
HARI ini, kau menduga, antara hidup dan mati, akhirnya kau akan berakhir seperti kebanyakan orang. Namun, harapanmu berkecambah ketika sekelompok orang datang dari tempat yang jauh.
Inilah yang kau lihat saat itu, yang kau minta untuk aku menuliskannya, setelah sore dan malam masih saja terus diguyur hujan, tanah-tanah dari perbukitan bergerak lambat layaknya tentara yang berjalan mengendap-endap dengan posisi tiarap.
Orang-orang berpakaian serba oranye, masih terus bekerja. Tangannya betapa telaten memindahkan berkubik-kubik tanah yang basah. Gerobak dorong hilir mudik dari tempat mereka berada menuju ke tempat lain—alat berat tak bisa diakses, jalanan penghubung antardesa terputus. Ada juga beberapa warga, kau mengenal sebagian dari mereka, begitu pula aku, di sana, melakukan hal serupa.
Gelondongan-gelondong kayu yang ukurannya bermacam-macam diangkut dan dipindahkan. Bahu dan tangan menjadi alat satu-satunya. Sesekali tangan mereka gagal mendekap. Kaki mereka tergelincir sebab basahnya pijakan. Hujan dengan intensitas rendah, semacam gerimis, terus menyirami daratan.
Hanya tinggal puluhan sentimeter saja, katamu saat itu kepadaku. Aku hanya diam sambil memikirkan apakah aku sedang halusinasi. Bagaimanapun saat itu, pasokan makanan benar-benar kosong, mulutku terasa sangat asam lantaran tak merokok berhari-hari, dan perut terus berbunyi, kelaparan menyiksa sedemikian hebatnya.
Kau tidak berhalusinasi, kau masih sadar meski kelaparan, dan saat ini, aku yang duduk di hadapanmu bukan sesuatu di luar nalar, katamu kepadaku lagi, semacam tahu pikiranku mulai aneh. Kau, lanjutmu, seharusnya tahu, orang yang mencintai buku sepertimu, bahwa kejadian seperti ini pada dasarnya biasa saja, yang magis dan realis itu tidak berbeda. Kau pun mengatakan panjang lebar tentang perbincangan-perbincangan kita tentang buku-buku, menyebut Amerika Latin dan sebagainya, karena itu aku pun mulai percaya, bahwa kau, di depanku, benar-benar nyata.
Tiba-tiba dari arah selatan, banyak orang menghampiri. Awalnya salah satu orang berpakaian serba oranye dimarahi karena tak merespons panggilan dari protofon. Dan banjiran masa membeludak. Itu karena beberapa dari gerombolan itu, orang-orang dari jauh. Mereka berjalan ke sana-sini sambil berhenti beberapa saat, difoto-foto, lalu melanjutkan hal-hal tolol itu kembali.
Namun gerimis yang syahdu itu berubah menjadi ganas. Orang-orang dari jauh itu buru-buru meninggalkan tempat. Begitu juga para pasukan berbaju oranye itu. Bagaimanapun, di saat-saat seperti itu, tanah bisa bergerak kembali, dan itu bukan sesuatu yang baik untuk tetap di sana. Pencarian dihentikan, bukan karena hujan, tapi orang-orang jauh bangsat itu membuang waktu para penggali, seluruh warga mengerubungi area evakuasi, membuat kondisi tidak lagi steril, menciptakan kondisi tumpah tindih.
Aku harus mengatakannya kepada kalian bahwa ucapan yang kudengar itu disampaikan dengan bombastis dan sedap ditekuri. Namun aku tidak mampu mengingat seluruhnya. Yang kalian baca di atas, menurut hematku, tidak jauh berbeda. Lagipula aku tidak mungkin menuliskan hal tersebut sesuai panjangnya cerita yang kudengar.
***
Seharusnya kau ditemukan hari itu. Begitu yang kukatakan buru-buru setelah sebelumnya kujelaskan, setelah koneksi internet kembali menyala dan listrik di posko pengungsian bisa digunakan untuk mengisi daya alat elektronik apa saja, bahwa orang-orang yang kemarin datang, maksudku mengganggu proses kau ditemukan menjadi gagal, mengunggah foto-foto di sana, puluhan media massa menerbitkan narasi yang berulang-ulang dengan konotasi “akan” dan “perintahkan” yang membuat darah tinggi kambuh seketika.
Namun, kau tak mengubris kata-kataku. Kau di depanku hanya berdiam saja. Malam makin dingin. Tak masalah, aku punya rokok saat ini. Dan dalam hisapan serta embusan yang entah ke berapa kali, kau menetapku begitu dalam. Mulutmu pun bergerak.
Inilah yang kau lihat saat itu, yang kau minta untuk aku menuliskannya, setelah hari tersebut diakhiri dengan kegagalan total dan runtuhnya seluruh harapan yang telah berhari-hari kau pikirkan layaknya para imigran yang menerjang badai laut untuk sampai ke daratan yang jauh.
Segalanya menjadi sunyi. Hanya gelegar di atas sana dan air-air yang mengenai tanah terdengar. Hujan berjalan cukup lama dan itu bukan sesuatu yang baru. Beberapa hari belakangan cuaca tidak lagi mudah ditebak. Di sana hanya menyisakan kayu-kayu yang berserak dan batu-batu tercecer ke segala arah.
Air mengikis secara perlahan tanah-tanah di bukit. Membawanya turun, pelan sekali, tapi pasti sampai ke tempat orang-orang berpakaian oranye semula berada. Tak jauh dari tempat itu, sekitar seratus atau seratus lima puluh meter, tidak lebih dan tidak kurang, ada ngarai yang sudah lama tidak lagi basah, tetapi akhir-akhir ini ngarai tersebut menjadi bak panjang yang berisi air sewarna tanah.
Maka, mau tak mau, air mengalir ke sana. Begitu pelan dan lembut dan dingin. Segalanya ikut terbawa. Gelondongan kayu yang di beberapa bagiannya ditandai dengan angka-angka, yang beratnya melebihi tubuh manusia, juga turut mengikuti alur air. Andai saja hujan saat itu tidak sampai keesokan harinya. Ya, andai saja.
Aku harus mengatakannya kepada kalian bahwa ucapan yang kudengar itu disampaikan dengan begitu sedih dan menghancurkan hati. Dadaku terasa makin sesak malam itu—hal ini tidak ada kaitannya dengan rokok yang kuhisap. Namun aku tidak mampu mengingat seluruhnya. Yang kalian baca di atas, menurut hematku, tidak jauh berbeda. Lagipula aku tidak mungkin menuliskan hal tersebut sesuai panjangnya cerita itu.
***
Ini adalah perjumpaan terakhir kita. Begitulah yang kau katakan malam itu kepadaku. Aku masih belum mengerti. Padahal kau bisa ke mana saja tanpa memikirkan estimasi waktu sebagaimana aku. Kau bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang jauh seketika.
Namun aku tidak berani menanyakan itu kepadamu. Ceritamu pada pertemuan sebelumnya dan rasa bersalahku sebelum malam itu, malam yang mempertemukan kita lagi dengan cara yang sama sekali tidak pernah diinginkan. Hujan akan jatuh dan langit berteriak sedemikian keras. Memang aku sudah mengajakmu pulang bersama-sama tapi kau menolak, kau tetap tinggal sedikit lebih lama di warung tersebut, toh, katamu saat itu, kopi belum menyisakan ampasnya. Kita hanya diam, begitu lama, dan awalnya aku duga akan begitu sampai sinar dari timur menyingsing dan mengenai kita, tapi kau tiba-tiba memanggil namaku, barangkali karena kau melihat raut wajahku yang betapa runyam.
Inilah yang kau lihat saat itu, yang kau minta untuk aku menuliskannya, setelah hari baru akan kau mulai dengan perjalanan lain entah ke mana dan tidak tahu akan berhenti di mana seperti orang yang kehilangan makna untuk terus hidup, tapi gemetar melakukan bunuh diri.
Sebuah tumpukan kayu, saling berpilin, lantaran batang-batangnya yang kecil, di sekujur bongol utama, memerangkap seluruh yang ada di dalamnya, yang mula-mula terbawa dan bergerak karena air mengalir. Seperti malam-malam sebelumnya, hujan begitu deras dan berlangsung lama.
Dalam dekapan berbatang-batang kayu itu ada pula bongkahan batu. Hal itulah yang membuat air dari atas sana tak sanggup mengikis seluruh tanah yang menempel. Kayu-kayu itu awalnya masih di sana, tapi tanah-tanah yang berada di bawah kayu-kayu itu rapuh, tanah-tanah yang basah, tak memiliki pondasi penyanggah, dan ditambah debit air yang makin lama mengikis pinggiran daratan.
Kayu-kayu itu pun pasrah. Terjerembap ke bawah, lalu bergerak maju ke depan, mula-mula dari pinggir, bergerak ke tengah, ke kanan, ke kiri, berputar, begitu terus sampai setiap batang-batang kecil yang mengikat pun patah, membuat isi di dalamnya menyeruak, terlepas pula batu-batu di dalamnya, dan kau yang berhari-hari kedinginan dan membusuk di beberapa bagian.
Aku harus mengatakannya kepada kalian bahwa ucapan yang kudengar itu disampaikan dengan penceritaan yang rumit sehingga aku mendeskripsikannya saja seperti di atas. Beban di tubuhku makin berat melebihi pertemuan kemarin. Pasalnya keputusanmu tidak lagi ingin berjumpa denganku terasa aneh—sebagaimana kau bukan lagi sepertiku yang terkukung oleh dimensi waktu—dan sebuah rahasia masih saja kusimpan.
Inilah yang paling sederhana untuk melepaskan kebingunganku. Bahwa kau pergi, tak lagi mendantangiku, membiarkanku tak terbebani dengan ceritamu dan aku harus menuliskannya, membuatku harus menahan gigil malam, semata hanya untuk mengikuti ke mana akhirnya tubuhmu itu hanyut, mengikuti sepanjang ngarai, betapa hanya itu yang kau punya, berharap ada yang menemukan tubuh itu, lalu kau dipulangkan, diberikan penguburan yang layak, sehingga arwahmu bisa tenang sebagaimana mestinya.
Lantas, untuk rahasia yang kusebutkan, agaknya tidak penting-penting amat. Kalian tahu kan, kalian juga sudah membaca beritanya di media massa, bahwa pencarian atas korban bencana telah dihentikan, selama berhari-hari, akhirnya orang-orang berpakaian berwarna oranye itu tak lagi di sana, sebab para keluarga yang berkabung sudah ikhlas, kecuali aku, ya kecuali aku.***
- Tubuh Sepanjang Ngarai - 12 December 2025
- Mengapa Tokoh Kita Ingin Jadi Baoa? - 22 August 2025
- Mengapa Bapa Tak Pernah Lagi Berdoa, Ma? - 10 May 2024

Rivano Rizqillah
*Judul:* Hujan di Kota Hujan
*Kategori:* Cerpen, Fiksi
*Isi Cerpen:*
Kota Bandung, 1995. Hujan turun deras, membasahi jalan-jalan kota yang sudah mulai sepi. Aku berjalan sendirian, tidak tahu kemana aku harus pergi. Aku baru saja bertengkar dengan pacar, dan aku tidak ingin pulang ke rumah.
Aku terus berjalan, membiarkan hujan membasahi rambut dan bajuku. Aku merasa sedih dan kesepian. Aku tidak tahu apa yang salah, aku tidak tahu apa yang aku lakukan.
Aku berhenti di depan sebuah kafe tua, yang masih buka meskipun sudah larut malam. Aku masuk, dan duduk di meja dekat jendela. Aku memesan secangkir kopi, dan menunggu.
Beberapa menit kemudian, seorang wanita muda datang dan duduk di seberangku. Dia tersenyum, dan aku melihat mata birunya yang indah.
“Apa yang kamu minum?” dia bertanya.
“Kopi,” aku menjawab, mencoba tersenyum.
Dia memesan secangkir kopi juga, dan kami mulai berbicara. Dia bercerita tentang pekerjaannya, tentang keluarganya, dan tentang mimpinya. Aku mendengarkan, dan merasa hati aku mulai terbuka.
Hujan terus turun, tapi aku tidak merasa sedih lagi. Aku merasa bahagia, karena aku telah menemukan seseorang yang mau mendengarkan aku.
Wanita itu tersenyum, dan aku melihat senyumnya yang indah. Aku tahu, aku telah menemukan cinta.