TARIAN HUJAN

Cahaya-cahaya bulat bergerak sistematis. Gerakannya serupa bola yang memantul ke segala arah, menyoroti setiap jengkal tanah, juga setiap sudut. Berjarak satu meter, ia mengamati dirimu yang memperhatikan sekelompok pencari dari balik kaca jendela. Isi cangkirmu pasti hampir habis. Perempuan itu pasti tahu, tapi ia enggan mendekat. Ia berdiri menunggu.

          “Sia-sia,” gerammu, “Semua jejak pasti hanyut terbawa air.”

          Kau berpaling kesal ke arahnya seakan-akan semua salahnya.

          “Kemarin malam hujan, kan?”

          Matanya mengerjap dan buru-buru mengangguk. Ia memberanikan diri untuk bertanya.

          “Tambah kopinya?”

        Kausodorkan cangkir. Bergegas mendekat, ia raih teko dari atas meja makan kemudian menuangkan air kecokelatan, berhenti satu senti sebelum bibir cangkir. Kausesap kopi itu tanpa kata-kata. Kau bahkan tak ingin menatapnya. Perempuan di sampingmu bergeming, sama sekali tidak terganggu dengan sikap dinginmu. Ia meletakkan kembali teko ke tempat semula sebelum melihat keluar jendela. Matanya mengikuti gerak bola-bola cahaya.

          “Seharusnya tidak perlu seperti ini,” gumamnya.

          Kauhentikan kegiatan mengamati lantas berpaling dengan ekspresi marah.

          “Lalu bagaimana?” hardikmu, “kau menolak polisi dilibatkan!”

          “Harganya tak sebanding dengan semua ini.”

          Tawa kasar mengejek keluar dari mulutmu.

          “Katakan itu kepada adikmu yang pencuri!”

          “Adikku bukan pencuri!” bantah si wanita. Matanya berkilat marah. Sumbu telah tersulut.

          Kedua tanganmu terkepal. Otot-ototmu menegang. Perang meletus hanya soal waktu.

          “Jangan mendebatku! Aku ….”

          Perkataanmu terputus oleh teriakan.

          “Ibu!”

          “Pergilah! Sebelum anakmu berteriak lebih keras,” seringaimu.

          Kau selalu mengatakan anakmu meski gadis cilik itu sebenarnya anak kalian.

          Menelan amarah, ia berputar meninggalkanmu. Ia bergegas menuju kamar yang terletak di sisi lain kamar utama. Pintunya tak rapat, lidah kunci menempel di kusen. Belakangan ini gadis kecil itu rewel. Ia menangis bila ditinggalkan, meski sudah cukup lama tidur di kamar sendiri. Si bocah baru tenang setelah ibunya, yaitu istrimu, berjanji tidak menutup pintu dan akan segera tiba begitu dipanggil.

          Tangan istrimu menekan saklar lampu. Ruangan seketika terang benderang. Duduk bersandar di kepala tempat tidur dengan tangan mencengkeram selimut yang menyelimuti tubuh, si bocah tampak benar-benar ketakutan. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar, dan air mata mengalir membasahi pipinya yang montok. Istrimu menghela napas. Semua kemarahannya sirna digantikan iba dan kasih. Ia duduk di sisi putri kalian.

          “Ada apa, Sayang? Mimpi buruk lagi?” tanyanya sambil memeluk.

          Yang ditanya tak menjawab. Ia mempererat dekapan, membenamkan wajah di dada sang ibu, dan terisak. Kehadiran sang ibu adalah yang terpenting saat ini. Istrimu membelai rambut anak kalian seraya bersenandung. Perlahan isak berhenti. Napas yang teratur menandakan pemiliknya tertidur. Hati-hati dibaringkannya si anak, disekanya lembut pipi masih yang basah. Istrimu menyelimuti mereka berdua kemudian mendekap tubuh hangat putri kalian. Ia tak berniat kembali berdebat denganmu. Ia akan tidur di sini malam ini.

***     

          Kelopak matanya terbuka mendadak. Jam dinding yang berdetak menunjukkan pukul 03.35, meski rasanya ia belum terlelap sekejap pun. Ia mendengar napas halus si anak lalu perlahan-lahan melepaskan dekapan. Berbaring telentang dengan tatapan nyalang, ia merasa dadanya sesak. Pernikahan ini salah sejak awal. Tak seharusnya ia melakukan tipu daya hanya agar jadi istrimu. Rekayasanya berhasil, tapi yang terjadi berikut bukan yang ia angankan. Niat cerai pupus tiap kali mengingat bayinya. Kini, setelah putrinya tumbuh besar, ia kembali memikirkannya lebih serius.

          Lamunannya melayang jauh. Teringat reaksi sang ibu saat itu. Ia bergidik. Perdebatan mereka berakhir buruk. Ibunya lebih memilih calon cucunya digugurkan daripada menerimamu sebagai menantu. Ia melawan, berkeras menjalankan keinginannya meski tanpa restu. Kemudian terlontarlah sumpah serapah dari mulut ibunya. Ditinggalkannya rumah detik itu juga dan tak pernah kembali. Sekarang, mau tak mau, ia menduga itulah penyebab ketidakharmonisan rumah tangganya denganmu.

          Mengikuti kata hati, ia menyibak selimut, bangkit, dan membuka pintu dengan hati-hati. Penerangan di luar kamar hanya berasal dari celah sempit pintu kamar mandi yang terkuak. Kau pasti lupa lagi menyalakan lampu di ujung tangga, padahal telah berulang kali ia ingatkan. Cahaya lampu kamar mandi terlalu suram, seseorang bisa jatuh tersandung, meski sebenarnya tak satu pun anggota keluarga tersebut yang bangun sebelum matahari beranjak naik.

          Langkah istrimu berhenti di depan pintu kamar kalian. Tertutup rapat, mungkin bahkan terkunci. Posisimu tergambar jelas dalam bayangannya. Menelungkup dengan sebelah kaki keluar dari tepi kasur. Dahinya mengernyit saat hidungnya mencium bau samar. Kau pasti merokok, melanggar komitmen untuk tidak melakukannya di rumah. Kejengkelannya timbul ketika membayangkan asbak yang dipenuhi puntung rokok. Sekilas tebersit keinginan untuk melabrakmu, yang segera dibatalkannya.

          Ia terus berjalan. Tidak ada lagi pergerakan bola-bola cahaya di pekarangan. Regu pencari sudah pulang. Istrimu tak tahu hasilnya dan tak mau tahu. Sama saja baginya apakah benda itu ditemukan atau hilang selamanya. Ia keluar rumah dan menutup pintu di belakang. Ia berdiri di teras sambil memandang ke atas, terpesona melihat langit hitam pekat tanpa bintang. Sinar lampu menuntun kakinya ke jalan raya. Hawa pagi dingin menusuk. Meski tubuhnya menggigil di balik baju tidur tipis, ia terus berjalan. Di sini ia bebas, lepas dari semua beban yang menjerat bertahun-tahun.

          Gerak kaki makin cepat. Ia lakukan tanpa berpikir, bergerak ke mana kaki melangkah. Napasnya memburu. Ia terus berlari, mengusir dingin dari tubuh. Hatinya riang. Tapak kakinya bagai tak lagi menginjak tanah. Hal terakhir yang teringat adalah pendar cahaya yang memeluk hangat.

***

          Turun dari mobil, kau berputar lalu membuka pintu belakang. Sebelah tanganmu menjangkau lengan gadis kecil yang menangis tersedu. Isaknya terdengar pilu. Tegas kau seret dia melintasi pekarangan. Tanganmu meraih anak kunci dari saku lalu membuka pintu depan. Kau tutup kembali dan menguncinya. Masih mencekal lengan si bocah, kau bawa ia ke ruang duduk. Kau melepaskan pegangannya sambil menuding sebuah kursi.

          “Duduk di situ dan menangislah sampai puas!”

          Kautinggalkan ia, masuk ke kamar dengan kesal, tidak berniat sedikit pun menenangkan anak itu. Kau lelah melakukannya tanpa hasil selama perjalanan dan tak ingin mengulanginya di rumah. Kau berjalan mondar-mandir sambil menggerutu. Semua terasa salah. Kau benci hidupmu, pernikahanmu. Kau sangat membenci perempuan yang pergi dan meninggalkanmu dengan tanggung jawab. Laci meja kau sentakkan hingga terbuka dengan kasar. Kau menggeram melihat bungkus kosong rokok saat kau butuhkan.  

          Kau bergegas keluar kamar, turun tangga, lalu menyambar kunci mobil di atas meja. Sekilas kau lirik bocah perempuan yang masih duduk bergeming di kursi. Tak ada lagi air mata mengalir. Matanya merah dan sembab. Kau mengunci pintu dan menuju toko terdekat. Kembali ke rumah lima belas menit berselang, kau keluarkan dua paket makanan dari kantong kresek dan menaruh sekotak di hadapan si anak.

          “Ayah belikan untukmu.”  

          Sadar mata gadis cilik mengikuti gerak-gerikmu sesaat kemudian, kau balas menatap.

          “Cepat makan!” perintahmu.

          Bibir anak itu bergetar. Tanpa sepatah kata, ia bangkit dan berjalan pergi. Tak peduli, kau lanjutkan makan dengan tenang. Meski tak akan mengingkari darah daging, kau juga tidak bisa sepenuhnya mencintai sosok yang kau anggap penyebab dirimu terpaksa menjalani pernikahan yang kau inginkan.

          Kau masuk ke kamar selesai makan, ingin beristirahat setelah bosan merutuki istrimu. Kotak rokok yang tadi kaubeli, kauambil dari saku lalu kausulut sebatang. Kau embuskan asap dari mulut sambil mengingat pertengkaran kalian dulu dikarenakan ini. Sekarang tidak ada lagi yang akan melarangmu merokok dalam rumah. Sudut bibirmu terangkat. Rokok pertama habis. Kau nyalakan lagi sebatang.

          Puas merokok, kau melumat ujungnya yang membara ke meja rias. Lagi-lagi kau menyeringai membayangkan betapa marah istrimu bila melihatnya. Pandangmu menyapu botol-botol kosmetik yang berjajar rapi. Kau berpikir akan membuangnya besok pagi. Mungkin lebih baik lagi mengupah orang menyingkirkan meja rias serta benda apa pun yang menyangkut dirinya. Dengan pikiran seperti itu, kau naik ke tempat tidur.

          Kau baru sadar hujan turun setelah semenit berbaring. Sepertinya telah berlangsung lama yang tak kau sadari karena terlalu tenggelam dalam pikiran. Terdengar gelak riang seorang anak perempuan di sela air yang turun makin deras. Keningmu berkerut lalu kau membalikkan tubuh tak peduli. Kalau bocah itu ingin berhujan-hujan, biarlah. Itu yang kauputuskan sebelum pikiran lain menyelinap masuk. Bagaimana bila ia sakit yang pasti akan lebih merepotkanmu?

          Dengan geram, dirimu bergegas keluar kamar, bertekad memarahi habis-habisan bocah itu bahkan mengurungnya bila perlu. Kotak makanan yang tadi kaubelikan untuknya tak tersentuh di meja. Amarahmu meluap saat kau menuju belakang rumah dari mana gelak tawa berasal. Pintu kaubuka dengan kasar.

          “Masuk!” bentakmu, “Apa yang ….”

          Kalimatmu terputus. Kau tercengang. Matamu tak berkedip memandang kabut menyerupai sosok perempuan yang sedang menari bersama anakmu di bawah hujan.

Daisy Rahmi
Latest posts by Daisy Rahmi (see all)

Comments

  1. A Reply

    Tidak adakah lanjutan dari cerita ini😔

  2. Shofia Reply

    wooow

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!