Teman kita yang satu ini suatu hari datang dengan semangat hidroponik menggebu-gebu. Ya, apalah namanya kalau bukan “semangat hidroponik” karena ini memang tentang urusan bercocok tanam di atas air, sebuah gaya hidup masyarakat perkotaan yang sudah kesempitan lahan tanam.
Satu-dua kali aku tak terlalu pedulikan segala penjelasannya tentang hidroponik itu karena menurutku ia hanya sedang kena pengaruh tren gaya hidup. Tapi, karena terus-terusan ia menjelaskan perkembangan pengetahuannya, aku merasa ia memang sedang dimabuk hidroponik. Mereka yang sedang dimabuk apa pun memang patut diperhatikan dan juga butuh perhatian seperti halnya mereka yang dimabuk cinta.
Dan segala yang aku bayangkan pun akhirnya tiba, ia benar-benar akan mewujudkan obsesinya itu! Ia belanja berbagai komponen hidroponik mulai dari beberapa batang paralon, penyambung-penyambung paralon, lem paralon, amplas, gergaji paralon, wadah air kotak, puluhan kerucut plastik sandaran akar tanaman. Ia sudah pula memesan kerangka baja ringan untuk sandaran instalasi paralon yang membuat aku percaya segalanya akan menjadi rapi sebab jika ia yang mengerjakannya semua, aku tidak percaya akan baik hasilnya; ia punya reputasi buruk dalam hal kemampuan memaku, menggergaji, dan membuat kuda-kuda yang seimbang seperti yang ia lakukan pada kandang ayam bangkoknya. Ia pernah meniru salah satu rak palet buatanku dan hasilnya benar-benar fatal.
Lalu bagaimana air itu dapat berputar dari wadah kotak ke paralon-paralon di atasnya, tentu ia membeli mesin pemutar air. Khusus untuk hal ini aku merasa wajib mengingatkannya tentang bahaya listrik jika merambat pada rangka baja ringan, terlebih ia punya anak kecil yang sedang nakal-nakalnya.
Ia belanja beberapa benih kemasan, obat-obatan, dan media tanam benih dari pasar online yang terus diikutinya. Aku tidak pernah mengerti beberapa istilah obat, benih, serta media tanam itu, tapi terbawa semangat juga setiap kali mendengarnya bercerita penuh kesungguhan. Dan ketika aku tengok ke rumahnya, teman kita ini dengan penuh bangga menunjukkan cara kerja mesin air itu dan bagaimana benih-benihnya akan tumbuh menjadi kecambah dan akan dipanen hanya dalam hitungan kurang dari satu bulan. Menurut pikiranku, segala yang dihitung di atas kertas biasanya beda dengan kenyataan. Jika pertanian seperti hitungan kertas, maka para petani tidak akan pernah miskin. Tapi aku tak boleh membuatnya pesimis apalagi mengingatkannya pada kemiskinan.
Setelah lewat satu bulan, teman kita yang peminat buku-buku filsafat itu tak datang lagi ke rumah, dan sangka baikku mengatakan mungkin ia sedang disibukkan oleh panen pertamanya, aku memutuskan untuk pergi bersepeda ke rumahnya. Tapi ternyata rumahnya sepi petang itu, dan instalasi hidroponiknya sendiri sudah tidak berfungsi, tersandar bagai barang rongsokan di salah satu dinding depan rumahnya sebagaimana sering kubayangkan kegagalannya itu akan terjadi karena ia bukan seorang petani atau anak petani. Ia dibesarkan di kampung nelayan dalam pengasuhan neneknya yang adalah seorang nelayan. Dengan kata lain dia itu berdarah pelaut.
Aku pun mengirimkan pesan WA tentang kedatanganku untuk menengok perkembangan kebun hidroponiknya itu, dan terbayang dia akan menjadi panik demi menyadari kegagalannya itu diketahui orang. Menjelang malam, ia pun datang ke rumah dan menggebu-gebu pula menyampaikan simpulan tentang kegagalannya itu.
“Persoalan mendasar untuk pertanian, bahkan hidroponik, adalah matahari! Salahku adalah menyimpan instalasi itu di tempat teduh,” katanya pendek saja demi menghindari olok-olok dariku.
Aku pun bertanya-tanya dalam hati apakah dari berbagai informasi yang dia pelajari secara menggebu-gebu itu tak ada seorang pun yang menjelaskan pentingnya unsur matahari? Tentu saja soal matahari mesti menjadi kesadaran biasasaja sebab secara umum tanaman bisa tumbuh dengan matahari yang cukup. Setiap orang terpelajar mesti tahu pengetahuan dasar ini, dan kesalahan dia mungkin karena terlalu sering membaca buku filsafat dan sedikit bacaan sains.
Tapi, sudahlah, kita tak usah ributkan soal matahari apalagi bacaan seseorang, karena kukira bukan itu pula yang jadi masalah utama! Menurutku hidup memang kerap diselingi hal-hal lain yang menggebu-gebu sehingga lupa pada unsur-unsur penting yang perlu mendapat perhatian. Tapi kalau kau mau dengar saranku sebaiknya kau tetap menggebu-gebu saja dan jauh-jauhlah dari simpulan-simpulan yang bisa membuatmu kehilangan semangat hidup. Karena itu, aku coba beri ia saran agar mau melanjutkan obsesinya hingga tidak menyia-nyiakan begitu banyak waktu, pikiran, serta uang untuk segala perlengkapan hidroponiknya itu.
“Kamu tinggal menggeser instalasi itu ke tempat yang panas. Itu mudah sekali. Halaman depan rumahmu tidak semua kamu tutup.” Begitu aku memulai.
“Aku tak mau bertengkar dengan istriku. Dia butuh tempat untuk menjemur pakaian.” Teman kita itu berusaha memancingku untuk ikut tertawa bersamanya atas dasar tema umum para suami yang butuh dimaklumi bahwa istri di mana pun susah diajak mengerti. Tentu saja aku tidak tertawa karena tema umum itu tidak berlaku bagiku. Lagi pula, cara berpikir orang sulit untuk otentik, kebanyakan dikonstruksi oleh nilai kolektif. Dan setahu aku, istri teman kita itu bukan perempuan yang bawel apalagi galak dan serba mengatur.
“Kalau begitu kamu bisa memanfaatkan halaman rumah kosong depan rumahmu itu. Bukankah kamu pernah menyimpan kandang ayam juga di halaman rumah kosong itu?”
“Ah, daripada bertengkar dengan istri, sebaiknya aku sudahi sajalah. Lupakan hidroponik itu! Kita bicara yang lain saja lagi!”
“Istrimu tak suka kamu bertanam hidroponik? Itu tidak mungkin. Perempuan secara umum suka tanaman, tapi tidak semua suka ayam memang.”
“Dia tak suka aku punya ayam bangkok. Dia pasti tak suka pula aku mengganti kesibukan di halaman kosong itu dari ayam ke hidroponik.”
Ya, begitulah ia berkeras hati, dan aku tak bisa memberi saran lagi. Aku bisa mengerti bahwa orang yang sudah kehilangan semangat pada dasarnya akan terus kehilangan semangat. Itu seperti bagian dari hukum Newton saja (benda yang bergerak akan terus bergerak, dan yang diam akan terus diam, dan besaran aksi sama dengan besaran reaksi). Lagi pula, tidak bisa analogi ayam bangkok itu berlaku bagi hidroponik, kecuali alasan istrinya adalah “Jangan lakukan apa pun di halaman rumah orang sekosong apa pun halaman rumah orang itu”.
Lama berselang dari kegagalannya mengurus ayam bangkok dan bertanam hidroponiknya, teman kita itu datang lagi beberapa bulan kemudian dengan cerita-cerita kemajuannya di bidang jurnalisme digital dan hal ini tidak kita ragukan karena memang itu pekerjaan utamanya. Akan tetapi aku mendapatkan obsesi barunya lagi yang tidak kusangka-sangka! Ia tak henti-hentinya membicarakan Zippo di antara tema-tema yang lain. Zippo adalah merek dagang ternama Amerika untuk pemantik api. Benda ini tidak berbahan bakar gas, tetapi minyak yang disuntikkan di tabung kotak berisi kapas dan dari arah kapas ini ada sumbu yang ditarik ke tungku penggerek batu pemantik sehingga sangat berbahaya bagi anak-anak karena kalau jatuh dari tangan pada saat sedang menyala, sumbu di tungku ini masih akan menyalakan api. Cara api Zippo dimatikan adalah dengan tiupan orang dewasa atau ditutup langsung dengan penutup tungkunya sendiri. Anak-anak akan ketakutan melakukan keduanya. Berbagai film Amerika dibintangi oleh aktor-aktor dengan pemantik Zippo. Dalam beberapa aksi laga sejumlah aktor dapat melemparkan Zippo yang sedang menyala ke arah tertentu dan sanggup menyalakan titik lemparnya itu. Sebuah pom bensin, sebuah kendaraan, sebuah rumah, dapat meledak gara-gara Zippo. Selain ada iklan di dalam film, adegan macam itu juga memberi informasi tentang bahaya Zippo.
“Hati-hatilah dengan semua barangmu itu, kau punya anak kecil yang sedang senang-senangnya mencoba ini dan itu!” saranku dan ia menyadarinya.
Beberapa hari yang lalu aku bertemu teman kita itu dan dia memberiku satu produk Zippo. Betapa senangnya aku mendapatkan benda yang jarang orang miliki itu, bentuknya sangat mini dan mengingatkan aku pada pemantik api buatan lokal yang dulu sering dipakai para kakek di kampung-kampung. Aku pun tidak berkata banyak kepada dia soal bisnis Zipponya itu, sebab dia tidak akan gagal untuk kali ini, karena dia perokok dan akan sering berkumpul dengan para perokok pula. Sebagai jurnalis, ia tentu biasa mengobrol dengan para pejabat, jaksa, hakim, polisi, tentara, camat, ustaz, kiai, dosen, para wartawan kenalannya, bupati, wali kota, gubernur, orang-orang di sekitar gubernur, orang-orang di sekitar kiai, orang-orang di sekitar bupati, yang sebagian besar di antaranya adalah para perokok. Kelebihan barang-barang ternama juga karena narasinya dan jurnalis sudah biasa bekerja di atas bangun narasi. Dia bisa menjual kapan pun Zippo-Zipponya itu kepada mereka dengan harga setinggi narasinya. Zippo dengan modal tiga ratus ribu, misalnya, bisa dia jual dengan narasi dua juta empat ratus. Kalau orang menawar “Dua juta saja biar pas!”, tentu saja dia bisa berikan karena untungnya masih satu juta tujuh ratus ribu!
“Kau tak rugi memberiku satu ini?” godaku ketika menerima hadiah Zippo itu dan terbaca bandrolnya tiga ratus dua puluh ribu.
“Masih ada dua puluh barang lagi, aneka jenis, aneka aliran, aneka bahan!”
Ketika dia bilang dari dua puluh Zippo yang tersisa di rumahnya itu yang paling murah adalah empat ratus ribuan, dan paling mahal tiga jutaan, maka terbayanglah olehku bahwa ia sudah menjalankan bisnisnya dengan baik, bukan sekadar hobi atau obsesi lagi. Sebagai seorang yang bukan ahli bisnis, aku hanya bisa menduga bahwa bisnis yang baik tentu masih berkaitan dengan bidang pekerjaan utama jika pebisnis itu punya pekerjaan. Dosen misalnya, sebaiknya bisnis di bidang tulis-menulis (editor, pengarang, penerjemah, penulis esai untuk media) karena tulis-menulis memang bidang mereka sehari-hari. Setiap perokok yang punya banyak kawan pada dasarnya bisa jualan rokok, tembakau, cengkeh, wadah rokok, korek, pemantik aneka jenis macam Zippo itu, asbak, dan hal-hal lain seputar rokok. Di wilayah gelap pun demikian: penjudi biasanya berbisnis minuman keras, pemabuk berbisnis ganja, tukang bacok berbisnis senjata tajam, dukun berbisnis jenglot, dan tukang becak di kawasan mesum biasa menawarkan jalan alternatif ke panti pijat terdekat. Dunia akan kacau jika dosen berbisnis ganja, pemabuk berbisnis kitab suci, jurnalis berbisnis kursi kosong pejabat di kampus ternama, rektor berbisnis tanah dengan calo-calo tanah di kampusnya, kiai berbisnis jual beli jabatan, mahasiswa berbisnis barang-barang santet, dan seterusnya. Bukan maksudku mengatakan sebaiknya orang bejat berbisnis barang-barang bejat pula karena sebaik-baiknya bisnis adalah berbisnis hal-hal yang baik, tetapi hakikat bisnis adalah “kepatutan” dan itulah investasi dasar bagi setiap bisnis. Si jurnalis teman kita itu selain senang bertamu juga senang mengobrol, dan umumnya teman-teman kita dan temannya teman-teman kita memang para perokok. Dan umumnya, teman-teman kita dan temannya teman-teman kita suka dengan pemantik api buat menyalakan rokok mereka, terlebih pemantik itu bermerek Zippo. Yang punya uang akan tertarik membeli Zippo, dan yang tidak sedang punya uang paling tidak mulai pinjam sebentar untuk merasa-rasakan benda itu di tangan, atau mulai dengar-dengar cerita tentang bedanya Zippo satu dengan Zippo lain dan kapan waktu membeli juga meski yang palsu. Sedikit saja dari kita yang suka mengobrol dan merokok yang suka ayam bangkok dan bercocok tanam secara hidroponik apalagi jika leluhur kita ternyata adalah para pelaut yang lebih tahu ikan dan ombaknya, angin dan badainya. []
- Kalung Sampai Mati - 1 April 2022
- Teman Kita yang Paling Kaya dan Kesepian - 15 October 2021
- Teman Kita yang Berdarah Pelaut - 11 June 2021
Rml
Cerita yang datar saja. Tidak memberi kejutan sama sekali. Sangat biasa.
Admin
siap!
Eka Ugi Sutikno
Ini cerita cukup filosofis! Membuat saya tidak berhenti tertawa. Mungkin sebaiknya anekdot yang seperti ini harusnya Indonesia miliki terus.
Muhamad Yani
Untuk mengirim tulisan seperti ini apakah dengan gambar thumbnillenya sekaligus atau cukup tulisannya saja?
Admin
tulisan saja, kak.
tuti
sy sdh kirim. Terimakasih
Agustina Pane
Ada point yang keren untukku ditulisan ini. Good
Abdul aziz
Kak apakah saya juga bisa membuat cerpen atau lainnya dan di upload disini?
Galuh
Tulisan ini kerenn, terima kasih sudah menulis
Kata keadaan
Saya paham, tapi saya takut salah paham atas pemahaman saya tentang tulisan ini. Tulisannya bukan sembarang tulisan, yg maknanya tidak bisa dilihat dari sebaris bacaan ke baris yang lain. Intinya luar biasa pak!👍