“Pasar adalah tempat menyesapi kesunyataan,” kata Kakek suatu ketika. Entah mengapa kalimatnya ndakik-ndakik kala itu. Kakek, sebagaimana kakek-kakek lain di belahan bumi seberang, adalah sosok bijak nan bestari. Banyak asam manis hidup telah ia lewati. Acap beragam keadaan ia lalui dengan gagah. Maka tak heran ia tak hanya pandai membaca pola, ia adalah seorang asketik pengamal ajaran sufisme. Adalah hal wajar, kadang kalimatnya melambung jauh dari apa yang sanggup dicerap orang lain, termasuk saya, cucu laki-laki pertamanya.
“Kita berjalan, membeli, ngobrol, namun tatkala kita sadar, kita tak pernah betul-betul merasa ramai di tengah keramaian.” Lanjutnya.
Kata itu bergema, berpilin dan terus menyusup ke dalam kepala saya. Perlahan semua rentetan peristiwa itu menyembul dan di lain waktu tersimpan rapat-rapat sampai sekarang. Dari anak kelas enam SD sampai menjadi pendaftar beasiswa internasional untuk studi doktoral di bidang fisika teori.
Semua ingatan itu menjelma apik. Ingatan pasar memang sulit terlupa. Saya sering ke pasar, dulu. Diajak oleh Kakek di lain waktu, dan menemani Ibu di saat yang lain. Acap saya dititip di penjual pakaian kenalan Ibu tatkala Ibu sedang membeli sayur, ikut menyisip di antara pembeli ikan, ikut menonton atraksi penjual obat dan mampir di penjual buah.
Kebiasaan ini membuat kemampuan saya membaca pola meningkat pesat. Saya mengamati banyak ekspresi orang dalam interaksi-interaksinya. Mengamati sekeliling. Lalu saya menduga banyak hal. Misal, penjual parang akan menyusut pendapatannya, dagangan penjual buku tak akan laku lagi, dan semakin merebaknya barang kawe. Tipuan para pedagang dan beberapa penjual yang sangat jujur.
“Pasar adalah miniatur kita dan sesuatu di luar kita. Kau bisa mencari barang yang kau perlukan. Memenuhi hasrat pribadi. Tapi apa yang paling kau perlukan tak akan selalu disediakan pasar. Begitulah hidup. Banyak jalan tersedia, kita bisa mencoba ragam jalan. Tapi tak semua jalan bisa mengantarkan kita menuju tempat yang paling baik,” katanya di saat yang lain.
Lambat laun, sebagaimana pucuk baru datang dan pucuk sebelumnya tua dan gugur, begitulah tabiat alam. Pedagang baru bermunculan dan pedagang sebelumnya beberapa tersingkir entah ke mana.
Beberapa tahun berikutnya saya kembali ke pasar. Saya mengingat-ingat lokasi pedagang buah langganan. Ternyata terganti oleh orang yang saya tak kenal. Maka jika para penjaja ajaran yang kian marak, setamsil dengan pedagang kolak di kala Ramadhan, akan ada perubahan lagi. Penjaja yang tak bertahan akan tergeser dan tergusur oleh minat pembeli yang senantiasa mengikuti tafsiran tetanda dari lingkungan.
Maka bukalah mata. Lihatlah sekeliling. Penjaja ajaran betransformasi menjadi lebih baik dalam hal upaya bertahan. Dagangannya dipoles sedemikian rupa agar dilirik. Di tengah kondisi demikian, entah mengapa saya merindukan kondisi pada abad kesembilan di Arab. Zaman yang menjadi penghubung besar, yang kelak menjembatani orang Eropa keluar dari era Renaisans menuju era Pencerahan.
Orang-orang yang ada pada abad itu—khususnya filosof—menjalani kehidupan secara rasional, mencermati hukum-hukum yang mengatur semesta pada jagat-jagat materi. Awalnya mereka hanya fokus pada ilmu alam, namun perlahan kata Karen Armstrong, “mereka beralih pada metafisika Yunani dan berupaya menerapkan prinsip-prinsipnya ke dalam Islam. Mereka yakin bahwa Tuhan para filsuf Yunani identik dengan Allah.”
Pertemuan yang indah. Diawali dari kemampuan bernalar yang diasah, kesadaran transenden yang mengemuka, dan akhirnya perpaduan menarik keduanya yang sepertinya sejalan dengan keyakinan awal, Islam. Mereka digambarkan secara apik dalam buku sejarah Tuhan. Sebagai muslim yang baik, sadar politik, tidak menyenangi gaya hidup kaum penguasa yang mewah dan ingin memperbaharui masyarakat dengan akal sehat tanpa kehilangan ciri keberagamaannya.
Saya betul-betul rindu tradisi bijak nan bestari. Porsi yang walaupun tidak pas namun masing-masing membentuk harmoni antara iman, akal, dan rasa.
Begitulah dulu. Para filosof abad kesembilan tak berniat menghapuskan agama, namun ingin menyucikannya dari macam-macam hal-hal primitif yang senantiasa terikut dari kebudayaan terdahulu. Pun cerita-cerita tak masuk di akal yang memiskinkan isi kepala.
Mereka tak ragu eksisnya Tuhan, bahkan keberadaan-Nya seiring dan tak bertentangan dengan nilai rasional dan keberadaan semesta beserta hukum yang menyertainya.
Inilah beda cara memandang filosof abad ke sembilan dengan filsuf Yunani. Jika Aristoteles—juga beberapa filsuf lain—meyakini bahwa entitas agung itu tak tepermanai ruang-waktu, tak ikut campur dalam urusan manusia, bahkan tak mampu dicerap dengan konsep canggih mana pun.
Sayangnya tradisi ini luput. Para pendaku yang mengaku sebagai staf ahli Tuhan—sebagian besar—tak punya logika memadai perihal peristiwa kealaman. Maka abaikanlah Syaikh Tanthawi dalam tafsirnya Al-Jawahir. Guru besar Universitas Kairo itu mengatakan bahwa ada 750 ayat kauniyah, ayat tentang semesta dan hanya 150 ayat fiqh.
Di kesempatan dan waktu yang lain, salah satu ilmuwan fisika sekaligus pengkaji al-Qur’an, Agus Purwanto juga berujar hal senada. Bahwa umat telah menghabiskan banyak waktu membahas persoalan fiqh, namun lalai atas fenomena terbitnya matahari, beredarnya bulan pada porosnya, jatuhnya benda, bintang yang menyala di langit jauh dan peristiwa yang acap ditemui di sekitar kita.
Maka ketika hidup dikelilingi upaya para penjaja, dan semesta tak ubahnya pasar tradisional, ke manakah tradisi indah itu akan berlanjut?
- Tuhan Para Filosof dan Pasar Tradisional - 30 June 2016
Erald David
Ah, tulisannya. Meneduhkan sekaligus menampar. Oh ya mas, untuk soal pasar, saya jadi ingat jawaban Sokrates saat ditanya temannya mengapa ia rajin pergi ke pasar. “Ternyata aku tahu, banyak sekali benda yang tak kuperlukan”….