Sejak perilisan foto Luna Maya sebagai pemeran bintang legendaris Suzzanna, publik dibuat heboh. Dalam balutan mukena dengan posisi kepala agak menunduk, tahi lalat di pipi, disempurnakan oleh ahli make up dari Rusia, membuat keduanya terlihat begitu mirip. Saat trailer film keluar, beberapa netizen masih juga meragukan. Namun begitu ditayangkan, banyak yang akhirnya memuji, selain tetap ada juga yang mencerca akting Luna Maya yang terlalu dibuat-buat.
Suzzanna: Bernapas dalam Kubur disutradarai oleh Rocky Soraya dan Anggy Umbara. Dalam waktu empat hari, film ini berhasil mengumpulkan lebih dari satu juta penonton, menjadikannya sebagai film horor Indonesia dengan jumlah penonton opening day terbanyak—207.462 penonton, sementara Pengabdi Setan (2017) hanya meraih 91.070 penonton. Bahkan tidak mustahil rekor sebagai film horor Indonesia terlaris sepanjang masa yang dipegang oleh Pengabdi Setan (2017) akan direnggutnya pula.
Suzzanna sangat ikonik. Selain sebagai ratu film horor, ia juga salah satu bomb sex dalam industri perfilman Indonesia. Peran-perannya sebagai hantu sekaligus korban pelecehan seksual masih terkenang sampai sekarang. Film-filmnya kerap ditayangkan kembali di sejumlah stasiun televisi. Salah satu yang terkenal adalah Sundelbolong (Sisworo Gautama Putra, 1981), ia berperan sebagai hantu yang berupaya balas dendam kepada beberapa laki-laki yang telah memerkosanya.
Suzzanna: Bernapas dalam Kubur merupakan gabungan dari dua film sebelumnya, yaitu Bernafas dalam Lumpur (1970) dan Beranak dalam Kubur (1971)—kata “bernafas” disesuaikan dengan KBBI sekarang menjadi “bernapas”. Film ini menampilkan cerita baru dengan plot mirip Sundelbolong. Berlatar tahun 1989, Suzzana (Luna Maya) dan Satria (Herjunot Ali) adalah pasangan yang sudah tujuh tahun menikah tetapi belum dikaruniai anak. Suatu ketika Suzzanna hamil, justru bersamaan dengan akan ditugaskannya sang suami ke luar kota. Suzzanna di rumah hanya ditemani oleh tiga pembantu.
Momen ditinggal perginya Suzzanna menjadi kesempatan empat rekan kerja Satria datang menyantroni rumah yang kosong karena penghuni rumah menonton layar tancap. Namun, tak disangka-sangka, Suzzanna kembali di saat mereka tengah beraksi. Ia pun mengetahui niat jahat empat penyusup itu.
Karena si empunya rumah sempat melihat salah satu wajah mereka, mau tak mau keempatnya mengejar Suzzanna ketimbang nanti masuk penjara. Dalam adegan pengejaran itu, Suzzanna tidak sengaja tertusuk bambu. Mereka ingin kasus ini hilang dan lepas dari hukuman penjara dengan cara membersihkan rumah dan mengembalikan barang-barang seperti semula. Tidak hanya itu, mereka mengubur Suzzanna hidup-hidup di belakang rumah. Tapi masalah tidak selesai di situ. Hantu Suzzanna gentayangan untuk balas dendam.
Suzzanna: Bernapas dalam Kubur sangat terbantu oleh kerja penata kamera Ipung Rachmat Syaiful. Gambarnya enak dinikmati dan menyajikan beberapa adegan keren, salah satunya adegan hantu terbang membawa potongan kepala—agak sedikit mengingatkan pada film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017)—dalam posisi kamera miring dan nyaris terbalik. Tone warna dan suara tertata rapi sehingga enak dinikmati, meskipun pada beberapa adegan, khususnya malam-malam, gambar tampak terlalu gelap.
Luna Maya berakting lumayan baik dan memukau, meskipun beberapa kali suaranya terdengar dibuat-buat dan gerakan mulutnya kurang terbuka sehingga mimiknya terlihat kaku. Namun, usaha mewujudkan kembali karakter Suzzanna di layar lebar patut diacungi jempol. Tidak mengecewakan. Sebaliknya, Herjunot Ali belum mampu memberikan akting terbaik sehingga kurang menyajikan chemistry kuat. Chemistry itu justru dimaksimalkan tiga pemeran pembantu, Asri Welas, Ence Bagus, dan Opie Kumis yang menampilkan adegan-adegan komedi kekinian. Serta empat penjahat beringas yang menyantroni rumah Satria, yaitu Teuku Rifnu Wikana, Verdi Soleiman, Alex Abbad, dan Kiki Narendra.
Cerita menjadi menarik ketika dilemparkan game rules berupa mitos, aturan, atau cara untuk melawan hantu dari Dukun Turu (Norman Akyuwen) yang lagi-lagi menyajikan karakter lucu dan komikal. Formulanya kembali mengingatkan kita pada Pengabdi Setan, sengaja menggiring penonton untuk menebak ending yang justru melenceng dari perkiraan. Salah satu penyebabnya adalah karakter Suzzanna yang dibuat protagonis sehingga penonton malah bersimpati padanya. Ini jarang ditemui dalam perfilman horor Indonesia. Jika menilik formula film ini, kisah horor dengan balutan romansa dari pasangan berbeda dunia, kita dapat menimbang-nimbang film Thailand Nang Nak (Nonzee Nimibutr, 1999).
Sebagai film horor, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur tidaklah murni horor, sebab bumbu drama dan komedinya terasa cukup dominan. Beberapa elemen khas film horor, seperti adegan jump scare, hantu menyeramkan, dan adegan kengerian kurang tersaji secara total. Ditambah lagi, hantunya terlalu cantik bahkan setelah di-make up sedemikian rupa. Kita memang selalu beranggapan bahwa hantu dengan tokoh blasteran kurang menyeramkan. Nuansa horor hadir ketika kamera menyorot potret keluarga Suzzanna di dinding. Adegan kengerian terbangun melalui bagaimana cara hantu Suzzanna balas dendam—beberapa di antaranya dengan cara memutilasi.
Sebagai produk remake atau reboot, film ini berhasil mengikuti keberhasilan Warkop DKI (2016 dan 2017), melampaui Wiro Sableng, dan jauh melampaui kegagalan Benyamin (2018). Sebagai hiburan, film ini sukses menghadirkan karakter Suzzanna kembali ke layar lebar. Sebagai film utuh, beberapa kekurangan di sana-sini dapat terselamatkan oleh dukungan teknis dan usaha Luna Maya menghidupkan kembali karakter Suzzanna tentunya—ya, “dia” seperti telah kembali. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur layak menjadi tontonan yang menghibur sekaligus menggiring penonton dewasa ke ajang nostalgia tahun ’80-an. []
- Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, Kembalinya Ikon Film Horor Indonesia - 28 November 2018