![](https://basabasi.co/wp-content/uploads/2021/06/tajalli-11-juni-2021-1024x727.png)
Beliau adalah Ahmad bin Wahab Abu Ja’far ash-Shufi. Berasal dari Bashrah. Bersahabat dengan Syaikh Abu Hatim al-‘Aththar. Beliau adalah guru rohani bagi Syaikh Abu Ya’qub az-Zayyat. Wafat pada tahun 270 Hijriah.
Dalam kurun waktu yang sangat lama, beliau tinggal dan beriktikaf di Masjid Soneez yang di kemudian hari masjid itu berdekatan dengan kuburan Syaikh Junaid al-Baghdadi, dengan sepenuhnya tawakal kepada Allah Ta’ala. Tanpa ikhtiar atau kasab apa pun untuk keberlangsungan hidupnya.
Hal itu tentu sangat menarik untuk kita renungkan dan selami. Bukan agar sah menjadi legitimasi bagi kemalasan kita. Tidak. Bahkan sama sekali tidak. Tapi bagaimana setidaknya kita bisa merasakan adanya lompatan kebersandaran secara langsung kepada Allah Ta’ala.
Dengan berlangsungnya lompatan tersebut, ada satu hal yang jelas-jelas dilampaui. Yaitu, adanya ikhtiar atau bekerja sebagai sarana yang konkret untuk mendapatkan atau mendatangkan rezeki. Apakah dengan hal itu berarti sang sufi menyalahi ketentuan tawakal?
Kalau ditilik dari umumnya tawakal yang lazim diterapkan oleh umat Islam, tentu apa yang telah dilakukan oleh Syaikh Abu Ja’far ash-Shufi itu tidak lain merupakan sebentuk kekeliruan. Akan tetapi ketika diteropong dengan paradigma esoterik, hal itu bisa disebut sebagai kemajuan substansial di dalam menerapkan konsepsi tawakal.
Bukankah di dalam memberikan rezeki kepada segenap makhluk, Allah Ta’ala itu sama sekali tidak bergantung kepada kerja atau ikhtiar? Bukankah ikhtiar atau kerja itu merupakan satu hal, sementara rezeki merupakan hal yang lain? Bukankah di antara keduanya secara hakiki bukan merupakan satu rangkaian sebab-akibat?
Hanya secara lahiriah tampaknya di antara keduanya merupakan satu-kesatuan di dalam bingkai kausalitas. Padahal keduanya merupakan entitas yang berbeda. Keduanya sama-sama merupakan karunia Allah Ta’ala. Yang satu masih “mentah.” Yang satunya lagi sudah “matang.” Yang satu adalah pancing. Yang satunya lagi adalah ikan.
Tentu sang sufi sudah sangat makrifat bahwa yang berada di balik keduanya itu tidak lain adalah Allah Ta’ala. Dan keduanya itu semata merupakan perantara. Sama sekali bukanlah merupakan tujuan. Itulah sebabnya sang sufi sedemikian cepat bergegas melampaui keduanya. Bahkan melampaui seluruh alam ciptaan dengan sepenuhnya bersandar kepada hadiratNya semata.
Terhadap seorang sufi seperti itu, janganlah sekali-kali kita gegabah dan sembrono dengan menumbuhkan prasangka buruk bahwa beliau senantiasa beriktikaf di masjid selama bertahun-tahun sembari mengharapkan uluran tangan-tangan makhluk.
Ketahuilah bahwa seorang sufi agung seperti itu tidak saja telah berputus asa terhadap makhluk-makhluk. Tapi jauh telah melampaui hal tersebut. Yaitu, beliau telah menyaksikan jibunan makhluk-makhluk itu tak lebih hanya sebagai timbunan-timbunan kekosongan, tak lebih hanya merupakan tumpukan-tumpukan ketiadaan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024