Beliau adalah Ishaq bin Muhammad bin Isma’il Abu al-Qasim al-Hakim as-Samarqandi. Beliau bersahabat dengan para sufi. Di antara mereka adalah Syaikh Abu Bakar al-Warraq. Beliau wafat pada hari ‘Asyura bulan Muharram pada tahun 342 Hijriah. Jenazah beliau dikubur di pemakaman Jakardizah: sebuah tempat yang sangat luas di Samarkand.
Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa pada suatu hari, sang sufi duduk-duduk di pintu rumahnya. Lalu, datanglah Syaikh Abu Thahir, seorang sufi agung di zamannya. Si tamu terbelalak pandangannya menyaksikan telaga dan pohon-pohon cemara, lalu putar balik dan duduk di sebuah toko.
Mengetahui tamunya tidak jadi bertandang, Syaikh Abu al-Qasim as-Samarqandi memerintahkan santrinya untuk menebang pohon-pohon cemara. Setelah selesai ditebang, beliau memerintahkannya untuk memanggil Syaikh Abu Thahir.
Setelah sang tamu datang, beliau diceramahi oleh sang tuan rumah: “Wahai Abu Thahir, apa yang menjadi hijab antara engkau dengan Allah Ta’ala telah dipotong. Sekarang, belajarlah bersahabat dengan hadiratNya sampai tidak ada satu pun yang menjadi hijab.”
Bagi seorang sufi, Syaikh Abu Thahir, telaga dan pohon-pohon cemara yang indah telah menghalangi pandangan dan ketertarikannya kepada Allah Ta’ala. Sementara bagi sufi yang lain, Syaikh Abu al-Qasim as-Samarqandi, tidak ada hijab apa pun yang menghalangi kebersamaannya dengan hadiratNya.
Betapa jauh jarak rohani yang memisahkan di antara keduanya. Yang satu masih terganggu oleh makhluk, seolah makhluk betul-betul merupakan hijab. Padahal sesungguhnya tidak ada apa pun yang benar-benar menutupi Allah Ta’ala. Sebab, kalau memang ada, pastilah hijab itu lebih luas dibandingkan hadiratNya, dan hal itu mustahil.
Sedangkan yang satunya lagi, yang pandangan batinnya jauh lebih jernih dan nyalang, sama sekali sudah tidak menyaksikan hijab yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Allah Ta’ala. Bahkan hakikat segala sesuatu dipandang sebagai hadiratNya jua.
Yang terhalang oleh makhluk untuk senantiasa menyaksikan Tuhan semesta alam adalah orang yang memandang hadiratNya sebagai suatu entitas dan meyakini makhluk sebagai entitas yang lain. Seakan keduanya memang terpisah jauh. Padahal perumpamaan keduanya tak lain adalah laksana samudra dengan gelombangnya. Bisakah gelombang terlepas dari samudra? Jelas tidak bisa. Karena eksisnya gelombang tidak boleh tidak mesti ditopang oleh samudra, tidak mungkin sanggup berdiri sendiri. Itulah sebabnya, hakikat gelombang itu adalah samudra. Tidak mungkin yang lain. Tapi jangan sekali-kali kita membaliknya. Jangan katakan bahwa hakikat samudra itu adalah gelombang. Sebab, dengan demikian, berarti yang asali itu bersandar pada yang datang kemudian. Dan hal itu mustahil.
Karena itu, pandanglah segala sesuatu dari sisi asal-usulnya. Kita akan senantiasa menyaksikan hamparan tak bertepi dari realitas kemahaan Tuhan semesta alam. Dan sungguh hal itu merupakan keindahan yang hakiki. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024