Utang Nyawa

Gongbi II Canvas Print by Sana Jamlaney

 

Di atas jamban semen yang licin dan berlumut, Ama Kletus baru selesai menguras isi perutnya. Beberapa cedokan air turut menenggelamkan sepuntung Surya 12 yang beberapa saat lalu masih terselip di bibir hitamnya. Itu batang terakhir yang ia punyai sejak semalam. Jika kebanyakan nelayan di kampungnya menyisakan sebatang terakhir untuk perut yang telah terisi, Ama Kletus justru menemukan kenikmatan tiada tara saat asap nikotin itu keluar berbarengan bersama isi perutnya.

Usai ritual rutin di kakus, ia lalu beralih ke kamar mandi di samping, membanjuri mukanya yang dirayapi belukar berewok. Pagi masih basah dan terlampau dini bagi ayam-ayam untuk turun dari dahan-dahan pohon bidara. Hujan baru saja usai dan langit tak dihiasi bintang-bintang. Beberapa saat lalu jago berkokok beberapa kali, kokok pendek yang kedua setelah separuh malam lewat. Semua nelayan tahu, kokok pertama dan kedua ketika gelap masih menggelayut jadi pertanda bahwa laut telah pasang atau surut. Jago-jago itu kembali senyap, melanjutkan tidurnya yang sebentar, sebelum kokok untuk kali ketiga datang bersahut-sahutan tanda pagi hampir jelang.

Ama Kletus telah siap menuju tempat perahunya tertambat. Usai membetulkan topi bundar usang di kepalanya dengan terburu-buru, Ama Kletus mengunci pintu dapur. Sebuah keranjang anyaman yang ia sampirkan pada tangkai dayung segera berpindah ke pundak kirinya yang kian merosot. Keranjang itu berisi peralatan mancing berupa gulungan-gulungan senar dan kail dengan berbagai ukuran, serantang umpan irisan ikan selar, sekantong kecil jagung titi[1], dan sebotol air minum. Tangan lainnya menenteng lampu petromaks yang mendesis pelan seperti desau angin di musim penghujan. Udara beraroma garam bertiup dari selatan menghempas wajah kasarnya. Seirama langkah-langkah panjangnya, keranjang yang ia pikul mencium pelan punggungnya. Ia melewati beberapa rumah keneka’[2], sebelum berbelok melintasi setapak yang telah akrab ia lalui. Di hadapan Ama Kletus kini, ombak mendebur memukul-mukul marah tanggul yang telah memisahkan laut dan darat beberapa bulan ini.

Sebelumnya, perahu-perahu nelayan tertambat tepat di hadapannya, berjejer di bawah pohon-pohon waru dan kenari yang telah tercerabut bersama akar-akarnya oleh mesin pengeruk. Sebagai ganti, tanggul dibangun, truk-truk datang silih berganti menimbun tanah, dan tak ada tempat untuk perahu para nelayan. Beberapa kali permintaan untuk menyediakan tempat tambatan perahu disampaikan kepada Pak Mateus selaku Kepala Desa. Ia juga jadi penghubung ke pihak kontraktor. Setelah sebulan permintaan itu tidak diindahkan bahkan sama sekali tidak digubris, Ama Kletus dan dua rekan nelayannya turun tangan secara diam-diam.

Suatu malam ketika laut sedang surut, mereka robohkan sebagian tanggul itu dengan martil berbobot lima kilogram. Tidak tanggung-tanggung, nyaris sepanjang sembilan meter yang berhasil mereka luluh-lantakan. Kejadian itu tak pelak bikin geger seisi kampung. Pak Mateus yang selalu setia memantau pengerjaan tanggul itu dengan lagak pimpinan proyek mengamuk bagai hiu tertikam gancu. Pagi itu di hadapan para nelayan yang ia perintahkan untuk berkumpul, ia meradang. Berbagai caci maki dan umpatan berhamburan keluar bersama muncratan liur dari mulutnya yang mirip moncong ikan kebeku. Pipi montoknya memerah seperti habis ditusuk bulu babi. Tentu saja para nelayan termasuk tiga pelaku di antaranya memasang tampang tanpa dosa. Sebagian besar malah memasang mimik masa bodoh. Makian dan umpatan Pak Mateus seperti masuk telinga kiri-keluar telinga kanan lalu tenggelam di dasar laut, sia-sia tanpa arti. Lebih berarti tiga martil penghancur yang telah  berfungsi dengan sangat baik, demikian pikir Ama Kletus.

Setelah kejadian itu, tanggul kembali diperbaiki dengan pengaman tiga orang Babinsa bertampang sangar. Tempat tambatan perahu pun disediakan. Konon, Pak Mateus telah berencana memungut biaya dari tempat tambatan perahu yang baru. Pikirnya, jika ada parkiran motor di pasar yang dikenakan tarif, mengapa tidak demikian dengan parkiran perahu di pinggir pantai? Namun dengan terpaksa ia harus menangguhkan rencana itu. Tak dinyana, para nelayan di suatu siang memenuhi halaman rumahnya yang cukup luas seperti sekelompok ikan teri. Mereka berdesak-desakan. Sebagian besar dengan martil dalam genggaman. Mereka mengancam akan merobohkan tanggul di sepanjang pesisir jika ada pungutan untuk perahu mereka. Nyali Pak Mateus ciut seketika.

Dengan suara bergetar dan senyum kecut, ia menenangkan para nelayan sembari mengumumkan bahwa tidak akan ada pungutan di tempat tambatan perahu yang baru. Tentu saja, ide tentang parkiran perahu berbayar yang ia anggap brilian itu tetap terpacak di kepalanya. Ia hanya butuh waktu dan mencari strategi yang lebih jitu untuk menerapkannya suatu saat nanti. Tempat tambatan perahu yang baru itu terletak di ujung kampung. Jaraknya beberapa ratus meter lagi dari tempat Ama Kletus sekarang memikul dan menenteng bawaannya.

Ama Kletus sebenarnya enggan melaut hari ini. Cuaca kurang bersahabat beberapa minggu belakangan. Nelayan lain memilih tinggal di rumah, menghangatkan diri di ranjang bersama istri mereka. Kehangatan semacam itu tidak memengaruhi Ama Kletus yang telah ditinggal pergi sang istri. Ia telah terbiasa menghangati diri di kamar mandi dengan jari-jarinya yang tak hanya piawai memainkan senar pancing. Akhir-akhir ini, ia sering melakukannya sambil memandangi potongan gambar lecek seorang perempuan pirang dengan pose menantang. Gambar itu ia comot dari salah satu buku teka-teki silang di rumah Pak Mateus ketika sedang bertandang.

Kira-kira tiga belas tahun silam, Ina Kewa istrinya hengkang ke Malaysia. Awalnya Ina Kewa selalu berkabar lewat surat. Namun setelah lewat setahun hingga kini, tak ada lagi kabar yang sampai kepada Ama Kletus. Desas-desus yang berembus di antara istri para nelayan ketika sedang asyik-asyiknya mencari kutu, Ina Kewa kawin lagi. Tak tahu dari mana dan bagaimana kabar itu bermula. Ama Kletus tak ambil pusing ketika gunjingan itu mampir ke telinganya. Saat ini ada perkara lebih mendesak yang mengganjal di pikirannya. Ia mesti sesegera mungkin mendapatkan beberapa lembar rupiah. Beras di dapur tinggal segenggam. Iuran bulanan untuk pembangunan balai desa yang tak kunjung rampung pun masih tertunggak beberapa bulan. Kesabarannya kian susut akibat gedoran demi gedoran Pak Mateus di muka pintu rumah. Ia enggan harus memasang tampang memelas di hadapan bajingan tamak itu. Belum lagi pengeluaran tanpa henti tiap kali ada hajatan. Orang-orang kawin dan kematian datang sekonyong-konyong seperti pencuri.

Semalam, jenazah Ama Ola karibnya dibawa pulang dari Malaysia. Ama Ola juga telah belasan tahun bekerja di Malaysia. Konon, ia mendapatkan kecelakaan di tempat ia bekerja. Jenazahnya kini disemayamkan di rumah salah seorang kakaknya. Ama Ola akan dimakamkan sore nanti, sambil menunggu kepulangan keluarganya dari Malaysia yang menumpang di lain pesawat. Rupa-rupanya Ama Ola menemukan tambatan hatinya di Negeri Jiran.

Pengeluaran untuk urusan kematian ini muskil ia tampik. Ama Kletus punya utang budi kepada Ama Ola. Beras barang sekilo dan daging ikan-ikan segar untuk para pelayat yang datang mendoakan Ama Ola tentu bisa sedikit membantu keluarga yang sedang berduka. Beberapa lembar rupiah dalam amplop bisa menyusul saat misa nebo[3]. Lagi pula pikir Ama Kletus, beberapa liter beras, beberapa ekor ikan segar, dan beberapa lembar uang, tak akan sanggup membayar utang budinya kepada Ama Ola. Juga sudah jadi tradisi penduduk kampung untuk bergotong royong dan bahu-membahu membawa apa yang bisa dibawa dan membantu apa yang bisa dibantu manakala ada kedukaan. Karena alasan itulah Ama Kletus tergerak untuk bertolak ke laut saat pagi-pagi buta.

Perahu Ama Kletus telah menari-nari di atas permukaan laut yang memantulkan sinar lampu petromaks. Kayuhan demi kayuhan bertenaga membuat perahu melaju meski tidak secepat ketika laut sedang tenang. Sesekali ombak yang menghantam badan perahu menciprati Ama Kletus. Buih-buih putih bermekaran ditampar eler[4] bambu-berganti-gantian di kedua sisi perahu. Baju biru lengan panjang berlambang Korpri yang telah pudar warnanya berkibar-kibar di badan Ama Kletus, dihempas angin laut yang berembus cukup kencang. Seingatnya baju itu tak tak lagi muat di badan pemilik terdahulu, lantas dihadiahkan kepadanya selepas apel 17 Agustus beberapa tahun silam. Jika ingatannya tak keliru, Guru Domi-lah yang menghadiahkan baju itu.

Ia arahkan kayuhannya menuju Wato Kewik. Tempat itu diyakini oleh para nelayan di pesisir selatan Flores Timur sebagai sarang ikan-ikan laut dalam. Ikan dasar dalam istilah mereka. Ikan-ikan seperti boho, matabelao, belida, kakap, dan berbagai jenis ikan bermata besar lainnya masuk dalam kategori ikan dasar dan punya nilai ekonomis lebih. Dalam separuh jarak menuju Wato Kewik, melewati nuha[5] tanpa penghuni, ombak yang tadi cukup merepotkan laju perahunya perlahan-lahan mulai bersahabat.

“Penguasa lautan rupa-rupanya lelah dan tertidur juga. Ini pertanda baik,” batin Ama Kletus. Ia mengayuh lebih bersemangat. Ikan-ikan telah menunggunya di kedalaman laut dan kenangan akan Ama Ola berenang di dalam kepalanya.

***

Mereka sepantaran dan karib sedari kanak-kanak. Pantai dan laut menjadi taman bermain mereka. Bersama anak-anak pesisir lainnya, mereka sering berlama-lama di pantai melihat para nelayan menganyam bubu atau menjahit pukat yang telah koyak. Ketika laut surut mereka sering menembaki ikan-ikan kecil dengan lidi kering berujung runcing. Setelah itu, senjata dengan ukuran dan cara kerja yang mirip mereka temukan dari rangka payung rusak. Tinggal mencopot bagian yang melengkung, meluruskannya dengan beberapa hantaman batu, mengasah salah satu ujungnya hingga runcing, dan mengikat ujung yang lain dengan karet gelang.

Kebiasaan menembak ikan ini diteruskan oleh Ama Ola hingga mereka dewasa. Tidak lagi menggunakan rangka payung rusak tentunya, tapi dengan besi seukuran kelingking anak SD dan panjang kurang lebih semeter. Ia penembak paling jitu dan penyelam dengan kemampuan bertahan di dalam air paling luar biasa yang dikenal Ama Kletus. Daya jelajahnya hingga kedalaman yang dianggap tak masuk akal oleh nelayan lain, sering bikin mereka takjub. Namun karena itu pula, ia harus merelakan gendang telinga kirinya pecah. Kemampuan menyelam ini pulalah yang menyelamatkan Ama Kletus suatu ketika.

Ia nyaris meregang nyawa karena sebuah ketoledoran fatal. Kakinya terlilit tali jangkar. Hasilnya Ama Kletus terseret bersama jangkar yang telah meluncur ke dasar laut. Beruntung perahu Ama Nabas hanya semeter darinya sehingga ia sigap bereaksi. Setelah peristiwa nahas itu, Ama Kletus memutuskan untuk tak lagi menyelam. Ia ke laut hanya untuk memancing atau menebar pukat sambil tetap mengingat utang nyawanya kepada Ama Nabas.

***

Perahu Ama Kletus kini telah mengapung di atas lautan Wato Kewik. Jangkar batu telah ia tenggelamkan. Lampu pertomaks yang tadi sempat meredup kini kembali terang setelah ia memompanya beberapa saat. Senar pancing pun telah ia ulurkan hingga kedalaman lebih dari dua ratus depa. Selang beberapa saat, sebuah tarikan kuat menyentak telapak tangan kirinya yang telah kapalan. Setelah perlawanan yang cukup alot, ikan mulai kelelahan dan akhirnya takluk. Tarikan Ama Kletus mengantar sebuah boho muncul di permukaan laut dengan mulut menganga. Salah satu organ dalam yang menyerupai balon ikut menyembul di antara rongga mulutnya. Permulaan yang menjanjikan bagi Ama Kletus. Dadanya menghangat bersamaan dengan pancaran keemasan yang menyingsing nun di timur. Ia kembali mengulurkan senar pancingnya dengan antusias.

Berturut-turut setelah itu, lima kakap merah berukuran sedang, tiga ekor kerapu besar, seekor belida dewasa, dan seekor matabelao mengisi lambung perahunya. Tekad dan keberanian Ama Kletus dalam mengambil risiko melaut hari ini rupa-rupanya diganjari rezeki. Para penguasa lautan seperti sedang tersenyum kepadanya setelah semalam ia terisak-isak di samping peti mati Ama Ola. Ama Kletus kian yakin akan petuah kakeknya dulu, bahwa alam selalu punya caranya yang ajaib untuk membantu seseorang di masa-masa sulit, asalkan ia tulus, punya tekad, dan keberanian.

Sinar matahari belum terlampau menyengat, ketika lambung perahu Ama Kletus terisi penuh oleh ikan. Badan perahu seperti tertancap ke dalam laut. Permukaan air laut kini nyaris rata dengan badan perahu. Umpan irisan ikan yang masih tersisa, ia tenggelamkan. Jika laut telah melimpahinya dengan berkah, maka sudah sepantasnya ia memberikan apa yang tersisa darinya untuk para penghuni laut. Rezeki hari ini, cukup untuk membeli beberapa kilo beras, menghasilkan beberapa puluh ribu lembar rupiah, dan bisa dinikmati oleh penduduk kampung yang melayat. Dengan dada terasa ringan seperti diterbangkan angin laut, ia kembali ke daratan.

Setengah jam jelang pemakaman, suara tangisan tiba-tiba pecah di halaman rumah tempat jenazah Ama Ola disemayamkan. Para pelayat yang mulai berdatangan dibuat terpana oleh kehadiran sosok seorang perempuan empat puluhan tahun dan dua bocah laki-laki. Seperti magnet, semua mata segera beralih kepada ketiganya. Tanpa hirau pada tatapan khalayak, ketiganya masuk rumah duka dengan isak tangis yang memilukan. Di samping peti mati, tangis ketiganya semakin menjadi-jadi. Dua bocah laki-laki yang berumur sekitar delapan dan enam tahun yang menemani perempuan itu meraung-raung sambil berteriak, “Bapa bangun! Bapa bangun!” berulang-ulang kali.

Di tengah isak tangis itu pula bisik-bisik, “Itu Ina Kewa, istrinya Ama Kletus,” segera menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Ama Kletus yang berdiri di antara para pelayat tampak mematung seakan-akan belum memercayai matanya. Masih dengan mulut setengah terbuka ia menerobos para pelayat yang mulai berkerumun di depan pintu rumah. Benar memang. Ina Kewa istrinya berlutut di samping peti mati Ama Ola sambil tersedu sedan memeluk kedua bocah lelaki yang mengapitinya. Kedua bocah itu memanggil-manggil Ama Ola yang terbujur kaku dengan panggilan bapa yang timbul-tenggelam. Pandangan Ama Kletus perlahan-lahan jadi buram. Air matanya luruh. Di balik buram matanya, punggung kedua bocah itu terlihat bergetar hebat. Entah dari mana datangnya, sebuah jawaban seketika hadir dan membentur dinding kesadaran Ama Kletus. Kini ia paham, mengapa usia hidupnya diperpanjang.

[1] Makanan khas masyarakat di Flores Timur (NTT) dari jagung. Disebut jagung titi karena setelah disangrai, jagung dititi di atas batu hingga pipih.

[2] Pelepuh bambu untuk dinding rumah.

[3] Upacara (doa) untuk arwah yang baru meninggal, diadakan pada hari ketiga setelah pemakaman.

[4] Cadik perahu.

[5] Pulau kecil, biasanya tanpa penghuni manusia.

Pasar Minggu, Juni 2020.

Juan Kromen
Latest posts by Juan Kromen (see all)

Comments

  1. Urip Widodo Reply

    cerita yang sederhana tapi miris.
    nice story

  2. Juan Kromen Reply

    Terima kasih sudah membacanya, Kaka…🙏🏾

  3. Aksa Reply

    Cm aga bingung antara Ama Ola dan Ama Abas…klihatannya merujuk pada satu org yg sama ya…

    • Fal Reply

      Terima kasih, Kak Juan sudah menulis cerpen ini. Sedikit banyak jadi tahu kehidupan di perkampungan nelayan di Flores Timur sana. Suka sekali dengan gaya bercerita Kakak: tenang, sedikit bergelombang, dan diberi setitik ajakan berpikir di akhir. Ditunggu karya selanjutnya!

    • Icha ghozali Reply

      Its nice story. Byk yang terjadi spt itu. Salut bagus bgt meraciknya. Saya terbawa ke dalam indahnya laut flores

  4. Amalia Utami Reply

    Bahasanya bagus, jadi mengingat penulis zaman dulu😊

  5. N Reply

    Keren 👍

    • Juan Kromen Reply

      Terima kasih, Kaka…

  6. Juan Kromen Reply

    Betul Kaka Aksa… Itu ketoledoran saya… Rupa-rupanya saya tidak teliti dan cermat ketika membaca (mengedit) ulang cerita ini… Terima kasih sudah membacanya dgn teliti… Iya, nama yg saya maksudkan itu sebenarnya Ama Ola…

  7. Juan Kromen Reply

    Terima kasih sudah membacanya, Kaka Amalia Utami…

  8. Fal Reply

    Terima kasih, Kak Juan sudah menulis cerpen ini. Sedikit banyak jadi tahu kehidupan di perkampungan nelayan di Flores Timur sana. Suka sekali dengan gaya bercerita Kakak: tenang, sedikit bergelombang, dan diberi setitik ajakan berpikir di akhir. Ditunggu karya selanjutnya!

    • Juan Kromen Reply

      Terima kasih sudah membacanya, @Fal…
      Siap…😊🙏🏾

      • yanmalnadaa Reply

        semanagat terus ka nulis nya…

  9. eka Reply

    bagus…

  10. Hyemi Reply

    Kaget bagian endingnya 😥

  11. Aliya Reply

    Bagus banget kaka

  12. Muhammad Fiqih Reply

    Makin mantap tulisan tulisan bung ini.

  13. Intan Reply

    “alam selalu punya caranya yang ajaib untuk membantu seseorang di masa-masa sulit, asalkan ia tulus, punya tekad, dan keberanian”. ngena banget sih inii kata-katanya :”)
    Nggak nyangka banget sama endingnyaaa, sedih 🙁

  14. Abid Azhary Zain Reply

    Bolak balik baca cerita ini, suka dengan “gong” nya yang nggak ketebak sama sekali… ajib !

  15. Chrisnanda sihombing Reply

    Suka banget sama ceritanya…
    Gk nyangka sama endingnya😥😥
    Semangat terus buat ceritanya kakak😀😀

  16. Sekar Reply

    keren banget ceritanya, singkat, padat, dan tepat menusuk pada inti cerita. mantap, terus berkarya ya kakk. suka sama cara pembawaannyaa

Leave a Reply to Sekar Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!