kita bersama. Sebab di negeri kita yang demokratis, tidak penting mana yang benar, mana yang salah; pada akhirnya, nilai yang paling banyak dipercayalah yang menang, atau dimenangkan.

***

            Saya ingin memberi sedikit bocoran: di Swedia, mulai tahun 1999, pengaturan prostitusi dilakukan dengan dua poin kebijakan. Satu, mengkriminalisasi lelaki yang membeli seks. Dua, menolong perempuan yang menjual diri agar mampu mencari penghidupan yang lebih layak. Kebijakan ini berdasar pada prinsip bahwa jual beli seks adalah bentuk perlakuan kasar lelaki terhadap perempuan dan anak-anak, dan kesetaraan gender tidak akan pernah tercapai jika jual beli seks tetap dilakukan—dengan kecenderungan lelaki lebih banyak sebagai pembeli.

Hasilnya? Kebijakan itu mampu mengurangi dua per tiga pekerja seks di Stockholm, berhasil menghapuskan prostitusi di kota-kota lain, dan berhasil menurunkan aktivitas human trafficking.

            Hasil kajian University of London—atas permintaan pemerintah Skotlandia yang tertarik pada kebijakan Swedia dan ingin membandingkannya dengan negara yang melegalkan prostitusi—menghasilkan kesimpulan unik tentang efek pengaturan dan legalisasi prostitusi di Australia, Belanda, dan Irlandia.

Pertama, terjadi peningkatan yang signifikan dalam industri seks. Kedua, terjadi peningkatan yang signifikan dalam pengorganisasian kejahatan di dalam industri seks. Ketiga, terjadi peningkatan signifikan dalam prostitusi anak-anak. Dan, keempat, terjadi peningkatan jumlah perempuan dan anak-anak yang dikirim ke dalam wilayah prostitusi, dan terindikasi adanya peningkatan kekerasan terhadap perempuan.

            Satu langkah di depan Skotlandia, saat ini Finlandia dan Norwegia sedang menjiplak kebijakan Swedia. Mereka mengamini bahwa pandangan tentang prostitusi terlalu banyak diambil dari sudut pandang para lelaki, dan persepsi “mustahil untuk menghapuskan prostitusi” adalah peningggalan budaya patriarki. Di titik ini saya merasa dikadali oleh tulisan saya yang ada di bagian depan. Ternyata saya masih tidak cukup progresif. Saya masih selevel sama Ahok yang melihat kebijakan pengaturan prostitusi dari Jerman dan Filipina.

            Barangkali, jika boleh saya berbaik sangka, perang antara Ahok dan kaum moralis itu bisa ditengahi oleh orang Swedia. Titik temunya: persoalan prostitusi bukan soal ancaman atau peluang; bukan semata soal halal haram atau bisnis; ini perkara yang begitu mendasar, yakni adanya ketidakadilan dalam memperlakukan perempuan. Tapi entah. Kalau bicara politik, orang logis seperti Ahok pun kadang lebih keras kepala dari moralis yang paling lebam jidatnya.

Sumber gambar: lensaindonesia.com

Reza Nufa
Latest posts by Reza Nufa (see all)

Comments

  1. Haris Firmansyah Reply

    Bagus, Bang! Cerdas!

  2. Lusi Samsinar Reply

    Hanya saja di indonesia, PSK tidak hanya melakukan pekerjaan itu utk memenuhi kebutuhan primer, melainkan mereka berlomba melakukannya utk kebutuhan tersier. Dengan alasan ini, menerapkan kebijakan seperti di swedia tentu tdk semuda itu. Jika para PSK berpandangan penghasilan yg mereka dptkn dr kebijakan pemerintah tdk mencukupi kebutuhan tersier mereka, tentu mereka akan kembali lg menjadi PSK ilegal.
    Alhasil permasalahan ini akan tetap berputar disini saja.

  3. Ladang Pustaka Reply

    Esai bagus: cara berpikir dan menulis yang udah tepat, bro!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!