Beliau adalah Husin bin Manshur al-Hallaj al-Baidhawi Abu al-Mughits. Beliau berasal dari Distrik Beyza, sebuah kota di Kabupaten Sepidan, Provinsi Fars, Iran. Bersahabat dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Ahmad an-Nuri, Syaikh Abu Bakar asy-Syibli dan para sufi yang lain. Beliau merupakan salah satu murid dari Syaikh ‘Amr bin ‘Utsman al-Makki. Beliau wafat di tiang gantungan pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah tahun 922 Masehi.
Beliau dikenal dengan sebutan “al-Hallaj” yang berarti orang yang memisahkan kapas dari bijinya untuk proses pembuatan kain. Padahal beliau sama sekali tidak menekuni profesi tersebut. Ceritanya adalah sebagaimana berikut ini.
Pada suatu hari, Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj mendatangi sebuah toko milik temannya yang memang berprofesi sebagai pemisah kapas dari bijinya. Keduanya sedemikian akrab dalam persahabatan. Ketika menyaksikan temannya sedang menekuni profesi perkapasan, putra Husin itu kemudian bilang: “Sini aku saja yang mengerjakan.” Sejak saat itu beliau dipanggil “al-Hallaj”.
Beliau merupakan salah seorang sufi yang sangat kontroversial lantaran berbagai pernyataannya yang dianggap menyimpang dari garis kelaziman di bidang ketauhidan. Para sufi berselisih pandangan tentang beliau. Di antara mereka banyak yang menolak beliau. Dan di antara mereka banyak pula yang menerimanya.
Di dalam Kitab Kasyf al-Mahjub, Syaikh al-Hujwiri memberikan pernyataan tentang posisi al-Hallaj di kalangan para sufi: “Para sufi kemudian rata-rata menerima posisi al-Hallaj sebagai bagian dari mereka. Sementara sebagian sufi terdahulu yang menolak beliau, sama sekali tidak menolak pemahaman dan praktik agamanya, tapi menolak berinteraksi dengan beliau.”
Saya menduga bahwa sebagian sufi terdahulu yang menolak untuk berinteraksi dengan Syaikh al-Hallaj terutama karena dipicu oleh adanya berbagai macam pernyataan kontroversial tentang rahasia-rahasia keilahian yang meluncur dari ungkapan-ungkapan beliau.
Yang paling terkenal dari pernyataan kontroversial beliau adalah ungkapan “Ana al-Haqq”. Secara harfiah, ungkapan tersebut bermakna “Akulah Tuhan Yang Mahabenar”. Secara lahiriah, tentu saja sudah dapat dipastikan bahwa ungkapan itu akan memancing bukan saja gelombang ketidaksetujuan dari kalangan masyarakat awam, tapi juga adanya kegaduhan sekaligus berbagai macam penentangan.
Secara harfiah, ungkapan tersebut juga mengindikasikan adanya kesombongan kelewat batas sehingga seorang al-Hallaj yang tak lebih sebagai manusia biasa mengaku bahwa dirinya tidak lain adalah Tuhan. Konon, lantaran ungkapan itulah beliau dihukum mati di tiang gantungan oleh Dinasti Abbasiyah yang berkuasa di saat itu.
Akan tetapi secara substansial, ungkapan Syaikh al-Hallaj itu sebenarnya menunjuk kepada pemahaman paling mendalam bahwa yang ada secara mutlak itu sesungguhnya hanyalah satu. Yaitu, Allah Ta’ala. Dan apa yang disebut sebagai yang lain itu sebenarnya tidak ada dan tidak akan pernah ada.
Maka ketika Syaikh al-Hallaj menyatakan “Ana al-Haqq”, sesungguhnya beliau telah suwung bagi dirinya sendiri, beliau hanya dipakai oleh hadirat-Nya untuk menyatakan kalimat tersebut. Merdekalah beliau dari cengkeraman bayang-bayang keanekaragaman. Bahkan beliau telah merdeka dari dirinya sendiri. Karena itu, seorang sultan di bidang tarekat, Syaikh Abu Sa’id bin Abu al-Khayr, dengan tegas mengatakan: “Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj berada pada derajat rohani yang tinggi. Di zamannya, tidak ada seorang sufi pun yang menyamainya, baik di barat maupun di timur.” Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari - 20 September 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024