Tom Ingin Menjadi Cacing

Tom kembali datang. Aku cukup senang karena ternyata ia mematuhi instruksiku kemarin, “Ini baru jam enam. Masih terlalu pagi. Ikan baru kumarinasi, butuh setengah jam agar siap digoreng. Datanglah lebih siang.”

   Dan hari ini, Tom datang pukul delapan. Segala sesuatu sudah kuhidangkan di atas meja: satu wadah besar nasi putih. Satu piring rica-rica ayam dengan level pedas sedang. Satu mangkok kecil acar mentimun dan wortel. Tak lupa setoples kerupuk udang.

   Kenapa aku tidak suka Tom datang terlalu awal? Itu karena aku pasti masih berjibaku dengan beberapa pekerjaan rumah. Membiarkan ia tanpa pengawasan saat aku menyelesaikan semua pekerjaan, sama artinya dengan memberikan ruang yang begitu lapang kepada Tom untuk membuat kekacauan baru. Mengobok-obok akuarium, berdengung sambil berlari seperti lebah, atau melompat-lompat di atas seprei menirukan kodok. Tentu ia tahu semua gerakan dan suara hewan. Karena hanya tontonan itu yang kuperbolehkan untuknya. Aku sudah mewanti-wanti Sus Rini, pengasuhnya, jangan sampai Tom pegang remot tivi atau mengganti-ganti sendiri channel Youtube di ponsel.

   “Ayo, kita sarapan dulu!” kataku sambil berjalan ke ruang tengah. Tak lupa aku menarik kursi agak ke belakang. Tom sangat tahu apa artinya itu. Perintah untuk duduk. Selanjutnya aku membuka piring yang telungkup, mengisinya dengan dua centong nasi dan lauk pelengkap yang kusebutkan tadi.  “Makan dulu, nanti baru Om temani main.”

   Dari badannya yang bongsor, siapa pun akan tahu kalau Tom tidak pernah menolak semua jenis makanan. Andai yang disajikan di depannya adalah biskuit kucing atau anjing, pasti akan dilahapnya juga. Itu satu sisi yang membuatku cukup bersyukur. Jika saja ia seperti anak orang kaya lain yang hanya mau makan menu ala restoran berbintang, bisa migrain aku. Uang yang kupegang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan perutnya dan perutku, tapi kebutuhan atas diriku sendiri tidak sebatas urusan perut. Aku lelaki normal dan dewasa berusia tiga puluh tiga.

   “Setelah kupikir-pikir, aku lebih memilih menjadi cacing, Om,” kata Tom di sela-sela desisnya mengunyah potongan ayam. Matanya menatap tajam ke arahku, seolah-olah ia ingin menunjukkan keseriusannya. Seolah-olah pilihannya kali ini tidak akan berubah lagi sampai mati. Seolah-olah menjadi babi, menjadi kambing, menjadi kepompong yang ia ucap kemarin, tidak pernah ada.

   “Kenapa?” tanyaku sambil membuka toples dan mencomot sebuah kerupuk. Aku tak harus menatap balik Tom. Ia sudah cukup senang setiap aku merespons celotehannya dengan pertanyaan lanjutan. Mungkin baginya, itu suatu tanda bahwa aku benar-benar mau mendengar apa yang ia katakan dan sangat ingin tahu lebih jauh. Sebab, selama ini tak ada siapa pun selain aku yang mau melakukan hal sekonyol itu. Termasuk ibunya karena kesibukannya bekerja. Termasuk Sus Rini yang seharusnya dibayar dua puluh empat jam untuk menjaganya, tapi malah sibuk berkencan dengan sekuriti ujung gang yang menjadikannya pacar gelap.

   “Apa menurut Om, aku akan hebat kalau menjadi cacing?”

   Aku mengerutkan alis. Benar-benar sedang berpikir. Berpikir yang mengasyikkan, bukan berpikir ala mahasiswa dengan dosen penguji dalam suasana sidang skripsi  atau berpikir untuk memberikan jawaban yang aman, seperti saat aku masih menjadi kekasih Mala dan tiap hari dihadapkan dengan berondong pertanyaan: kamu ke mana hari ini dan pergi dengan siapa.

   “Menjadi cacing bagus juga. Bukankah cacing tidak suka terburu-buru? Kalau kau jadi cacing, semua orang tahu kalau kau lambat. Jadi tidak akan ada yang menyuruhmu cepat-cepat.”

   “Yes!” Tom bertepuk tangan. Kegirangan.

   Sebelum kami dekat seperti ini, awalnya aku selalu mencari cara untuk menolak tiap diajak oleh sang ibu ke rumahnya untuk berkenalan dengan Tom. Entah apa yang ada di kepalaku saat itu. Mungkin jijik, takut, risih, malas, malu, dan sejenisnya.

   Waktu demi waktu berlalu dan sebuah peristiwa ironis terjadi. Sus Rini siap angkat kaki dari rumah Tom, membawa koper berisi baju-baju. Aku menghadangnya di pintu keluar, kukatakan bahwa aku yang akan membayar gajinya setelah ini. Ia setuju dan kembali masuk ke rumah besar itu lagi. Kami menyepakati hal-hal baru yang kusebut sebagai aturan yang harus ia patuhi. Sejak itu aku dengan sengaja menyewa sebuah rumah di dekat rumah Tom, lalu pergi ke rumah Tom suatu siang dengan kondisi waspada.

    Tom bertanya kepadaku untuk pertama kali. “Benarkah Om mau jadi temanku?”

   “Tentu saja. Kau bisa datang ke rumahku kapan saja. Letaknya di sana,” tunjukku kala itu. Tom mengikuti arah telunjukku, kemudian manggut-manggut sambil berkata, “Yes.”

   Dan itulah kesalahanku. Membebaskan Tom datang kapan saja. Dan kapan saja yang dimaksudnya adalah pagi buta, larut sekali saat aku akan pergi tidur, dan malam Minggu di mana aku sudah ada jadwal kencan dengan seorang perempuan yang kupesan lewat aplikasi hijau.

   Tentu Sus Rini sangat senang saat Tom ada di rumahku. Karena itu berarti, tanggung jawabnya luruh sejenak. Ia tidak cantik. Hidungnya pesek, mukanya bopeng bekas jerawat. Mungkin karena itu ia cukup menyadari akan sulit untuk punya pacar serius. Aku memergokinya berkali-kali tengah ditiduri oleh tukang ojek, kurir paket, dan terakhir ini sekuriti komplek. Ia mengunci Tom di kamarnya saat sedang menerima tamu lelaki. Suara Tom yang menangis meraung-raung sama sekali tidak mengganggunya. Aku betul-betul heran. Mengapa ada orang yang bisa bercinta dalam suasana seberisik dan sekacau itu?

   Dibandingkan di rumahnya, Tom lebih suka di rumahku. Karena di rumah Tom, Sus Rini lebih sibuk dengan ponselnya. Ia pun ingin Tom sibuk juga dengan kuda, ular, jerapah, dan monyet di layar ponsel yang dipegangnya. Sus tidak suka Tom banyak bertanya. Sus lebih tidak suka lagi dipaksa berpikir: lebih baik menjadi kancil atau buaya?

   “Tanyakan saja pada Om Rian-mu itu!” Begitu jawaban ketus Sus Rini yang ditirukan Tom di depanku dengan betul-betul menjiwai. Mata melotot dan tangan bersedekap di dada. Tom ketakutan. Dalam keadaan marah, kata Tom, susternya itu lebih mirip harimau atau singa.

   Aku juga pernah bertanya kepada Tom tentang hubungan ia dengan ibunya dulu.

   “Mama tidak pernah mendengarkan ceritaku sampai selesai. Ia selalu buru-buru. Buru-buru makan. Lalu buru-buru pergi. Dan ia selalu bilang, aku juga harus buru-buru. Padahal aku tidak suka buru-buru. Memangnya kenapa harus buru-buru?”

   Aku tersenyum. Entah untuk apa. Entah untuk bagian yang mana. Untuk Tom yang akan menjadi belenggu seumur hidupku. Entah untuk Mala yang sekarang sudah tidak ada lagi di dunia.

   Mala bilang di awal bahwa ia hanya ingin waktuku. Dan aku setuju. Maka, aku tak masalah untuk meninggalkan teman-teman dan tongkrongan, padahal tengah asyik merokok sambil membicarakan hal-hal jorok. Mala lebih penting. Ia membutuhkan aku sehingga aku harus buru-buru pulang. Ia selalu ingin bersamaku setelah seharian ditimpa kesibukan parah. Aku menemaninya mandi, menggosok punggungnya dengan cairan sabun sewangi bunga lili, bahkan memijit kakinya sambil mengoleskan minyak aromaterapi.

   “Kau tidak nakal, kan, hari ini?” tanyanya kepadaku.

   “Aku bosan seharian di kamar. Tadi nongkrong.”

   “Tak apa sekali-kali mabuk.”

   Seharusnya, kami hanya perlu sesederhana itu. Mala hanya perlu mampir sebentar ke tempatku sebelum pulang ke rumahnya sendiri. Jika itu masih kurang, toh kami masih punya akhir pekan yang bisa dipakai liburan berdua ke luar kota.

   “Usiamu sudah cukup pantas untuk memiliki sebuah keluarga,” katanya waktu itu.

   “Aku belum berpikir ke arah situ. Entah apa aku juga menginginkan hal itu suatu saat nanti. Orang tuaku bercerai dan tiga anaknya terbengkalai. Kakak laki-lakiku duda, malah sering menasihatiku jangan buru-buru menikah. Kakak perempuanku hamil, tapi tak ada yang mau bertanggung jawab, akhirnya membesarkan anaknya seorang diri.”

   “Tapi kita bisa punya kisah berbeda, Sayang.” Mala menjentik hidungku.

   Aku dan Mala sudah bersama dua tahun. Aku mengenalnya setelah seminggu masuk kerja. Ternyata ia pimpinan di perusahaan properti itu. Ia meneruskan bisnis yang diwariskan suaminya setelah meninggal dunia. Kami bertukar nomor kontak dan semuanya dimulai dari saling berkirim pesan. Untuk menghindari desas-desus di kantor, Mala memintaku berhenti kerja dan aku mematuhinya.

   Mala berusia empat puluhan. Tapi uang memang nyaris mampu melakukan semua kemustahilan. Wajah Mala nyaris tanpa pori-pori dan kerut usia. Badannya kencang karena ada jadwal pilates seminggu dua kali. Aku memujinya tak kalah dari gadis berusia dua puluh dua. Ia tertawa dan mengatakan gombalanku sangat murahan.

   “Aku masih ingin punya anak lagi.”

   “Mala, sudahlah.” Aku mulai muak karena menurutku ini sudah terlalu jauh dan rumit. Semula hanya soal waktu, kenapa kemudian membawa-bawa pernikahan dan anak?

   “Apa kau tidak mau bersamaku?”

   “Bukankah selama ini kita juga bersama? Ya, sudah. Begini saja.”

   “Aku perempuan. Aku ingin siapa pun memandangku dengan hormat.”

   “Selama ini semua orang juga menghormatimu. Karena kau bos.”

   Mala menggeleng. “Mereka menggunjingkanku. Dan aku tahu itu. Aku dikatai nenek gatal dan kecentilan. Dan meskipun sudah gatal dan kecentilan, aku tetap tak laku.”

   “Kenapa kau harus peduli?”

   “Karena aku perempuan timur. Mendiang ibuku pernah bilang, perempuan yang baik adalah perempuan yang menikah.”

   Aku menyambar jaket. Aku sudah betul-betul muak dengan pembicaraan ini. Di otakku kembali terputar adegan di masa kecil yang masih utuh di ingatan sampai sekarang. Bapak hanya pulang seminggu sekali karena tempat kerjanya jauh. Dan ibu sering pergi dengan baju rapi, bau wangi, dan riasan wajah yang mencolok. Aku menangis dan ingin ikut. Tapi justru pantatku dicubit kencang. Kedua kakakku menyaksikan, tapi diam saja. Bapak kemudian tahu kalau ibu menyimpan seorang lelaki. Ibu balik menuduh bapak punya istri muda. Pernikahan di mataku jelas sekali adalah sesuatu yang saling menyakiti.

   “Kau mau ke mana? Aku belum selesai bicara!”

   “Kau tidak ingin mengajakku bicara, Mala. Kau hanya ingin memaksaku melakukan sesuatu yang tidak ingin kulakukan. Pernikahan.”

   “Jangan kau kira aku tidak tahu kelakuanmu di belakangku, ya.”

   “Maksudmu?”

   “Aku tahu kau menggunakan uangku untuk bersenang-senang dengan gadis muda. Karena aku terlalu tua dan gaya bercintaku membosankan. Iya, kan?”

   Mala betul-betul marah kali ini. Tepatnya mengamuk. Ia menamparku. Ia meninjuku. Ia menendang pinggangku. Ia menjambak rambutku, lalu pergi dengan membanting pintu. Tapi, tak berselang lama terdengar suara ribut dan sirene ambulans. Kecelakaan. Tepat di tikungan, hanya sekitar seratus meter dari rumah tempat kami bersitegang tadi. Mala meregang nyawa.

   Aku tidak tahu harus merasa apa. Mala pergi dengan meninggalkan begitu banyak aset dan tabungan, sedangkan selama ini aku telah memiliki akses yang luas untuk ikut menguasai dan menikmati. Tapi celakanya, tidak hanya itu. Mala juga meninggalkan seorang anak remaja yang idiot.

   Aku berkata kepada Tom, “Aku adalah teman mamamu. Jadi, kau bisa menganggapku temanmu juga.”

Pasini
Latest posts by Pasini (see all)

Comments

  1. Ara Reply

    Ternyata sad end…..

    • Salsabil Reply

      Eh ini udah? Ga ada kelanjutannya 🥺?

  2. farell Reply

    sad ending…

  3. Galang Reply

    ending nya sangat sedih

    • Goardo Reply

      A aturan dan norma
      Aturan biasanya tertulis dan ada sanksi atau hukuman bagi yang melanggar norma bisa tidak tertulis dan bagi yang melanggar berupa teguran dari masyarakat

      1.Aturan di rumah
      Aturan dirumah di buat oleh orang tua agar suasana di rumah menjadi tertib dan teratur

      CONTIH:-merapikan tempat tidur
      -menjaga kebersihan rumah
      -berpamitan jika hendak keluar rumah

  4. Goardo Reply

    Ingin bergabung

  5. arkan Reply

    endingnya sangat sedih

  6. Irfan Reply

    Mekah

  7. Lam Reply

    Kok bisa ya

  8. Mirey Reply

    awalnya mikir si tom ini kucing😭

Leave a Reply to Galang Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!