
Beliau adalah Muhammad bin Muhammad al-Husin Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi. Beliau termasuk sufi agung di antara para sufi di Thawus. Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri. Juga bersahabat dengan para sufi yang hidup di masanya.
Beliau adalah satu-satunya sufi yang menonjol di zamannya. Beliau memiliki karamah-karamah yang begitu nyata: kejadian-kejadian adikodrati yang sesungguhnya dikerjakan oleh Allah Ta’ala. Beliau sangat tinggi kondisi rohaninya, juga semangatnya sangat bagus. Beliau wafat setelah tahun 350 Hijriah.
Beliau menyatakan bahwa sangat beruntung orang yang tidak memiliki perantara apa pun untuk sampai kepada hadiratNya selain Allah Ta’ala itu sendiri. Dalam konteks ini, Allah Ta’ala adalah sebagai tujuan, juga sebagai perantara yang paling efektif untuk menyampaikan pada tujuan.
Ini berkaitan dengan adanya pemahaman bahwa segala sesuatu yang diperankan oleh Allah Ta’ala tercatat sebagai hadiratNya sendiri, bukan segala sesuatu yang lain. Sebab, bukankah yang ada di “dunia” cuma dua. Yaitu, Allah Ta’ala dan realitas kehendakNya.
Dan kalau yang dua itu lebih disimpelkan lagi, maka hanya akan tinggal satu. Yaitu, Allah Ta’ala. Toh, seluruh isi dunia ini, semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi, semua kejadian yang terjadi, semuanya itu adalah sesuai dengan ketentuan hadiratNya. Tidak mungkin tidak.
Itulah sebabnya kita harus menyembah kepada Allah Ta’ala. Wajib. Tapi kalau hadiratNya tidak berkehendak untuk disembah sebagaimana semestinya, tidak mungkin Dia bisa disembah. Sembah sujud kita kepada hadiratNya adalah sembah sujud Allah Ta’ala kepada diriNya sendiri.
Yang sering kali banyak orang salah sangka adalah bahwa perjalanan hidup di dunia ini tidak sebermutu apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala. Perjalanan hidup di dunia ini lain, sedangkan apa yang diinginkan oleh hadiratNya juga lain. Tidak ada perjumpaan di antara keduanya, jauh sekali, antara langit yang tertinggi dan bumi yang rendah.
Padahal tidak demikian. Apa yang telah menjadi kenyataan di dunia ini adalah apa yang telah dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Persis. Tidak ada celah sedikit pun. Yang paling disenangi oleh hadiratNya adalah orang yang telah diuji oleh Allah Ta’ala dan dinyatakan lolos.
Itulah sebabnya para nabi adalah orang-orang yang penuh dengan ujian. Dari mulai Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai Nabi Muhammad Saw. Tidak ada di antara mereka yang tidak mendapatkan ujian. Dan ujian para nabi adalah ujian yang terberat yang sanggup disandang oleh umat manusia.
Dan di bawah ujian yang diterima para nabi itu adalah ujian yang disandang oleh para wali, yaitu kekasih-kekasih Allah Ta’ala yang berada di bawah tingkatan para nabi. Ujian yang diterima mereka juga berat. Bukan hanya kehilangan orang tercinta dengan cara yang tragis, tapi juga hancurnya mereka di mata manusia. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025