
“Wahai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah,” (QS. an-Nisa’: 59).
Dalam konteks paradigma sufistik Syaikh Muhyiddin ibn ‘Arabi (1165-1240 M) terhadap ayat di atas, keimanan yang disandang mereka itu minimal “dibuktikan” oleh adanya tawhid ash-shifat di batin mereka yang kemudian diejawantahkan di dalam tindakan dan perilaku. Artinya adalah bahwa di dalam hati mereka terpatri dengan sedemikian kuat adanya keimanan terhadap kemahasempurnaan sifat-sifat yang dimiliki oleh hadiratNya.
Karena Allah Ta’ala itu mutlak dan absolut, maka tidak mungkin ada setitik pun kekurangan atau ketidaksempurnaan yang melekat pada sifat-sifatNya. Mustahil itu. Dengan dasar keimanan itu, mereka diperintahkan untuk senantiasa taat kepadaNya dengan landasan keyakinan paling kuat. Yaitu dengan kukuhnya tawhid adz-dzat yang bersemayam dengan tegar dan menghunjam di dalam batin mereka.
Tawhid adz-dzat itu adalah keyakinan bahwa yang betul-betul ada secara hakiki hanyalah Allah. Yang lain sama sekali tidak ada. Wujud yang mutlak itu cuma satu. Sedang segala sesuatu yang disebut sebagai yang lain tak lebih dari sekedar pengejawantahan dari kemahaan wujud hadiratNya. Nah, kepada satu-satunya Wujud yang absolut itulah orang-orang yang beriman diperintahkan untuk taat dengan sepenuh hati dan kesungguhan.
Taat dalam konteks tawhid adz-dzat adalah melabuhkan dan meleburkan diri ke dalam lautan kemahaanNya. Dengan penuh totalitas. Sehingga tidak tersisa sedikit pun adanya dimensi egoisme pada diri sang salik yang senantiasa menghaturkan sembah sujud kepada hadiratNya. Andai masih ada walau hanya sebutir atom keakuan di dalam ketaatan, maka dapat dipastikan bahwa ketundukan itu masih dalam posisi tertolak dalam konteks tawhid adz-dzat tersebut.
Dalam kesempurnaan dan totalitas ketaatan itu, siapa pun yang mengalaminya akan senantiasa terbebaskan dari berbagai macam hasrat yang suram. Yaitu hasrat yang muncul dari nafsu yang kumuh dan tertuju kepada segala sesuatu yang muspra, fana dan sia-sia. Dan pada saat yang bersamaan, dia juga akan terbebaskan dari prakarsa dirinya sendiri: seluruh tindakan dan keputusan yang diambilnya secara hakiki merupakan tindakan dan keputusan Allah Ta’ala belaka.
“Seseorang yang spiritualitasnya mencapai derajat sempurna tidak akan menggerakkan sehelai bulu kuduk pun tanpa mendapatkan perintah langsung secara personal dari hadiratNya,” ungkap Ibn ‘Arabi dalam salah satu kitabnya. Sebagaimana Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani yang tidak mau melakukan apa pun, termasuk makan dan minum, tanpa ada perintah yang konkret secara langsung dari Allah Ta’ala.
Perincian taat kepada hadiratNya itu mesti diimplementasikan dengan ketulusan taat terhadap Rasulullah Saw. yang merupakan pengejawantahan dari kehadiran Allah Ta’ala yang paling sempurna di antara seluruh tajalliNya yang lain. Dalam konteks ini, tunduk dan taat kepada Sang Rasul adalah sama dengan tunduk dan taat kepada hadiratNya. Persis sama. Tidak kurang sedikit pun. Karena dalam risalah dan kenabian, Sang Nabi itu tidak “mencantumkan” dirinya sendiri sedikit pun.
Demikian pula wajib untuk tunduk dan taat kepada pemerintah yang berada dalam koridor ajaran-ajaran Allah Ta’ala dan didaulat untuk menjalankan sistem pemerintahan dan roda kehidupan dalam kebersamaan. Hal itu tak lain karena pemerintah yang taat itu sesungguhnya merupakan sejumlah perangkat paling akseleratif di dalam membumikan paket-paket ajaran hadiratNya pada kehidupan dan sistem sosial. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025