Kalung Sampai Mati

—cerita untuk sahabatku Panji Sakti—

Rasanya baru kemarin semua ini terjadi, bahkan kadang serasa baru beberapa detik berlalu. Aroma darah di rumah Hortakh, kematian Getorz, caraku menghukum kedua guruku Hryeke dan Med, bahkan detik-detik kematian ayahku pun masih sangat jelas di depan mata.

Mereka yang sudah mati dapat melupakan aku, tapi aku tidak dapat melupakan mereka. Kehidupan orang-orang mati ditanggung oleh yang masih hidup.

***

Tinggi tubuhku sudah hampir sedada ayahku waktu itu, tapi aku masih terbilang bocah ingusan. Apa yang bisa kukerjakan tak lebih dari meniru ketekunan ibuku dan meniru kegagahan ayahku. Kemampuan membacaku memang sangat terlambat, tapi aku tak kenal menyerah untuk terus belajar.

Dan suatu hari mereka bertengkar.

Itu bukan pertengkaran kali pertama sebenarnya.

Yang jelas hari itu ayahku sudah sangat keterlaluan, meraung-raung kasar, dan dengan gagahnya ia menampar ibuku tepat ketika aku baru bisa membaca sebuah kalimat panjang Adam dan Eve menuruti godaan Iblis dan Tuhan murka hingga mengusir mereka dari Sorga… di sebuah buku bergambar-gambar lukisan taman indah.

Tak jadi kubacakan hingga nyaring kalimat itu untuk pamer kepada mereka karena suara ayahku sudah seperti macan lapar nan buas. Ibuku terjengkang hingga jatuh bertumpu kedua lututnya akibat tamparan itu.

Melihatku berlari dan memeluknya, ayahku segera berlalu ke garasi dan menyalakan mobil. Tak berani ia menatap mataku saat itu, semoga saja karena ia merasa malu dan merasa bersalah di detik-detik terakhir hidupnya itu.

Ya, itulah detik-detik terakhirnya!

Aku melirik ke arah punggungnya yang kokoh bagai bukit-bukit batu, tak sebanding dengan punggung istrinya yang lemah bagai sehelai daun.

Ibuku tak mungkin bisa membalas tamparan itu dengan sepadan. Tangannya bisa patah, mungkin remuk, jika melakukan pembalasan.

Tanpa sadar aku terus mengamati gerak-gerik ayahku dari arah ruang tengah, menghitung seberapa kuat ia. Saat ia naik satu tahap ke rak garasi, aku menyelinap masuk ke mobil dan menabraknya.

Tidak hanya tertabrak, kepalanya juga tertimpa senapan yang baru ia raih di rak, disusul dengan tindihan rak besar itu. Benda-benda berat yang oleng dan berjatuhan sebagian menimpa tubuhnya satu demi satu. Ia sempat meronta dan memutar kepala melihatku seakan sanggup menerobos kaca mobil dengan kedua tangannya yang perkasa itu, tapi aku terus menginjak gas untuk menimpali raungan suaranya yang mengerikan.

Dan sepilah dunia, sesepi Sorga sebelum manusia diciptakan. Ia berhenti meraung, dan mobil dimatikan ibuku.

Ya, semua itu seakan baru saja terjadi.

Ibuku melaporkan kejadian itu, suaminya dibunuh seorang tak dikenal yang mungkin bermaksud mencuri mobilnya, suaminya melawan dengan senapan dan pencuri itu menabraknya sebelum melarikan diri.

“Kamu tidak bermaksud membunuh ayahmu, Koth, tidak, tidak. Hidup dan mati benar-benar ketentuan Tuhan, apa pun perantaranya. Kamu harus tumbuh tanpa harus merasa berdosa.” Kata ibuku beberapa saat setelah aku ditariknya dari mobil. Di pelukannya aku menangis.

Seingatku itulah pertama dan terakhir kalinya ibuku menyebut kata “Tuhan”. Ia lebih percaya bahwa hidup ini ditentukan oleh hukum-hukum alam.

“Tadi kamu memeluk ibu karena ibu menangis. Sekarang ibu yang memeluk kamu. Kita gantian menangis, ya, gantian memeluk. Kangen juga ibu sama tangisanmu saat masih bayi. Dan sekarang kamu sudah sebesar ini!” Ia menghiburku dan menyeka air mataku. Ia mengalihkan kesedihan atas kematian suaminya pada anaknya yang sudah setinggi tubuhnya.

Tidak lama berselang polisi-polisi datang. Aku juga ditanya ini-itu oleh mereka. Sangat menyebalkan.

***

Beberapa hari setelah ayahku dikuburkan secara militer, ibuku membeli rumah tua di sisi hutan Hebba. Kami pindah ke sana. Tak lama kemudian rumah lama terjual dan ibu merenovasi rumah tua itu dan membangun laboratorium yang lebih baik dari yang semula ia miliki, juga membeli banyak buku untuk kubaca.

Aku mengerti, kami harus menjaga jarak dari trauma kematian itu, dan menyibukkan diri adalah cara terbaik. Dan ternyata aku memang sangat betah, hutan yang biasanya tampak di buku-buku bergambar kini hanya beberapa puluh meter di belakang rumah kami.

Seminggu dua kali ibuku akan pergi menemui pimpinannya atau teman-teman peneliti lainnya. Pernah pula beberapa temannya itu datang ke rumah.

Di antara temannya itu ada yang bernama Hryeke, paling muda dari yang lain, belum berkeluarga, dan kadang ia menginap di rumah. Ibuku memperlakukan dia seperti memperlakukan adiknya sendiri. Hryeke-lah yang kemudian menawarkan diri jadi guruku, dan ibuku setuju dan membayarnya untuk hal itu. Dia pula yang beberapa kali membawaku ke kota untuk mengikuti ujian demi ujian sehingga aku bisa setara dengan anak-anak lain yang sekolah formal. Tapi entah mengapa aku tak pernah teramat suka kepadanya.

Di kota, Hryeke sering digoda oleh pria-pria dewasa dan tak pernah ia marah, bahkan sering meladeni godaan-godaan itu. Tapi tak seorang pun ia pilih jadi pacar atau suami, dan tanpa diduga dia pernah sekonyong-konyong bilang hanya inginkan pacar yang bisa mengalahkannya bermain catur.

“Catur?” agak terkejut aku waktu itu.

“Dulu!” dengan agak terkejut juga ia menjawab dan segera mengalihkan pada pembicaraan lain.

Mungkin karena ia selalu menunjukkan sikap yang agak terbata-bata maka aku selalu ogah bicara panjang lebar dengan dia.

***

Di usia sembilan belas, dan sudah memiliki surat izin berkendara, aku mulai sering mengantar ibuku ke beberapa urusan dan menjemputnya pada waktu yang sudah ia tentukan. Kadang satu minggu ia meninggalkan rumah karena harus mengambil serangkaian data dari proses-proses tertentu di laboratorium lembaganya. Pada saat itulah aku selalu punya kesempatan untuk memuaskan diri jika Hryeke tidak datang untuk mengajariku.

Aku akan masuk hutan, naik ke pohon dan menyeberangi pohon lainnya, melompati batu-batu sungai, bergulingan di celah lembah seakan-akan aku ini Huax si Manusia Hutan! Sudah kubilang tadi, kemampuan membacaku sangat terlambat sehingga baru bisa menikmati komik seri Huax di saat sudah besar. Jiwa kanak-kanakku belum benar-benar hilang.

Tidak hanya bertualang di hutan, aku juga biasa menandai mobil-mobil dan motor-motor berisik dan ugal-ugalan yang melintasi atau memasuki hutan, mengamati satu demi satu kendaraan pengganggu ketenangan hutan dengan teropong senapan. Dan setelah keadaan memungkinkan aku akan menunggu mereka kembali di hari lain atau di hari yang sama dan mematikan suara-suara neraka itu dengan caraku sendiri.

Semua kecelakaan yang menimpa mereka kuatur sedemikian rupa sehingga tampak seakan sebagai sebuah kecelakaan wajar. Biasanya aku menggelindingkan kayu besar atau batu besar hingga mobil sasaran terjungkir atau terperosok. Beberapa motor terguling dan masuk dalam lobang jebakan.

Sampai saat itu aku memang masih membenci suara-suara berisik yang dapat mengingatkanku pada keras dan kasarnya suara ayahku.

***

Dan semua ini benar-benar masih terekam di depan mata, seakan baru saja terjadi:

Di satu hari, sebuah mobil mewah memasuki hutan, betapa lembut, hampir tak bersuara, bahkan sangat hati-hati saat melindas ranting yang jatuh di jalan aspal. Aku memujinya sangat! Mesti seperti itu kalau mau masuk hutan: tenang dan damai.

Mobil itu berbelok pelan ke kawasan perkemahan, sepelan angin sepoi, dan aku mengambil jalan pintas menuju ke arah mereka. Dengan teropong dapat kulihat mereka turun dari mobil itu dan saling mencium dan berputar-putar dan berguling-gulingan di atas hamparan rumput. Mungkin karena mereka amat bahagia bisa sampai ke tujuan.

Yang laki-laki kemudian berdiri dan mengangkat yang perempuan, lalu dikeluarkannya sebuah kalung dan yang perempuan tampak terkejut penuh haru. Ia memasangkan kalung itu ke leher kekasihnya itu dengan sangat hati-hati. Setelah itu mereka berpelukan lagi.

Boleh dibilang itulah kali pertama aku jatuh cinta pada pasangan manusia yang dengannya juga bisa melupakan ayahku.

Ketika mereka saling membuka baju dan celana dan turun ke sungai, aku pun berjalan makin dekat dan dapat melihat mereka benar-benar dalam cinta yang sempurna. Yang satu menyerahkan diri pada yang lainnya, yang lainnya menjamin yang satunya aman dan bahagia di tangannya.

Aku tak pernah melihat adegan-adegan macam itu di rumahku sendiri, atau di buku-buku cerita bergambar. Mengapa kedua orang tuaku menikah jika mereka tidak dapat bermesra-mesraan?

Begitulah aku melamunkan kedua orang tuaku hingga lengah dan hampir tak melihat seekor ular seukuran betisku yang bersiap mematuk pasangan itu.

Mereka sedang saling membasahi dan ular itu mengayunkan badannya dari atas pohon sambil membuka mulutnya lebar-lebar.

Mereka pun berteriak-teriak dan saling melindungi dan menjadi sangat panik hingga yang perempuan terjatuh dan hampir tertimpa yang laki-laki.

Tanpa banyak pikir segera saja kutembak ular itu hingga ia tersentak dan perlahan jatuh ke sungai.

“Iblis kau!” kataku teringat sosok Iblis dalam buku bergambar tentang Adam dan Eve.

Menyadari ada suara senapan dan suara manusia, mereka segera sembunyi di balik batu.

Aku sangat senang melihat cara mereka ketakutan, berlarian sambil telanjang seperti bocah-bocah belum punya rasa malu! Bahwa aku masih berjiwa kanak-kanak iya, tapi jiwa kanak-kanak ini tidak berisi rasa takut dan tak pernah pula aku telanjang di hutan macam mereka!

Dan akhirnya tawa kerasku benar-benar meledak. Tak pernah aku tertawa sekeras itu!

“Lekas kalian naik!” Kujulurkan tangan pada mereka. “Ular itu hanya kulukai, dan dia tidak bermaksud jahat, dia hanya merasa terusik!”

Sambil mengulurkan tangan, yang laki-laki memperkenalkan namanya Getorz dan yang perempuan Hortakh.

Aku bertanya banyak tentang siapa mereka, karena aku ingin benar-benar tahu. Ada rasa senang yang luar biasa dapat mengenal manusia lain selain ibuku dan teman-temannya, atau ayahku dan sahabat-sahabatnya.

Ternyata mereka kuliah di kampus yang berbeda. Sejak sekolah menengah mereka pacaran tapi ayahnya Hortakh melarang dia kuliah di kampus yang sama dengan Getorz. Kini mereka sudah hampir lulus dan sang ayah masih menghalang-halangi cinta mereka. Umur mereka lima tahunan di atasku.

“Koth,” tiba-tiba Hortakh bertanya dengan nada malu-malu saat kami berkumpul di sekitar api unggun yang baru kami nyalakan karena langit mulai gelap, tapi beberapa saat kemudian dia bisa mengatasi rasa malunya itu. “Apakah kamu melihat kami bercinta? Mengintip?”

“Tentu saja!” jawabku dengan polos, “dan aku juga melihat saat kalung itu dipasangkan.” Kutunjuk kalung berbandul batu berkilau di lehernya itu. “Kalung yang indah!”

“Akan kubawa kalung ini sampai mati, Koth!” Jari-jarinya menyelusuri kalung itu dan ia mengecup Getorz yang balas mengecupnya.

Makin malam hubungan kami makin dekat saja hingga mereka bertanya apakah aku punya kekasih atau tidak. Mereka menertawakanku dengan penuh kehangatan karena aku bilang belum pernah punya.

Aku menyarankan mereka untuk tidak memasang tenda dan tidur di rumah kami saja.

“Angin sangat kencang, dan banyak binatang buas berlaku kasar sekarang karena suara-suara peluru di hutan perbatasan.”

***

Kucari dompet Hortakh dan dapat menemukan alamat rumahnya ketika mereka terlelap tidur di kamar yang kusediakan. Aku mencatatnya dan berencana menyerang ayahnya atas nama cinta yang tak boleh dilarang siapa pun.

“Bukan sekadar menyerang, kalau perlu kubunuh dia!” Demikian batinku berjanji untuk menjaga cinta mereka.

Besok paginya mereka bersiap pulang. Getorz sangat khawatir Hortakh akan disiksa ayahnya bila ketahuan pergi bersamanya.

“Hari ini ayahnya pulang dengan pesawat. Dia harus sudah ada di rumah sebelum ayahnya tiba.” Getorz menjelaskan situasi sulit Hortakh untuk meminta maaf karena harus buru-buru pergi tanpa menunggu kedatangan ibuku.

Mereka berjanji akan mengunjungiku lagi di waktu lain dan akan berkenalan dengan ibuku.

Mereka sempat memeluk dan menciumku sebelum berlalu, dan tanpa diduga air mataku berlinang seperti anak manja ditinggal pergi kakak-kakaknya.

***

Sampai kami pindah rumah, petugas-petugas dari kepolisian dan ketentaraan itu masih sering datang ke rumah kami, kadang di waktu bersamaan, dan tidak jarang mereka saling ejek dan bertengkar rebutan kasus ini hingga aku akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya.

“Koth!” Ibuku menangis saat aku dibawa polisi tapi ia segera menyadari tujuanku: aku tak mau kehidupan barunya diganggu oleh berisiknya suara para petugas.

Beberapa hari aku mendekap di tahanan sementara kepolisian sebelum dijemput para petugas dinas ketentaraan. Alasan mereka akhirnya dapat diterima, bahwa aku masih bagian dari keluarga Angkatan Darat dan undang-undang mengatur hal itu.

Tinggal satu tahun aku di Asrama Pembinaan Angkatan Darat/APAD itu dan diajari olahraga, membaca, baris-berbaris, bela diri, menembak, juga agama. Salah satu instrukturku bernama Med, mengaku sahabat ayahku dan mereka pernah ditugaskan di hutan perbatasan.

“Jangan sungkan, anggap saja aku ayahmu,” demikian Med suatu hari berkata. “Aku dan ayahmu sangat dekat dan kami punya kegemaran yang sama, berburu rusa!”

Med lupa bahwa aku sangat membenci ayahku sendiri, dan itu sebabnya aku membunuhnya, dan itu sebabnya aku mencelakakan para pemburu berkendara ugal-ugalan yang mengganggu kedamaian Hebba!

Selain ibuku, Hryeke pun diperbolehkan datang ke asrama untuk membesuk dan mengajariku, dan beberapa kali aku harus mengikuti ujian lagi di kota dengan pengawalan satu orang petugas. Hryeke sangat akrab dengan beberapa instruktur, termasuk Med. Ia gadis tua yang sangat supel dan luwes, tapi aku tetap kurang suka. Aku selalu memandang semua gayanya itu dipenuhi kepalsuan.

Setelah bebas, aku dapat pulang ke rumah dan menghabiskan waktu lagi dalam hutan, membaca hutan dengan mengalaminya, bertempur dengan harimau dan terluka, bergulat dengan beruang dan terkoyak, melumpuhkan buaya di rawa-rawa, dan kadang pergi ke kota untuk “membina” siapa saja yang kurasa harus dibina. Beberapa kelompok begal di kota kuhabisi dengan tangan kosong.

Hingga saat itu aku memang masih berjiwa kanak-kanak dan masih juga membaca komik Huax yang memberiku tuntunan untuk menjalani hidup agak liar dan membenci kejahatan.

Lalu tibalah saatnya aku mendapatkan Beasiswa Keluarga Angkatan Darat dan dapat belajar di Akademi satu tahun pada bagian pemeliharaan persenjataan tempur udara. Pulang dari Akademi, aku pun kembali ke hutan dan bertemu pasangan Getorz dan Hortakh itu.

Ya, semua itu rasanya baru terjadi kemarin saja.

***

Suatu hari Hortakh pun datang ke rumah dalam keadaan hamil dan Getorz meminta kami untuk menyembunyikannya.

“Jangan sampai orang lain tahu, hanya kita!” Getorz memohon, “Ayahnya punya orang-orang suruhan yang bisa menjemput paksa Hortakh. Aku tahu ia bisa sangat kejam, dan Hortakh pernah disiksa hingga terluka parah.”

Keadaan Hortakh sendiri waktu itu sangat mengkhawatirkan, kerap mual dan tak bisa makan atau minum sedikit pun. Kalau pun ada yang bisa ditelannya, ia akan memuntahkannya beberapa detik kemudian. Tapi ibuku terus saja mengusahakan ada makanan yang bisa ia telan.

Sementara itu aku sudah mendapatkan panggilan lagi dari Akademi untuk melanjutkan pendidikan. Sialan!

“Pergilah, Koth, kami bisa menjaga Hortakh tetap aman di rumah! Negara sangat butuh angkatan muda terlatih.” Ibuku meyakinkanku.

Akhirnya aku memenuhi panggilan, tapi kerap meminta izin untuk pulang dengan alasan ibuku sakit. Lembaga tahu bahwa ibuku tinggal sendirian dan bisa memaklumi keadaan kami. Beberapa kali aku terkena sangsi karena pulang ke Akademi terlambat.

Kesal dengan hukuman-hukuman itu, kurakitlah beberapa alat peledak dan menghancurkan sebagian bangunan kosong di satu malam hingga untuk beberapa minggu semua siswa dirumahkan dan hanya datang jika mendapat panggilan pemeriksaan saksi kejadian ledakan. Memang itu yang aku mau, aku ingin memastikan Hortakh dan benih bayi di kandungannya selamat di rumah kami dan tak ada orang lain datang memaksanya pulang.

Di koran-koran ledakan itu dikabarkan karena musuh mulai mengirim pasukan sabotase dan perang akan memasuki desa-desa dan kota. Mungkin pihak Akademi mengarang penjelasan kepada para wartawan agar mereka tidak dipandang ceroboh atau lalai.

Dan rupanya aku lengah memperhatikan gerak-gerik Hryeke! Bagaimana pun dia bukan keluarga kami, dan dia memang berlaku biasa saja setiap datang ke rumah sehingga tak ada alasan kami menyembunyikan Hortakh darinya, hingga di saat kehamilannya hampir sembilan bulan, di satu perjalanan ke kota untuk membeli obat-obatan, Getorz dirampok dan ditemukan mati di samping mesin ATM dekat apotek.

“Kenapa aku tidak ikut dia, kenapa aku tidak mati bersama dia!” Hortakh menjerit hebat mendengar kabar kematian itu. Ia hampir mencakar mukanya sendiri kalau tangannya tak segera menyentuh kalung hadiah itu. Ia meremas-remas kalungnya seakan Getorz baru saja memasangkannya.

Benar-benar aku pun marah. Sangat marah. Siapa orang yang berani melakukan hal ini?

Saat itulah aku mulai curiga kepada Hryeke, tapi tak aku bicarakan dengan ibuku. Maka ketika Akademi memanggilku lagi, aku tidak mau berangkat meski ibuku meyakinkan Hortakh akan aman bersamanya.

“Tidak, aku tak akan tinggalkan rumah! Aku yakin itu bukan perampokan, tapi pembunuhan terencana!” kataku. “Bukan tidak mungkin besok lusa orang-orang suruhan itu akan menculik dan membunuh Hortakh, juga mungkin kita!”

Keadaan Hortakh makin lemah, ia mengalami depresi yang serius, sering melamun, tak mau bicara kecuali dengan kalungnya yang selalu ia remas-remas, dan lalu ia hilang dari rumah kami di satu siang ketika ia berjalan ke halaman belakang dan kami lengah.

Hryeke saat itu ada di laboratorium bersama ibuku dan aku sedang di kamar mandi.

Berbekal alamat yang sempat kucatat, kucari rumah Hortakh tanpa memberi tahu ibuku. Benar-benar salah, seharusnya aku mencari Hortakh ke hutan!

Pikiran itu ada, tapi aku merasa yakin Hortakh ada di rumahnya dan sedang disekap ayahnya sendiri.

Di perjalanan, hari sudah gelap, aku melihat seseorang yang gerak-geriknya kukenali tapi dengan cepat orang ini masuk ke lorong bawah jalan yang menghubungkan kawasan satu ke kawasan di seberangnya. Aku berjalan mengikuti orang itu dan melihatnya berhenti di dekat lubang keluar. Tiba-tiba seorang perempuan datang ke arahnya, dan orang itu adalah Hryeke!

“Bedebah!” batinku.

Kecurigaanku pada gadis tua itu benar. “Ini pasti ada kaitannya dengan kematian Getorz dan hilangnya Hortakh!” Aku terus menggerutu.

Saat orang tadi balik arah, aku segera masuk ke lubang got dan membetot kaki orang itu hingga terjerembab separuh badannya dan kutendang kemaluan serta ulu hatinya dari dalam dan mendorongnya keluar dari lubang setelah memastikan ia tak sadarkan diri.

Orang itu adalah Med!

“Iblis!” hampir kubunuh dia saat itu, tapi jiwa kanak-kanakku mulai hilang ternyata. Kutinggalkan dia di lorong setelah menggeledah segala yang bisa kuperiksa.

Di ponselnya aku tidak menemukan satu pun pesan atau jejak telepon. Dia sudah menghapusnya! Di dompetnya tidak kutemukan hal-hal mencurigakan.

Tanpa banyak berpikir malam itu juga kuteruskan perjalanan ke alamat Hortakh dan berhasil menyelinap masuk ke rumah mewah itu melalui jendela lantai dua. Beberapa penjaga sedang asik mengobrol di tepi kolam renang.

Di dalam rumah tak ada orang, tapi aku dapat mencium bau amis darah di satu kamar. Itulah kamar Hortakh! Ada beberapa foto dia saat masih pelajar: rupanya dia beberapa kali pernah mengikuti liga catur dan juara.

Foto-foto inilah yang menghubungkan aku kepada Hryeke, dia pernah sekali waktu bercerita bahwa di masa dia mahasiswa dia tak pernah terkalahkan dalam liga catur kecuali oleh seorang pelajar yang membuatnya merasa terhina.

“Bukan sekadar kalah, tapi caraku dikalahkan sangat menyesakkan dada. Rajaku dijebol dari rokade dan harus mati di tangan pion! Tapi itu sekadar ilustrasi, Koth,” katanya waktu itu, “bahwa kepintaran tidak ada hubungannya dengan usia. Kamu juga bisa jadi anak pintar dan mengalahkan mereka yang sudah dewasa.”

Tiba-tiba aku berpikir bahwa Hryeke memendam dendam kepada Hortakh, tapi setelah diingat-ingat aku tak pernah melihat Hortakh mengenali Hryeke saat pertama mereka berkenalan, demikian juga sebaliknya.

***

Beberapa waktu berselang ibuku kedatangan tamu, mereka mengobrol di laboratorium. Aku dapat menguping siapa yang sedang berbicara dengan ibuku, dialah Hryeke.

“Lama benar kamu tak datang!” kata ibuku. “Hampir tiga minggu!”

“Hanya dua minggu. Orang tuaku sakit dan aku harus mengurusnya!” jawab Hryeke.

“Oh, semoga…”

Aku kira itu semua dusta. Dia menghilang beberapa minggu untuk menghindarkan diri dari kecurigaan orang lain atas hilangnya Hortakh setelah kematian Getorz. Tapi aku tidak yakin motif dari semua itu disebabkan kalah catur di masa lalu.

Aku pun pamit kepada ibuku, berkata di balik pintu laboratorium, bilang bahwa aku ada urusan. Ibuku hanya membalas dengan suara tanpa membuka pintu.

Kutinggalkan rumah dan kuparkir mobilku di sebuah semak, menunggu mobil gadis tua itu pulang dari rumah kami. Analisisku mengatakan hal ini: ayahnya Hortakh membayar Med untuk mencari dan menangkap Hortakh, dan Med membayar Hryeke karena sudah memberi tahu di mana Hortakh berada. Pertemuan mereka di lorong itu mungkin pertemuan urusan uang bayaran, karena kulihat Med memberikan sebuah bungkusan kepada Hryeke.

Aku pun berhasil menghentikan laju mobil Hryeke di sebuah tikungan. Dia menabrak kayu yang kugulingkan dan dia hampir pingsan.

“Aku hanya ingin bukti bahwa kamulah dalang dari kematian Getorz dan hilangnya Hortakh!”

Dia tidak mau mengaku.

“Iblis betina! Aku tahu kamu dan Med bekerja sama!”

Dia pura-pura tidak mengenal Med. Dan kukatakan bahwa aku membuntuti Med di satu malam dan mereka bertemu di sebuah lorong.

“Oh, maksudmu Med yang adalah instrukturmu di APAD? Aku hanya kenal waktu itu,” ucapnya makin membuatku kesal.

Cukuplah kebohongan dia itu untuk memukulnya hingga pingsan, lalu kudorong mobilnya hingga jatuh berkeping-keping ke jurang. Hanya ponselnya yang kuselamatkan dan dapat kutemukan nomor Med dan kuhubungi dia dengan pesan singkat.

“Ada sesuatu yang harus dibicarakan. Kita harus bertemu.” Demikian pesan itu kutulis, tentu Med menyangka itu kata-kata Hryeke.

Menemukan mobil Med terparkir di tempat yang ia sebutkan, aku berguling dan masuk melalui pintu belakang dan dengan segera mencekiknya, menghantam beberapa kali tengkuknya, dan merampas pistol di pinggangnya.

“Di mana Hortakh kamu sembunyikan? Dan mengapa kamu membunuh Getorz?” Kutodongkan pistol itu ke lehernya yang berdenyutan.

Dengan tenangnya, bahkan dengan senyum yang hangat, dia bilang dia dibayar ayahnya Hortakh untuk menghabisi Getorz dan menculik Hortakh. Ayah Hortakh tidak mau kehormatan keluarganya hancur gara-gara anaknya hamil tanpa pernikahan.

“Di mana dia sekarang, dan di mana bayinya?”

Aku tak bisa setenang Med saat itu, meski sudah benar-benar berusaha mengendalikan diri.

“Dia sudah melahirkan bayi itu, Koth. Aku berharap ayahnya mau mengampuni dia demi melihat cucunya lahir. Percayalah aku sudah berusaha. Tapi aku …”

“Di mana ibu dan anaknya itu? Jangan berbelit-belit!”

“Tembaklah aku, Koth, kamu layak melakukannya. Hukumlah aku karena sudah berdosa. Aku bukan instrukturmu yang baik. Kubuang keduanya di dalam hutan!”

Ia merebut pistol itu dan aku gagal menahan diri untuk tidak segera menembaknya sebelum semua jelas.

***

Hari-hari berlalu dan para petugas kepolisian pun kembali ke rumah kami, menanyakan hilangnya Hryeke yang menurut laporan biasanya pergi mengajar atau menemui temannya. Kami hanya menjawab apa yang kami tahu terakhir kalinya.

Ibuku tak pernah memberikan keterangan di hari kunjungan terakhir Hryeke itu bahwa aku pamit pergi. Dia selalu mengatakan aku dan dia ada di rumah saat itu dan hanya tahu Hryeke akan ke rumah sakit menjenguk ibunya yang sedang dirawat. Aku tak mau jujur lagi seperti saat masih ingusan.

“Ibunya sudah lama meninggal,” kata petugas itu. “Ayahnya yang melaporkan kehilangan Hryeke.”

“Oya?” Ibuku kaget. “Dia berbohong kalau begitu. Yang jelas dia pamit mau ke rumah sakit. Selebihnya kami tidak tahu.”

Aku juga menjelaskan hal yang sama.

***

Setelah beberapa minggu berlalu, aku menerima panggilan pekerjaan dari Akademi sebagai asisten pelatih pilot pesawat tempur.

Dan beberapa hari sebelum mendapatkan panggilan itu, sering kudengar tawa bayi di hutan dan aku yakin itu adalah tawa bayi Hortakh yang mungkin tidak mati saat dibuang Med. Karena berkali-kali kudengar, aku tidak lagi peduli itu halusinasi atau sejenis depresi disebabkan kehilangan pasangan yang sangat kusayangi itu. Beberapa kali kuputuskan untuk mengejar sumber suara itu hingga akhirnya, jauh di dalam hutan, dapat kutemukan mayat yang sudah hampir kering seperti mumi dengan baju yang sudah hancur terkoyak-koyak binatang buas.

Aku berharap dapat mengenali pakaian mayat itu dari beberapa serpihannya, tapi ternyata tidak. Belum yakin aku kalau itu mayat Hortakh.

Tapi saat kubersihkan mayat itu sedikit demi sedikit dengan ranting, dapat kulihat benda mengkilap di bagian perutnya yang robek. Benda itu adalah kalung Hortakh! Rupanya ia sempat menelan kalung itu sebelum dibawa dan dibunuh dalam hutan.

Kemarahanku memuncak tapi aku sudah tidak lagi berjiwa kanak-kanak. Aku membawa mayat itu dan bersama ibuku menguburkannya di dekat rumah kami. Aku bilang hanya menemukan mayatnya, tanpa bayi, karena dalam hitungan ibuku, dia sudah melahirkan. Mungkin bayi itu sudah dimakan binatang buas.

“Kalungnya?” tanya ibuku saat kuturunkan mayat itu ke lubang galian.

“Ia berjanji kepada Getorz akan membawanya hingga ia mati,” jawabku sambil tak kuasa menahan air mata yang jatuh ke arah robekan perutnya itu.

Kami meratakan kuburan itu dan menanam pohonan berbunga di atasnya untuk menjaganya dari pertanyaan orang tentang kuburan siapa.

Kami tidak melaporkan penemuan mayat itu. Kami tak mau diusik pertanyaan-pertanyaan para petugas lagi dan berharap dapat fokus memperhatikan situasi perang yang sudah melintasi perbatasan di mana kami mungkin harus pindah mencari tempat yang lebih aman.

***

Situasi makin gawat memang, suara-suara roket musuh mulai sering terdengar gemanya hingga ke hutan Hebba, dan aku segera mendapatkan pelatihan sebagai pilot cadangan. Kematian Med pun tidak terlalu diurus lembaga karena semua tentara makin fokus menambah pasukan.

Ya, begitulah, segalanya seakan baru terjadi kemarin atau beberapa detik yang lalu dan kini aku sudah bisa mengendarai pesawat tempur hingga di tugas pertamaku, sebuah kesalahan terpaksa kulakukan dengan sengaja: pesawatku melintasi kota dan roket pertamaku menyasar rumah mewah ayahnya Hortakh dan media melaporkan itu roket musuh sehingga warga kota menjadi tercekam.

Membalas kematian dua kekasihku tentu tidak cukup dengan sebutir peluru! []

Arip Senjaya
Latest posts by Arip Senjaya (see all)

Comments

  1. Indri Dinastria Reply

    Keren ceritanya, semangat terus berkarya

  2. Fernanda Reisma Reply

    Ceritanya sangat bagus, semoga kelak aku bisa menulis sebagus ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!