Malam Telah Tiba di Beranda Batavia
Malam telah tiba di beranda Batavia.
Angin begitu asin oleh keringat para pekerja yang bertumpuk di lampu merah, dalam angkot, dalam kereta, dalam ketiak semesta yang lelah
Gerombolan pemuda menanggung bongkahan gedung di pundaknya, pulang ke rumah memasang wajah pucat sisa bergaul dengan masa depan yang gemar mengancam
Gadis berambut merah semangka memeluk toples kaca di perutnya, dan saat malam naik ke pelepah alisnya, bintang-bintang mulai berjatuhan, ia tangkap dan jadi seperti kunang-kunang dalam toples
Tiada bintang yang bisa hidup lama di langit Batavia, langit yang dikoyak muram dan doa-doa tak masuk akal
Esoknya matahari terdampar di Sunda Kelapa, sambil menangis, telanjang dan menggigil, menarik ujung gaun gadis berambut merah semangka itu dan berkata, “Masukkan aku ke sana, dan biarkan aku redup, sementara.”
Lamunan Seorang Pahlawan
Ada doa-doa terpental dari langit, jatuh ke bumi jadi bualan tentang hidup ideal di pojok meja perjudian.
Ada negara ditimpa musibah, sudahlah bencana mendera, pemimpinnya mengeja saran agar bunuh diri saja.
Ada pengemis di pasar kota, menyeret pantatnya di atas parut kelapa, mengiba pada yang gemar mengumbar harta.
“Tuhan.. Tuhan.. Tuhan…” jerit anak kambing yang tersesat dalam mimpi penggembala yang tertidur sehabis berbuka.
Ada bayi menangis di depan puting ibunya yang didekap si bapak yang belum selesai
dengan berahinya.
Ada yang berpeci di dinding kelas, anak-anak bau lumpur memberi hormat, konon agar mereka selamat.
Jangkrik-jangkrik bertengkar tiap malam, manusia duduk dengan secangkir kopi hitam, menyebutnya sebagai nyanyian alam.
Ada nyanyian seorang gadis, diracik dalam rembulan,
lalu jatuh di mata seorang lelaki.
Sementara di kampung perigi buta, memaksa orang bersuci dengan tanahnya babi-babi yang menggauli kotorannya sendiri.
Ada yang tersisa, orang menyebutnya cinta,
cinta yang perlahan menjadi gosip belaka
Kebisuan
Kebisuan ini
menjaga kita
dari patah hati
Dan malam-malam
menjadikannya nyaring
di dada sendiri
Angin Langkisau
Ekor awan menepuk-nepuk pucuk gunung dan aku terhuyung di lembah malam yang melengserkan wajahmu
Kau yang cantik bagai kredo suci yang dinyanyi-nyanyi angin sepoi, kini memekik-mekik bagai langkisau
Sudah kupinjamkan lautan mataku buat kau renang-renangi, kau malah lubangi tepinya lalu pergi sama-sama tangisku
Kalimat janji sudah kehabisan peluru dan kau tak takut lagi kehilangan ciumanku, padahal aku masihlah ketergantungan pada nafasmu
Bagaimana ini semestinya berujung, di tepi perenungan aku jumpa kesepian lagi, dan dia menawariku selimut kematian, lagi
Aku ingin menjadi segalanya bagimu, bahkan jika itu berarti istana pasir yang kauserahkan pada laut pasang
Aku ingin menjadi yang sederhana untukmu, mungkin berupa ingatan satu detik sebelum angin memberimu pelukan lain
Semestinya kita memang selalu bermain-main dengan semesta, dalam riang bulu kuduk yang digodai asmara
Tapi kau menjinjing hatiku hingga jauh, meninggalkannya di tengah sampan tak berkayuh, selamanya menjadi lumpuh
Ma
Ma, aku mau dikubur di langit
Tapi nanti dulu, jangan tergesa-gesa
Aku mau mati sebagai sarjana
Biar nisanku punya gelar
Berloyang-loyang sate kambing,
kembang api meletup-letup
Tapi jangan menangis
Beri aku tepuk tangan
Kau sudah lihat bagaimana tegapnya aku pulang,
satu tahun sekali, kian menjadi lelaki
Tapi, Ma, daging ini sudah terlalu kaku,
jiwaku kupu-kupu
Aku mau terbang untuk seterusnya dirawat semesta
Kelak aku mengabarimu lewat mimpi, angin,
kecupan hujan atau asap dari wajan
Apa pun kata orang, Ma,
aku akan lebih hidup setelah mati
Laila Kehidupanku
Kenangan seperti gudang mesiu
dan pertemuan-pertemuan denganmu adalah api
Di pemakaman kita melepas rindu
memerah daging menjadi tanah
mengurat akar mengukir batu
dan cinta menjadi mata air
Kau bukan sebuah nama, Laila
sebab ketika malam dituang dan kuteguk hingga pagi
kau masih kusembah dalam bisu
Setiap janji sebagaimana janji kita
dikekang waktu dan menyalak saban detik
Pada akhirnya kematian, Laila, seperti lembah anai
tempat kita jatuh dari langit, lalu terseret hujan
hingga langit kehidupan yang lain
Ada yang Menikamku
Ada yang bertamu untuk menikam, manisku,
sebuah bayangan muram lagi dingin
seperti hujan yang membuat kita termangu
tanpa alasan yang kita mengerti
Di sudut pintu dalam mimpi itu
kita masih bercumbu sekokoh batu
Lalu aku terbangun di puing bangku,
pensil, robekan kertas, dan pertanyaan-pertanyaan
yang lahir dari perpisahan yang lalu
Ada yang mengoceh dengan berbisik, sayangku,
jemarinya beku meletakkan tandu, memelukku
seperti angin di penghujung musim
yang gelisah oleh daun jatuh
Yang hendak datang biarlah datang
yang mau hilang tak akan kularang
Sudah kukemas sekian napasku untuk pulang
kepada apa yang kita sebut akhir
kepada sesuatu yang mampu mematahkan takdir
Mama Memerah
Kemarin aku menekuk wajah
pada lampiran masa mudaku
Kupanggil mama dengan nama sakralnya
Berlutut aku bicara, “Nafasku menyakitiku, Mama.
Ia lebih tajam dari pisau musuhku.”
Mama mengangkat roknya selutut,
kemudian menyeretku kembali
ke dalam rahimnya
Dengan merah ia berkata,
“Kalau maumu menjadi biasa,
tak usah jauh langkah menghirup udara.”
Urat Jantung Jemari
Apalah cinta bila mampu diganti
Apalah rindu bila terbatas
Sia-sia kupuja kau tanpa kau memujaku
Kaulah nyawa dan aku napas
Sama-sama menghamba
Sama-sama menuhan
Kepergian adalah guru
dan aku murid yang mudah cemburu
Oh, batang jati bulu dan daun randu
Bersujud di wajah tungku
Seribu tahun kelak jumpa lagi
Dalam tangis penerimaan kita
atas malangnya waktu
Duduklah di lekat mataku
Oh urat jantung jemari dan wangi kopi
Tak boleh lagi kau pergi
bahkan jika untuk menjadi nabi
- Di Mars Tak Ada Ka’bah - 4 August 2017
- Bersama Gardner,Mengintip Anton Kurnia dan Dunia - 31 December 2016
- Kepada Mama dan Sepiku - 28 June 2016