Syaikh Barsisa Jilid II

Aku baru berani menulis ini setelah bertahun-tahun minggat dari kampung, sesudah buya gantung diri di mihrab surau.

Saat itu musim hujan bulan Agustus, Buya Ronald memberi tausiyah subuh di Surau Gadang. Lelaki dengan wajah tudung nasi itu begitu bersemangat sebab gilirannya memberikan tausiyah adalah saat yang dinanti; dia sangat senang bicara. Sedangkan kami, murid-muridnya yang terantuk-antuk antara bangun dan jaga hanya tepekur di balik kain sarung lisut dan kumuh, menyandarkan punggung ke dinding surau yang sudah doyong.

Siapa pun tahu bahwa usia Surga (Surau Gadang) jauh lebih tua dari orang paling sepuh di Janjang Kabau. Bangunan segi empat dengan lima lantai itu sudah uzur, namun ajaibnya belum menunjukkan tanda-tanda akan rubuh. Orang tua yang senang berzikir dan sesekali suluk bila bulan puasa datang demikian khusuk mendengarkan petuah Buya Ronald yang selalu sama, namun disampaikan dari berbagai pembukaan; tentang neraka, tentang surga, padang mahsyar, dan tentang betapa dunia ini hanyalah penjara bagi orang beriman.

“Azizah itu,” ujar Buya Ronald yang entah dari mana timbul setelah membahas tujuh golongan yang akan menerima syafaat di padang mahsyar kelak. “Dia tidak sekolah agama seperti kalian, dia tidak belajar agama sedalam kalian, tapi dia selalu Salat Subuh berjamaah, selalu datang ke surau ini ….”

Aku dan Ramlan yang duduk di tonggak surau sebelah jendela terantuk-antuk menahan kelopak mata yang berat. Semalam kami begadang membakar ikan mujair sambil menyanyikan lagu Tum Hi Ho, kemudian menggali ubi milik buya dan menyisakan sedikit untuk si empu yang menanam. Bagi kami, seluruh tanaman buya adalah milik para muridnya, kami men-qiyash-kan pencurian tersebut kepada ghanimah, harta rampasan perang.

Azizah si empu topik sudah sejak tadi pulang. Dia memang bunga desa, tak ada yang tidak tertegun saat bertatapan dengannya. Bahkan Si Karodon, lelaki setengah gila yang suka kencing sembarangan, tak mengedipkan mata sambil menelan liur saat Azizah melintas di jalan kampung saat pulang sekolah. Aku dan Ramlan tak hanya mengaguminya, namun juga suka menguntitnya mandi menjelang pergi sekolah. Tak ada orang yang punya wc pribadi di Janjang Kabau, seluruhnya mandi ke sungai, dan Azizah dengan tubuhnya yang semlohai adalah ujian dunia yang tak mungkin dapat kami tolak. Bahkan kami giat bangun subuh demi bisa melihatnya mandi pagi, pukul enam lewat lima belas, aku hafal seluruh tabiatnya.

Ada sebuah anak sungai yang mengalir tepat ke belakang rumah Azizah, membentuk lubuk kecil yang cukup dalam. Dia akan mandi di sana. Dan kami, anak-anak tengil yang baru mimpi basah selalu ketagihan melihatnya mandi dengan kain panjang yang menutupi dadanya yang baru tumbuh. Dia akan menggosok kakinya hingga paha, menyingsingkan kain panjang itu dan kami tak akan berkedip menyaksikan pahanya yang mulus putih seperti ubi kayu yang baru dikupas.

“Ke sana?” Aku memberikan sinyal pada Ramlan, dan dia mengangguk mantap.

Kami melempar kopiah dan kain sarung ke sembarang tempat, lantas berlari keluar macam kucing dibawakan lidi. Mengendap-endap di bawah tunggul pohon kelapa yang habis disambar petir. Dari sana kami harus jongkok, lalu melongokkan kepala sedikit demi sedikit untuk melihat bunga desa yang sedang melakukan tirakatnya.

“Sudah turun dia?” tanyaku pada Ramlan.

Lelaki itu mengangguk. “Baru turun.”

Aku menjilat bibir, beringsut ke depan, dan menatap aliran sungai yang jernih dari balik pokok nanas yang subur di sekitar tunggul kelapa. Aku melihat gadis itu membuka baju, lantas menggantinya dengan kain sarung panjang yang diikatkan ke dada, walau selalu melorot karena dadanya masih kecil dan tak bisa menahan ikatan tersebut. Namun, itu sudah cukup. Aku mulai memikirkan bagaimana Azizah tumbuh sedikit lebih dewasa, mungkin dua hingga tiga tahun lagi, dua dadanya pasti sudah lebih montok dan ranum, sedangkan pinggulnya akan lebih lebar seperti penari ronggeng yang biasa kulihat di sampul buku IPS.

Azizah mulai turun dan merendam diri di lubuk, tangannya yang gemulai dan lentik berkecipak di bawah derasnya air. Dia tak membasahkan kepala. Apakah setiap perempuan tidak membasahkan rambut jika mandi? Aku belum mendapatkan jawabannya saat itu. Yang kulihat Azizah hanya membasuh badan dan menyabuninya, lalu membasuh muka dan telinga. Dia selalu terlihat menikmati saat menggosok paha hingga bagian ke atasnya, saat-saat kami menghentikan nafas dan melebarkan mata, lalu gadis itu kembali berendam ke lubuk dan keluar, meraih handuk yang digantungnya di dahan cokelat tua yang hampir mati.

Tak ada yang terlalu istimewa sebetulnya, namun kabar mengejutkan itu datang satu bulan kemudian. Di bulan September, anak-anak mulai heboh karena berhasil mendapatkan nomor hp Azizah. Aku dan Ramlan tak mau ketinggalan. Sejauh ini kami hanya saling bertukar sapa atau sekadar melempar senyum bila berpapasan di jalan, kami tak pernah diberi kesempatan untuk duduk dan bicara dengan perempuan bukan muhrim. Buya Ronald sudah menyediakan dua meter rotan panjang untuk menghalau kami jika ketahuan berbuat yang tidak senonoh. Lelaki gendut itu seolah tak pernah punya darah muda.

“Bagaimana ini, Ki, kau berani minta langsung nomor hp Azizah?”

Aku menggeleng. “Tapi aku ada ide,” kataku. “Adiknya, Robi, kita bisa suruh dia mencatatkan nomor kakaknya dan akan kita bayar.”

Ramlan menegakkan kepala mendengar ideku. Pasalnya, sudah berkali-kali kami minta nomor Azizah kepada Sofyan, namun selalu saja ditolak dengan alasan klasik, “Azizah melarangku menyebarkan nomornya,” yang kadang membuat kami muak. Akhirnya, petang Kamis, kami menodong Robi yang saat itu masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar untuk menyatakan maksud. Awalnya dia menolak, namun setelah kami mengiming-imingi dengan sekotak cokelat kodok dan satu pak gula-gula tapak kaki, dia mengangguk, dengan syarat pembayaran harus dilakukan di awal.

Dua belas deret angka itu berhasil kami dapatkan. Robi menyerahkannya selepas Salat Magrib di Surau Gadang dengan cara yang sangat rahasia: meletakkan lembaran nomor tersebut di dalam buku LKS, lalu memberikannya kepadaku seolah dia telah meminjamnya beberapa hari lalu. Cincai, malam itu kami bisa SMS-an dengan Azizah, yang ternyata dibalas secepat tukang pos mengantarkan surat ke ujung dunia: tidak pernah.

Di bulan yang sama, desas-desus kembali sampai ke telinga kami; Azizah suka nonton film porno. Tentu saja ini adalah kabar menggegerkan yang tak tahu ujung-pangkalnya, seorang gadis muda yang dielu-elukan Buya Ronald dan tidak pernah absen ke surau menjadi buas jika berada di belakang? Aku dan Ramlan tak mempercayai-nya, tak dapat mempercayai kabar itu lebih tepatnya.

“Azizah pakai burkak[1] sekarang, dan dia tak pernah mandi ke sungai lagi. Ini benar-benar kabar buruk, Boi.” Ramlan berseru dengan nada menyesal. Orang tua Azizah telah membeli sebuah Sanyo kecil dan sejak hari itu mereka mandi di dalam rumah. Kami tak pernah mengintipnya lagi, dan sejak itu dunia terasa sedikit asing.

Bulan-bulan berikutnya, kami melihat Azizah memakai cadar, kaus kaki panjang, dan pandangan mata ditundukkan jika berjalan. Sekali kami pernah menyapanya, namun tak digubris. Telepon yang rutin kami lakukan juga tak pernah diangkat, hanya berdengung-dengung saja macam suara lebah. Hingga desas-desus tersebut hilang begitu saja karena kami pun tamat sekolah. Aku memutuskan pindah ke Mudiak dan Ramlan tak tahu lagi wujudnya di mana. Kami bertemu bertahun-tahun kemudian, dia kuliah di UNAND jurusan Sastra Indonesia, menyambi kerja di tempat cuci mobil. Di sanalah aku mendengar kelanjutan kisah gadis cantik tersebut.

“Sudah berapa tahun tidak balik ke Janjang Kabau, Ki?” Ramlan melemparkan sekotak rokok kepadaku setelah mencomot satu. Sial, benda haram yang dulu begitu dihindari kini tertancap manja di bibirnya yang menghitam. Asap bergelung-gelung keluar dari hidungnya seperti cerobong kereta api Sawahlunto.

“Aku tidak pernah balik lagi,” jawabku pendek.

Tiba-tiba dia seolah teringat sesuatu. Air mukanya berubah seketika, dan aku tahu biasanya dia memiliki ide atau topik panas; aku sudah bertahun-tahun mengenal Ramlan dan tak akan pernah lupa bagaimana kebiasaannya.

“Kau sudah dengar kabar terbaru Azizah?” katanya dengan senyum nakal. “Dia menikah dengan Sofyan.”

Aku bergidik, meski sudah bertahun-tahun tak lagi menaruh minat pada hal-hal begitu, namun Ramlan berhasil mengoyak-ngoyak perhatianku dan membuka kembali ingatan lama yang sudah bertahun-tahun terkubur.

Ramlan mengecek hp, mencari-cari dengan kening berkerut, lalu meletakkannya lagi karena yang dicarinya sudah tidak ada. “Dia hamil di luar nikah. Aku dulu punya videonya, tapi sepertinya sudah hilang, bahkan video wajah Buya yang bonyok diamuk warga juga ada padaku.”

“Buya? Bukankah kau bilang Azizah menikah dengan Sofyan?”

Ramlan enteng saja mengatakan semua itu. Hamil di luar nikah? Kalimat itu seolah memantul-mantul dalam kepala, setengah batinku tak menerimanya, namun apa pun bisa saja terjadi dalam beberapa tahun belakang. Akhir-akhir ini dunia memang sudah gila, tapi tak kusangka kegilaan itu berpusing di sekitarku, pada orang-orang yang kukenal baik dan berwibawa. Apa mungkin Ramlan hanya mengakal-akaliku saja?

“Mereka melakukannya di wc surau, malam sehabis Isya,” tambah Ramlan lagi, dia benar-benar tak memberiku waktu berpikir. “Entah bagaimana ceritanya, tapi yang pasti mereka berdua sudah lama SMS-an. Buya mendapat nomor Azizah dari Sofyan saat menyita hp-nya, dan sejak itu Azizah sering dibelikan pulsa. Aku akan coba tanya videonya kepada Mad jika masih ada, karena sebelum mereka ditangkap, pemuda itu merekamnya dulu diam-diam dari balik wc yang berlubang. Kau ingat kita dulu juga sering mengintip dari sana?”

“Wc perempuan?”

“Benar, di wc itu Buya menggerayangi Azizah, katanya mempraktekkan ilmu fiqh munakahat.”[2]

“Jadi, Sofyan?” Aku masih tak mengerti.

“Sofyan hanya tumbal. Dia sangat mencintai Azizah. Sofyan menikahi gadis itu dalam keadaan hamil.”

“Pantek!” Aku reflek memaki.


[1] Cadar.

[2] Ilmu Fiqh tentang pernikahan.

Hasbunallah Haris
Latest posts by Hasbunallah Haris (see all)

Comments

  1. raf Reply

    Ondeh, Bang… Kalimat dialog terakhir sangat ramah!

  2. Amek Reply

    Bengek bacoe wkwkw. Hadeh, tapikia juo dek bang Bunal carito soman jak iko..

  3. d4Lb0 Reply

    Cerpenya bagus, tapikok judulnya aneh, ada yang bisa jelasin ga

    • Diablo Reply

      Bantu jawab, mungkin cerpen ini adalah remix dari kisah syaikh Barsisa yang sebenarnya (Seorang ulama yang mati sesat karena digoda iblis untuk memperkosa wanita, kira-kira begitu kisahnya) dan ini adalah versi modernnya yang ditak-atik sesuai realitas zaman, makanya diberi tanda judul dengan penyebutan Jilid II. Semoga membantu.

      • d4Lb0 Reply

        O begitu, makasi kawan

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!