“Bahkan setan tak bakal mau menanggung dosamu itu,” katanya, saat kami bersisian di Jembatan Cirahong pada pertengahan Juni dua puluh tahun lalu, saat itu dia sedang memikul dua keranjang ubi ungu sementara aku memikul dua cangkul kami yang masih ditempeli tanah merah. Dalam kilasan-kilasan tipis yang semakin sulit untuk dilacak, aku mengingat hari itu sebagai anak muda yang sudah mengemasi banyak barang, sangat siap pergi meski tanpa restu dari ibu bapak, namun ternyata bapak memutuskan untuk mati sehari kemudian lalu tekadku remuk seperti bekicot terlindas truk sayur.
Aku gagal jadi anak durhaka, sekaligus gagal menjadi pengembara. Entah mana yang lebih membebani. Sejak hari itu tidak pernah lagi kurasuki segala sesuatu sebagai seutuhnya manusia. Separuh diriku rasa-rasanya telah jadi ayam, atau lintah, kadang sapi, kerbau, kambing, lumut, asap, pematang, kadang pula terasa seperti sesuatu yang lain yang belum ternamai. Bapak terus menasihatiku. Terasa lebih nyaring setelah dia mati dan suara yang datang darinya seolah dari langit sehingga aku harus lebih memberi hormat.
Aku tidak main-main. Terkutuk betul hidupmu kalau kau anak pertama sekaligus seorang lelaki dan bapakmu mati lebih dulu. Kaulah kemudian bapak bagi adik-adikmu, juga suami bagi ibumu, dan kau bukan siapa-siapa bagi dirimu sendiri; kau menanggung semua kewajibannya tapi tidak haknya. Sepuluh tahun kuhabiskan dengan bertani, segala macam kutanam, sesuai musim, setertib matahari; lumbung selalu terisi dan perigi tak pernah kering juga kayu-kayu bakar tertata rapi di samping bilik dapur yang kian renggang—cahaya pagi kerap menyusup dari sana, juga udara malam, juga bayangan para pencuri ayam di malam bulan purnama. Tak pernah ada yang berkurang dalam rumah ini, bahkan tidak jumlah gigi ibu, kecuali intensitas obrolanku dengannya, aku tak mengerti, sepertinya bapak telah menjadikan lidah kami sebagai nisannya. Semakin hari aku justru semakin cerewet pada diriku sendiri. Kau seharusnya sudah pergi, katanya, kau cuma jadi anjing orang kota kalau tetap di sini. Bertani dan bertobat bukan tugas anak muda, katanya.
Pada hari yang janggal itu kulihat sebutir embun jatuh setabah daun bambu, lalu begitulah, kuputuskan untuk naik haji. Ibu kala itu sedang sibuk memilah gabah dalam ruyak beras yang baru tuntas digiling, induk ayam dan anak-anaknya menunggui dengan sabar di kakinya. Tak jauh dari sana kerbau-kerbau dalam kandang dengan tertib menyapih lalat dari wajahnya dengan kuping. Uang naik haji dapat dari mana, ibu kemudian bertanya dengan suaranya yang berkerak. Itu kakekmu yang punya sawah 8 hektar saja belum pernah naik haji. Bibimu yang punya kerbau 20 ekor, yang masih pula punya kambing 40 ekor, ditambah ladang manium 12 hektar dan kebun pepaya, tebu kuning, sawi, terong, juga mentimun, belum pula naik haji. Kau cuma cari-cari alasan buat pergi dari rumah, katanya, dengan landai seraya melanjutkan, aku bakal mati seperti bapakmu kalau kau pergi. Hedeh, aku tidak mengerti, orang-orang ini senang mengancam dengan mati.
Ingin kukunjungi kiblatku, Mak, kubilang, masjidku, tanah dan udara basah yang mengalir dalam dagingku, yang semestinya berulang kali memanggil lewat mimpi dan membuatku terbangun dalam gigil yang mematahkan waktu, seperti yang terjadi pada orang-orang terpilih itu. Belum pernah ada yang semacam itu padaku, tidak dalam adzan juga pengajian, tidak pada denting gereja juga dupa vihara, dan aku telah mencari seperti orang sinting, dalam sekali, ke dalam diriku sendiri, di jalanan kampung ini, menuju perpustakaan kota, menelisik ke dalam sejarah orang-orang yang mati sebagai orang ingkar, membaca kisah-kisah para alim yang terlalu sempurna untuk dipercaya, yang semacam itu dan lainnya, lalu bertanya kepada guru-guru yang tak jauh lebih tua dalam hal ini, yang sama awamnya juga sama bingungnya denganku.
Shalatmu saja belum tertib, katanya. Itulah. Aku tidak bisa melakukan penyembahan jika belum jelas apa yang hendak kusembah. Aku tidak mampu bersujud tanpa jelas hatiku merendah untuk apa, atau siapa, atau kenapa. Aku harus melengkapi diriku, entah di mana. Ibu cuma diam, lalu menggosok matanya yang dihinggapi debu dengan kain yang melilit di kepalanya. Tidak pernah bisa kupahami orang tua sepertinya, seperti mereka, yang begitu ingin anaknya tetap tinggal di rumah, dengan alasan biar tetap hidup, meladang, menikah, berketurunan, lalu merawat yang tua-tua, lalu menjadi yang tua-tua dan menjebak anak-anak mereka dalam pola yang sama.
Tidak mungkinkah kita sama-sama jadi orang bebas? Aku ingin makan daging babi, juga minum arak dari tengkorak monyet, menyesap sumsum tulang kucing, mewariskan semua tabunganku kepada anjing liar, mencintai lima perempuan sekaligus, menyusu pada dua pelacur di malam yang sama, menyembah delapan tuhan pada satu sujud, semua itu menjadi sesuatu yang tak mungkin bila aku tetap di sampingmu sebab bakal membuatmu menangis dan tangisanmu adalah hal terakhir yang kuharap kulihat di dunia ini. Setelah itu semua aku ingin menyesal sehebat-hebatnya lalu menjadi pembelajar paling tahan lama. Tapi tidak di kampung, Mak. Tidak ada dosa di kampung.
Di mana bisa kurebahkan kadal sekarat ini, Mak, aku berusaha membayangkan, di mana—katakanlah—tuhan duduk menunggu dengan segelas tuak dan gadis tua yang lebih bijak darimu menyulam ikat kepala dari benang yang dipilin dari jiwa orang-orang sepertiku, kau tahu, seperti katamu, “orang-orang yang gagal bersyukur,” meski kerap tak bisa kubedakan antara orang-orang yang bersyukur dengan mereka yang terlalu cepat merasa telah bersama tuhan.
Mak, kataku, kalau hadim sikep, sade ama hurip.
Aku tidak pernah mengerti apa maumu, katanya.
Biar, kataku. Aku akan tetap pergi.
Mak, kau menualah sendiri.
*
Anjani memutar tubuhnya seperti kincir yang mencari angin. Di barat sedang terjadi pembunuhan terhadap kelelawar yang dituduh menyebarkan ajaran sesat. Ke sana dia menoleh dan mendapati langit yang hitam, dengan ribuan bintang yang perlahan jatuh jadi gerimis, memaksanya masuk kamar dan di kamar ada semut yang dimarahi kakeknya karena pulang terlalu malam dan Anjani dengan berhati-hati merebahkan tubuhnya. Dia tak mau membunuh yang sedang marah ataupun yang dimarahi. Kau masih untung karena aku yang mengomel, kata si kakek. Di jam segini, jika masih berkeliaran, kau bisa saja dituduh maling, pemerkosa, anak jalanan, tukang bacok, dan kau bisa dihakimi dengan bacokan pula tanpa ditanyai asal muasalmu lebih dulu. Orang di zaman ini lebih butuh obat bius ketimbang pengetahuan. Jadi ada baiknya kalau kau main ponsel saja di kamarmu.
Dia membayangkan jadi penjaga kuburan atau rumah gendongan, yang harus terjaga sepanjang malam, sendirian, mengisi waktu dengan mengisi TTS yang belum juga tuntas dari satu dekade sebelumnya atau mendengarkan radio yang mengulang-ulang lagu Doel Sumbang, seperti bapaknya, yang akhirnya menjadi mati karena ditusuk pencuri kafan yang beristri lima. Dalam TTS itu ada pertanyaan: mendatar, 4 huruf, cita-cita orang tua. Semua orang tahu jawabannya, tapi malam akan cepat jadi membosankan kalau itu buru-buru diisi. Lalu dalam kafan itu, kafan yang dicuri itu, ada sebuah kepercayaan bahwa yang memakainya untuk mandi akan sukses poligami, mabrur naik haji, rezeki mengalir tak henti-henti, dan lainnya, semua yang tak masuk akal bisa dimasukkan ke sana, terutama khasiat membuat awet muda.
Betapa menyeramkannya masa tua. Tapi semua telah salah mengira, seperti kata bapaknya suatu waktu, menuduh ada yang berdenyut dalam dada saya, padahal tidak. Di umur segini, tidak semua dada punya denyut, tidak semua nadi mengandung darah. Apalagi semenjak abangmu pergi. Tapi, Anjani bilang, orang seperti Bang Masil, yang lebih percaya bahwa takdir bukanlah sesuatu yang diberikan tuhan melainkan sesuatu yang harus dicuri dari-Nya, mesti diberi jalan, supaya kita tidak terkapar karena berusaha menahannya. Dia akan menjadi orang besar nantinya, atau, jika gagal, maka menjadi pengangguran sepenuhnya lalu mati dengan cepat. Itu lebih baik, setidaknya untuk kita.
Mendengar itu, keesokan harinya bapak menikahkan Anjani dengan pemuda kampung seberang. Dia petani yang andal, dengan berahi yang lebih ganas dari kerbau lanang, aku kerap kewalahan, batin Anjani, apalagi kalau dia mulai marah karena kebun yang baru disemprot pestisida malah kena hujan, atau bibit yang baru ditanam malah dihantam kemarau, tapi tidak masalah bagiku, menjadi perempuan sangat berbeda dengan menjadi apa pun dan aku siap dengan itu. Seperti ibuku, ya, seperti ibu, yang membuatku lebih memahami bapak, terutama setelah menikah dan memiliki anak, bahwa setiap denyut dan darahku akhirnya kuserahkan pada yang hadir dalam rahimku. Kenapa ya kita begitu, Bu? Abangku tidak punya persepsi yang seromantis ini terhadap sebuah keluarga. Apa cuma perempuan yang sebodoh ini?
Dia menatap langit-langit kamar. Seekor cecak muda diseret pulang oleh kakaknya karena belum mandi padahal warna langit telah lama berganti. Semua kakak lelaki selalu jahil sekaligus lebih peduli dari lelaki mana pun, dari spesies apa pun. Maka lebaran kali ini, juga lebaran-lebaran yang lalu, akan menjadi lebih baik bila Bang Masil kembali. Sepuluh tahun dia tak pulang, ribuan doa ibu sudah dia gugurkan, salah satunya harapan agar dia mudik membawa banyak uang buat membayar utang. Isu terakhir yang beredar, konon, Bang Masil jadi mandor kontraktor di Jakarta, mengurusi bangunan-bangunan besar yang nantinya jadi hotel berbintang, bank, panti pijat dan tempat karaoke, gajinya banyak juga sudah beranak pinak. Ada lagi yang bilang bahwa dia sekarang berdagang surat utang, jadi pialang, semacam rentenir tapi lebih berkelas, ibu tak cukup pintar untuk memahami ini, tapi kukasih tahu bahwa ini bukan mainan orang susah. Banyak kisah lain, yang sulit dipercaya, yang mungkin lahir dari kepala kami sendiri dan memantul-mantul di udara dan perlahan menjadikan dia mitos dalam keluarganya sendiri.
*
Misal, kita betul-betul hijrah menuju Mars, apa yang pertama kali dilakukan oleh kaum beragama? Mengatur kiblat baru—ataukah? Siapa yang bisa kita percaya dalam perkara sebesar ini bila era kenabian kadung dianggap berakhir? Ilmu pengetahuan barangkali bisa diandalkan, Nejad, tetapi kita takut padanya, telanjur menempatkannya sebagai musuh ketimbang alat, dan para ulama cenderung menjadikan ayat sebagai landasan moral ketimbang landasan berpikir. Ke mana kita akan naik haji nanti?
Seperti biasa, Rinjani, Lur, kata Dinejad.
Di Mars tak ada Ka’bah. Tak ada Rinjani.
Dinejad menegaskan keningnya, “Yang pasti di sana, atau tepatnya di sini,” katanya sambil menunjuk jidatku, “ada tuhan. Itu cukup untuk menyusun kembali semuanya.” Dari semua atheis yang kukenal, dia berada di urutan pertama sebagai yang paling peduli pada agama kendati kadang menyebalkan ketika dia berkata bahwa, demi ketertiban sosial, orang bodoh sepertiku tidak boleh hidup tanpa agama. Saat kubilang soal rencanaku mencari kiblat baru, dia semringah, mendukungku penuh untuk membuat agama baru setidaknya untuk diriku sendiri. Orang-orang yang sudah sanggup berpikir mandiri, bergerak dengan pertimbangan-pertimbangan logisnya sendiri, tidak perlu lagi bergerombol. Kalaupun harus berada dalam sebuah gerombolan, dialah yang mesti jadi nabinya.
Tanah yang dijanjikan itu mungkin berbeda untuk tiap orang, kataku.
Begitu pula dengan kitab sucinya, dia bilang.
Begitu pula dengan Ratu Adilnya.
Dia mengangguk. Yang terjajah dipermainkan ramalan dan janji-janji, sementara yang terdidik punya kendali terhadap nasibnya sendiri.
Kita yang kedua. Semoga.
Apa kabar ibumu?
Kenapa? Dia sudah kutanam baik-baik dalam diriku.
Kau anggap dia sudah mati?
Tidak, tidak begitu. Aku hanya membuatnya lebih abadi.
Itu tidak menggugurkan kewajibanmu untuk pulang.
Moralitasmu lebih menggelikan ketimbang yang beragama.
Ethics, Lur, ibu dari semua hukum dan agama. Dia yang membuat manusia lebih layak untuk tinggal bersama. Itulah yang hilang darimu, yang membuatmu begitu bernafsu untuk mengikuti Nuh dan Luth yang merestui genosida. Saranku, kalaupun kau sudah tak percaya pada tuhan, setidaknya percayalah pada ibumu.
Invalid!
Dia lantas menciumku.
*
Abangmu itu menghamili seorang gadis, lalu bayinya mereka gugurkan dan dibuang dari atas jembatan lalu nyangkut di batang pohon loa di desa hilir, di musim hujan, entah berapa tahun yang lalu, ketika itu banjir melanda, merobohkan beberapa rumah di bantaran kali dan perempuan itu ikut hanyut atau mungkin dihanyutkan pula olehnya. Dia pergi tidak semulia yang kau kira. Bukan pencarian, melainkan pelarian, yang membuatnya bergerak demikian jauh. Tapi, Bu, Ibrahim berkelahi dengan bapaknya, Musa pernah membunuh. Mungkin tanpa itu mereka takkan pernah jadi nabi, kataku. Abangmu bukan nabi, balas ibu. Tapi dia menempuhi jalan mereka. Sudah tak ada jalan kenabian, balas ibu lagi. Masih, Bu, masih ada dan banyak. Kau pun nabi bagiku meski aku ragu kau bersetubuh dengan bapak setelah menikah. Bang Masil bilang, semakin banyak kita mencicipi dosa, semakin dekat rasanya tuhan.
Eee, kau sudah tercemar juga rupanya.
Tanpa dosa, kita tak bakal memahami semua dengan utuh.
Kau ini seorang perempuan, Mila. Tidak pernah tidak utuh.
Aku benci anakku karena dia seorang perempuan.
Ibu mengisap rokok yang lama didiamkan di jemari tangan kirinya. Semenjak dilahirkan ke dunia, katanya, hidup tak lagi sama. Semakin tua, aku semakin rajin berdoa, bukan karena semakin banyak mauku melainkan karena aku tak punya lagi sesuatu buat mengisi waktu. Begitu pula alasannya kenapa orang-orang tua terutama para ibu menjadi lebih bijak dan tak mudah tersakiti perasaannya, termasuk oleh ucapan anak-anaknya sendiri. Bu, kataku, yang kupahami dari panjangnya hidup yang sudah kulalui—kau baru 16 tahun, Mila, belum setua itu! Semenjak aku punya anak, aku tak pernah lagi merasa berhak untuk bermain. Bukankah itu yang namanya tua? Mungkin seharusnya kugugurkan anakku.
Jika begitu, haruskah pula kugugurkan kau?
Sepertinya obrolan ini terlambat puluhan tahun lamanya.
Suamimu masih ingin menambah anak?
Di kota-kota orang sudah berhenti beranak, Bu, mereka semakin pintar mencari cara untuk bahagia. Tidak pula lewat pernikahan. Di sana perempuan-perempuan menjadi sesantai lelaki, boleh menjadi pencuri dan tidur di trotoar. Kita termasuk yang terlambat mengetahui itu, mungkin karena kita lahir sebelum memiliki televisi, dan sekarang kita telanjur tua—kau belum setua itu, Mila!—diam dulu, Bu! Kita telanjur tua untuk mengeluhkan ini semua. Semua perempuan menjadi martir bagi keluarganya. Seharusnya itu indah, kan?
Aku tahu kau lebih ingin berada di sisi abangmu, bertualang tak jelas arah, menjadi manusia bebas yang tak perlu ritual apa-apa untuk menyembah, tuhannya tak bernama, masjidnya tak berbatas, anak-anaknya di semua penjuru dan tak perlu diberi makan, ibu bapaknya dari segala makhluk dan tak menuntut apa-apa, tetapi bahkan seorang perempuan paling naif akan sangat sulit untuk mempercayai hal semacam ini. Andai kau tahu, Mila, kenapa aku menikah dengan bapakmu—padahal kami sama sekali tak saling cinta, pula tak saling butuh. Andai kau tahu, ada alasan yang tak bisa kusampaikan ke orang lain sekalipun dalam dirinya terdapat pula darahku.
Sudah, Bu, obrolan ini terlalu hebat untuk orang-orang kampung seperti kita. Orang kota itu, kata Ibu membalas, jangankan untuk membicarakan hal semacam ini, asal-usul nasi di piringnya saja mereka tak tahu.
Andai abang mendengar itu, kataku.
Kurasa dia lahir karena aku bersetubuh dengan batu.
*
Di Rinjani aku menginjak tahi. Dari tekstur dan aromanya bisa kuketahui bahwa ini tahi keluar dari perut yang terlalu banyak makan yang berminyak, terlalu banyak gula, dimasak terlalu lama, dan orangnya kerap tertawa terlalu bagus sehingga membuat orang lain terluka. Tahi semacam ini berceceran di mana-mana. Di jalur pendakian, di tempat mendirikan tenda, di hulu sungai, di sisi mata air, di setiap sudut aku merebahkan tubuh. Musik keras, musik disko, musik segala rupa, berputar dari lembah hingga puncak. Kembang api meletus, embun tersingkap, burung-burung menepi dalam semak, ikan-ikan mencari gelap dalam palung kawah. Orang ramai, terlalu ramai, yang hadir, namun tidak untuk bersujud. Bisa kubayangkan apa yang terjadi jika kekacauan ini terjadi dalam masjid mereka.
Seandainya bapak masih hidup, aku mau pulang dan memekik di mukanya, “Aku telah membantu tuhan juga setan yang ada dalam diriku untuk menemukan kembali rumah kami. Dan mereka bersedih untukku. Dan aku bersedih untuk mereka. Tidakkah kau cemburu?”
Lalu bapak bertanya kenapa aku masih saja seperti kadal.
Hadim, hadim, isma loka tabi, tulah rau makaji. Jika saja anakku masih hidup, kataku pada bapak, meski tak ada namaku di akta kelahirannya, kurasa dia saat ini sudah punya ladang bawang, juga kolam ikan mujair, dan 3 hektar padang rumput buat menggembala kambing dan kerbau, dan dia akan membuatku naik haji ke Mekkah dengan paket paling mahal yang tersedia biar aku bisa mendoakan ibunya dengan lebih hebat, lalu dia merasa telah jadi anak desa yang sukses, yang berbakti pada orang tuanya, dan aku turut bahagia—tidak bohong, sungguh, dari jauh sini, aku sudah memaafkan kematiannya, juga kematianmu.
- Di Mars Tak Ada Ka’bah - 4 August 2017
- Bersama Gardner,Mengintip Anton Kurnia dan Dunia - 31 December 2016
- Kepada Mama dan Sepiku - 28 June 2016
Sanik Radu Fatih
Guru ajari aku, aku belum pernah membaca karya sehebat ini, bukan hanya tata bahasanya, tapi juga makna yg trkandung di dalamnya, aku ingin menjadi murid mu guru reza nufa
abdul rozak
hmm..lope dah.. ^^