
PEMBACA buku-buku sastra di Indonesia berhak sependapat dengan penilaian Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) seputar novel Max Havelaar karya Multatuli. Bahwa dianggapnya novel ini sanggup membukakan mata kaum bumiputra terkait penjajahan yang mereka alami di masa lalu, Pramoedya tak keliru. Bahkan menurut Pramoedya, novel ini berjasa karena turut berperan “membunuh kolonialisme” (Sirait, 2011:160).
Yang tak Pramoedya sadari di kemudian hari ialah, sosok Multatuli perlahan tapi pasti seperti menjadi sosok yang dikultuskan kelewat adiluhung. Jauh-jauh hari, penyair Subagio Sastrowardoyo (1989:86-93) sudah mencium gejala ini. Pelajaran sejarah di sekolah yang hanya berisi repetisi informasi, sejak revolusi hingga menjelang dua dekade pascareformasi, ditengarai turut melanggengkan mitos pengukuhan sosok Multatuli. Untuk itu, Subagio mengusulkan perlunya penafsiran ulang atas sosok Multatuli.
Jika Pramoedya menitikberatkan peran novel Max Havelaar dalam bingkai sosial-politis, alih-alih bersepakat, Subagio justru meragukan. Multatuli dianggap telah melakukan satu kecerobohan elusif, yang menurut Subagio fatal. Di dalam novelnya, Multatuli banyak mengisahkan tokoh-tokoh nyata sebagai bahan bakar cerita. Dan untuk menyiasatinya agar tak dianggap tengah menulis berita atau opini atau surat kesaksian belaka, Multatuli menggunakan nama samaran dalam penamaan tokoh-tokohnya, yaitu Residen Brest van Kempen disamarkan menjadi Slijmering; kontelir Langevelt van Hemert disamarkan menjadi Verbrugge, dan Letnan Collard disamarkan menjadi Duclari.
Sampai di sini belum kita temukan persoalan. Kecuali pada penamaan tokoh seorang bumiputra, yaitu bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara, Multatuli justru memilih memakai nama asli tokoh yang bersangkutan dan nama tersebut ditulis lengkap pula. Inilah yang lantas memicu Subagio berang. Alasan logis macam apakah yang sekiranya bisa Subagio terima, untuk menjelaskan dalih pembedaan sikap dalam menamai satu tokoh rekaan dan tokoh rekaan lainnya.
Multatuli bukannya tak paham risiko yang mesti ditanggung Raden Adipati Karta Natanegara ketika namanya ditulis persis di dalam novel. Untuk itulah Multatuli sendiri memilih menggunakan nama pena saat memublikasikan novelnya ini ketimbang mencantumkan nama aslinya: Eduard Douwes Dekker. Terkait motif di balik sikap Multatuli yang mendua inilah Subagio keberatan. Secara terang-benderang, Multatuli mencitrakan bupati Lebak sebagai sosok yang serba bangsat. Ini bisa pembaca simak di salah satu bagian novel Max Havelaar, seperti tertera di bagian surat kepada Residen Banten, berlabel “rahasia/segera”, bertitimangsa “Rangkas Bitung, 24 Februari 1856”. Di situ Multatuli (2014:411) menulis: ”Saya menuduh Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Natanegara, telah menyalahgunakan kekuasaan dengan menggunakan tenaga rakyatnya secara tidak sah, dan saya mencurigai-nya melakukan pemerasan ketika meminta hasil produksi in natura tanpa pembayaran, atau dengan harga yang ditetapkan secara acak”.
Kutipan surat protes bersifat rahasia ini berniat membeberkan kelakuan tak terpuji para bawahan Residen Banten. Mengapa Multatuli menyematkan nama asli untuk tokoh bumiputra, sedangkan untuk tokoh lainnya, terutama yang sebangsa dengan Multatuli, memakai nama samaran. Persoalannya kemudian ialah sosok Bupati Lebak tersebut benar-benar tokoh nyata yang hidup di zaman itu. Baiklah, semisal tokoh Adipati Karta Natanegara dalam kenyataannya memang berwatak buruk, tetap saja seharusnya Multatuli sebagai pengarang punya cara kreatif untuk menyiasatinya, tidak mentah-mentah mencomot nama lengkapnya. Imbas dari penamaan itu bisa berlanjut di masa depan.
Dengan sedikit emosional, Subagio menuduh Multatuli tak mempertimbangkan nama baik tokoh yang bersangkutan. ”Bagi keturunan bupati tersebut roman Max Havelaar merupakan buku yang mencemarkan nama keluarga untuk selamanya. Corengan pada mukanya tidak akan pernah lagi bisa terhapus dari ingatan orang. Sedang di antara keturunan bupati itu kini ada yang menjabat kedudukan yang tinggi di masyarakat. Apakah Multatuli pernah mempedulikan itu?” tegas Subagio. Tampak sekali Subagio tak ingin terseret dalam kultus mitologis atas sosok Multatuli.
Dipandang dari perannya sebagai novel yang menginspirasi, jelaslah terbitnya Max Havelaar menjadi “sumber ilham bagi pengarang-pengarang dalam merencanakan ujud tulisannya”. Namun ditilik dari bingkai perannya untuk masyarakat dan negara, Max Havelaar justru dianggap mengalami penyurutan. Parameternya ialah, satu di antaranya, apakah setelah novel tersebut terbit muncul perubahan besar-besaran di Hindia Belanda. Pendapat Pramoedya tak keliru, dan keberatan Subagio tetap beralasan.
Namun yang juga perlu kita perhatikan lebih intens lagi ialah gagasan Subagio untuk memerkarakan penamaan tokoh-tokoh dalam karya sastra. Mungkin pembaca sekalian bakal membatin, apa-apaan pula ini membahas alasan penamaan tokoh segala? Namun dari temuan Subagio, kekurangawasan dalam menamai tokoh rekaan punya imbas yang cukup serius. Jika hendak kita tarik satu simpulan sederhana, rupa-rupanya tidak ada yang sepele atau pantas disepelekan dalam menelisik sebuah karya sastra. Tiap-tiap anatomi dan unsur-unsur luar yang membentuk karya sastra sama-sama penting, sama-sama sarat maknawi.
Memang bukan yang pertama gagasan Subagio ini. Tujuh tahun sebelum esai Subagio tercetak dalam buku, dosen dan akademisi sastra Umar Junus (1983:8-16) sudah terlebih dahulu menyinggungnya. Jika para akademisi gemar membedah-bedah karya sastra laiknya seorang dokter bedah mengotopsi sesosok mayat, Junus bukan dokter semacam itu. Diperhatikannya sebuah karya sastra dengan pandangan seorang yang memiliki rasa ingin tahu sedemikian besarnya, lantas secara runut dan sistematis, Junus membabarkan pemahamannya seputar sistem-sistem yang melingkupi sebuah karya sastra, dalam hal ini novel/prosa, untuk menentukan bagaimana semestinya memaknai karya tersebut.
Dalam hemat Junus, novel dikuasai oleh dua sistem. Sistem pertama membentuk dirinya sendiri, yang kelak menentukan akan seperti apa struktur maupun intrinsik dari sebuah karya. Sistem kedua melingkupi sistem yang berada di luar, yang berperan vital dalam proses penciptaan karya sastra. Sederhananya, sebagai suatu kesatuan sistem, sistem besar disokong oleh sistem-sistem kecil. Ada hubungan saling menyokong dari masing-masing sistem di sini. Dan perihal nama tokoh, Junus menganggapnya bagian dari satu sistem meskipun berada dalam lintasan sistem-sistem terkecil.
Junus pun memaklumi, sistem nama tokoh dalam novel/prosa biasanya dianggap sebagai sesuatu yang periferal, berada di pinggir-pinggir belaka, sehingga kerap tak diperhatikan apalagi menjadi sasaran kajian. Seolah-olah kajian dan kritik sastra hanya tercipta untuk mengurusi tema-tema berat dalam novel, macam ideologi dan misi pewacanaan. Mungkin yang dimaksud Junus di sini ialah, kritik sastra hanya memandang sekilas saja persoalan nama, tak menyuntuki dan mengungkainya sampai tuntas. Karena apabila kita mencoba melihat konsep ideologi itu sendiri, segala-gala yang dilakukan dan dipikirkan oleh manusia sebenarnya bersikap ideologis. Sekadar untuk memilih rokok lights atau kretek saja sebenarnya sudah termasuk tindakan ideologis. Apalagi urusan nama.
Dugaan Junus saya kira tak meleset. Dari pembacaannya terhadap novel-novel Indonesia awal, nama-nama tokoh dimaksudkan sebagai lambang dan simbol. Junus memberi contoh, penamaan tokoh rekaan dalam novel Azab dan Sengsara garapan Merari Siregar, dia bagi dalam dua kategori: Tua (St. Baringin, Baginda Diatas) dan muda (Aminu’ddin, Mariamin). Dari penamaan ini Junus simpulkan nama di pihak “tua” dianggap bersifat tradisi, yang berarti memiliki keterikatan tradisi, keterikatan pada prinsip kekeluargaan, dan sesuatu yang mungkin bersifat “jahat”. Sebaliknya, kategori “muda” adalah nama yang diucapkan secara baru (Mariamin dipanggil Riam), yang menyimpulkan adanya keterlepasan dari ikatan tradisi, adanya nilai individu, serta bisa berarti bernilai baik. Semacam benih perlawanan dalam wujudnya yang terkecil. Tradisi yang mengekang adalah juga bentuk lain atau bentuk paling halus dari pembelengguan, atau bolehlah kita sebut penjajahan.
Pendapat Junus boleh dibilang masuk akal. Novel Azab dan Sengsara diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang kala itu masih di bawah kuasa Belanda. Gunting sensor sewaktu-waktu mengancam penerbitan novel ini seumpama terlalu gamblang memuat simtom-simtom perlawanan—yang oleh kolonial, perlawanan model apa pun dianggap berpotensi mengganggu kondisi stabilitas negara jajahan yang tengah dijaga betul. Bahkan pada era ini, ada semacam “petugas bahasa” yang menjaga agar buku-buku Balai Pustaka, sesuai “selera Balai Pustaka”. Nur Sutan Iskandar (1893-1975), misalnya, adalah korektor di Balai Pustaka yang memiliki “otoritas mengasuh dan mengolah bahasa Indonesia” (Mawardi, 2013).
Beruntung seumpama terpotong gunting sensor belaka, kaum pergerakan yang berjuang menentang kolonial Belanda melalui lembar-lembar koran dan majalah nasibnya lebih parah lagi. Tuduhan pers delict bisa dijadikan senjata untuk membuang, mengasingkan, memenjarakan, menjadikan kaum pergerakan manusia paling sundal, seumpama ada pernyataan atau berita yang ditengarai berpotensi merecoki kantung-kantung gulden kolonial Belanda.
Bertalian dengan kasus pers delict, ada satu tokoh yang kiranya perlu kita singgung di sini: Mas Marco Kartodikromo. Ia jurnalis bumiputra yang naga-naganya tak pernah kapok berurusan dengan pers delict. Serangkaian artikelnya yang berjudul “Sama Rasa, Sama Rata” yang diterbitkan Pantjaran Warna (13-17, 19-21 Februari 1917), menyebabkan Marco mesti merasai busuknya sisa tahi manusia yang mengering di tembok-tembok bui kolonial, setahun lamanya.
Tulisan Marco itu dituduh menghasut dan memprovokasi bumiputra untuk memberontak kepada Belanda. Tulisan lainnya, boleh saya sebutkan judulnya di sini: “Sjairnya Sentot” dan “Regent Bergerak”, lagi-lagi membuka pintu bui untuk Marco (Hartanto, 2008:216-2017). Menulis, mengkritik, dibui, menulis lagi, dibui lagi, menulis lagi, dibui lagi, lagi, lagi, dan lagi, begitulah Marco seterusnya, seolah-olah usus dua belas jarinya tak mau memproses ampas makanan menjadi tahi seumpama ia tak menulis lagi.
Bukannya Marco kapok menghajar kolonial lewat tulisan-tulisan di koran. Namun ancaman pers delict yang dialamatkan kepadanya, yang berujung penangkapan dan penahanan, mau tidak mau mengurangi tensi tulisannya. Mana bisa Marco memublikasikan tulisannya yang galak itu untuk dimuat di koran seumpama ia sendiri tak memiliki kebebasan dan kesempatan. Pada tahun 1918, di saat menjadi pesakitan di penjara, Marco akhirnya beroleh ide agar tetap bisa menulis (kritik). Marco bermuslihat menuangkan gejolak pikiran dan gagasannya ke dalam bentuk roman asmara berjudul Student Hidjo.
Bentuk roman memungkinkan bagi Marco menulis tak terlalu khawatir kena sensor. Apalagi isi roman yang Marco tulis memang lebih banyak menceritakan asmara muda-mudi bumiputra. Dan bukan Marco namanya bila tak cerdik menyisipkan pesan-pesan terselubung dalam tulisannya. Ditulisnya bagian demi bagian roman ini di dalam bui yang pada akhirnya, dengan pelbagai muslihat, menyapa pembaca secara berkala di Sinar Hindia. Tubuh boleh terbui tetapi perlawanan tetap berapi-api.
Secara ringkas, roman Student Hidjo mengisahkan pemuda bernama Hidjo yang berniat untuk bersekolah ke Belanda, semata-mata agar harga dirinya tak terus-menerus direndahkan oleh kaum Murjangkung dan konco-konconya. Selain menyoal pendidikan dan martabat seorang bumiputra, roman ini juga banyak dirangkai oleh narasi dan pengisahan asmara antara Hidjo dan dua tokoh perempuan bernama Raden Ajeng Biroe dan Raden Ajeng Woengoe. Saya kira bukan kebetulan jika Marco menamai tiga tokoh penting dalam roman ini memakai nama-nama warna.
Rudolf Mrazek (2006:199-200), indonesianis dan profesor sejarah dari Universitas Michigan, menduga penamaan itu masih bertalian dengan ideologi yang Marco anut. Penggunaan warna untuk nama memuat pesan ideologis. Nama tokoh utama, Hidjo, berarti “Hijau” dalam bahasa Melayu. Warna ini akrab dengan Islam, terutama untuk Islam bercorak nasionalistis. Sampai hari ini saja, kita tak terlalu sulit menunjuk partai atau ormas Islam mana saja yang mengusung warna hijau sebagai latar warna lambang organisasinya. Barangkali jika tak tengah dibui, bisa saja nama tokoh rekaan Marco bernama Merah Kesumba, Bara Merah, atau Fajar Merah, atau pembaca sekalian boleh mengusulkannya sendiri. Nama-nama ini tentu lebih sangar dan berkesan kekiri-kirian.
Pendapat Mrazek itu menegaskan, dari nama Hidjo ada sebuah sugesti (ideologis) Islam. Bagi Mrazek, warna hijau dimaksudkan oleh Marco sebagai manifestasi simbol Islam. Marco adalah aktivis Sarekat Islam (SI) dan pada tahun 1919 ia pernah diangkat sebagai komisaris Central Sarekat Islam (CSI). Meskipun pada kenyataannya Marco sering kali bersilang pendapat dengan tokoh-tokoh di dua organisasi pergerakan tersebut. Mrazek menyebut warna hijau ini sebagai “panji hijau Nabi”, yang bisa dimaknai mengusung makna “iman yang kuat, keteguhan, dan kemurnian”. Sedangkan nama teman wanita Hidjo adalah Biroe, yang berarti “Biru,” dan teman wanita lainnya adalah Woengoe, yang dibaca “Ungu”.
Penggunaan warna untuk nama mengingatkan pembaca pada persoalan warna kulit, rasialisme. Jelas, ini kritik keras Marco terhadap laku-laku rasialisme yang dalam kenyataannya memang kerap ditujukan oleh kolonial Belanda kepada kawula terjajah. Belanda sebagai kaum berkulit putih yang selalu merasa lebih tinggi pundaknya dan bumiputra yang berkulit mirip pelitur encer dianggap bangsa rendahan dan terperintah. Watak tersebut terepresentasikan dengan jelas dalam sikap Anna (Belanda) yang “menghina” Hidjo yang orang Jawa. Dengan sedikit meledek, Marco menyindir kelakuan rasis orang-orang Belanda kala itu lewat dialog Hidjo dan Anna.
“Tuan Hidjo, Tuan orang Jawa,” kata Anna sambil tertawa.
…
“Apakah Tuan bodoh?” tanya Anna untuk humor.
“Ya, saya bodoh,” jawab Hidjo sambil seperempat tertawa seperti biasanya.
“Ya, memang, meski Tuan kandidat insinyur, tetapi Tuan orang bodoh,” kata Anna untuk mengguncangkan hati Hidjo, “Orang Jawa bodoh, cis!”
(Kartodikromo, 2015: 28-29)
Dialog di atas mungkin terkesan lelucon belaka meski memuat persoalan serius. Ada dua kata yang hendak dikonotasikan oleh Anna lewat dialog tersebut: bodoh dan Jawa. Apakah orang Jawa kala itu bodoh-bodoh? Hidjo tak ingin meladeni ejekan Anna si gadis Belanda dengan emosi atau sakit hati. Ia mesti sabar, bodoh hendak ia buang jauh di Belanda, dan menggantinya dengan gelar insinyur. Gelar mentereng bakal membuat Hidjo tak lagi dianggap bodoh. Hal yang kemudian begitu mengejutkan Hidjo ketika sampai di Belanda ialah sikap dan sambutan kaum Murjangkung pada kenyataannya tak seperti yang dia temui di Hindia Belanda. Jika di Hindia tokoh Hidjo acap mendapati ulah orang-orang Belanda yang bersikap sesuka hati terhadap kaum bumiputra, di Belanda justru sebaliknya. Hidjo disambut selayaknya turis-turis berduit, berjabatan. Dengan berlagak mengejek, beginilah cara Marco mendeskripsikan kedatangan Hidjo saat memasuki hotel di negerinya Daendels itu.
“Setelah Hidjo dan leerar-nya turun dari kapal, mereka langsung ke hotel. Kedatangannya di situ, Hidjo dihormati betul oleh para pelayan hotel. Sebab mereka berpikir, kalau orang baru datang dari Tanah Hindia pasti banyak uangnya. Lebih-lebih kalau orang Jawa. Maka dari itu Hidjo tertawa dalam hati melihat keadaan serupa itu. Karena ia ingat nasib bangsanya sama dihina oleh bangsa Belanda.”
(Kartodikromo, 2015:41)
Ada yang kentara tengah diutarakan Marco dalam roman ini: isu kesetaraan. Karena memang, ada banyak hal yang tak akan bisa sepenuhnya kau dapatkan seumpama kau hidup di era itu, apalagi kesetaraan. Bisa kau bayangkan misalnya pada tahun 1940-an kau hidup sebagai seorang bumiputra. Saat itu kau tengah mengurusi kepentingan administrasi di sebuah gedung milik Belanda dan tanpa diduga mendadak kau harus buang hajat. Kau pun bertanya pada seorang petugas gedung, menanyakan di mana letak toilet. Sesampainya di depan toilet, bukannya lekas-lekas “buang sampah”, kau justru tertegun di hadapan pintu toilet sembari menahan amarah. Toilet itu ada empat, dan di atas pintu ada kayu bertuliskan: 1. Pimpinan; 2. Staf (kulit putih); 3. Orang Asia; 4. Juru tulis dan orang lain (Mrazek, 2006:83). Mau marah tapi sama siapa, begitulah kira-kira apa yang bakal kau pikirkan.
Menjadi setara memang bisa berarti persoalan hidup atau mati. Tak sedikit tokoh-tokoh penyebar nasionalisme Indonesia di masa lalu pada akhirnya diasingkan hanya karena menuntut diperlakukan setara. Maka, upaya paling masuk akal untuk mendapati kesetaraan adalah melalui sekolah. Meski untuk bersekolah pun, hanya pemuda bumiputra anak priyayi atau saudagar atau juragan tanah sajalah yang berkesempatan. Pun dengan Hidjo, ayahnya yang priyayilah yang meluluskan niatnya mencapai kesetaraan, tentu setelah mulus mengusaikan studi. Dan setibanya di Hindia Belanda, Hidjo memilih berkarier sebagai jaksa. Setidaknya dengan menjadi jaksa, Hidjo tak dianggap bagian dari puak rendahan.
Untuk itu tak keliru bila kita yakini Marco menganggap unsur nama tokoh rekaan dalam karyanya bukan bunga-bunga karangan belaka. Marco memaksimalkan sepenuhnya pemanfaatan nama sebagai perantara kritik dan sindiran. Hal serupa itu juga bisa kita dapati dalam novel Tetralogi Buru garapan Pramoedya Ananta Toer. Tokoh utama bernama Minke alias R.M. Tirto Adhisoerjo. Nama yang saya sebut terakhir itu milik sang pioner jurnalis bumiputra di Hindia Belanda. Sedangkan nama yang saya sebut pertama, selain kurang enak didengar, juga mengingatkan kita pada sebutan monkey alias monyet. Mengapa Pramoedya menamai tokohnya Minke? Agar lebih mudah, saya akan sarikan jawaban Pramoedya untuk pembaca sekalian, seperti dijelaskan dengan berpanjang-panjang dalam novel Bumi Manusia itu.
Semua bermula ketika tokoh R.M. Tirto Adhisoerjo memutuskan nekat bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) meski ia tak lancar berbahasa Belanda. Lantaran dalam kesehariannya pertanyaan demi pertanyaan dari sang guru tak pernah bisa Tirto jawab, karena memang gagap berbahasa Belanda, Tirto pun tinggal kelas. Tak tanggung-tanggung malah, dua tahun lamanya! Imbasnya tentu ia kerap jadi sasaran tangan-tangan usil teman sebayanya, anak-anak tuan Belanda. Jangankan tinggal kelas, wajahmu yang Jawa pun bisa dijadikan olok-olok, bahkan oleh rekan sebangsamu jika gigimu agak tonggos; bibirmu agak kelebihan ukuran dibanding yang lain. Begitulah, manusia memang punya keahlian kodrati dari Tuhan untuk menjadikan segala hal, benar-benar segala hal, jadi bahan olokan.
Kembali ke Minke. Ejekan dan hinaan itu mencapai pamungkasnya pada saat berlangsung kegiatan belajar yang diampu oleh Meneer Rooseboom. Tirto dijahili gadis Belanda teman sekelasnya yang bernama Vera. Pahanya dicubit. Merasa cubitan Vera itu begitu memedihkan, Tirto pun menjerit sekonyong-konyong. Gerrr… Sontak kelas pun jadi riuh. Mendengar Tirto bikin gaduh di kelas, Meneer Rooseboom naik darah. Dibentaknya Tirto: “Diam kau, monk…Minke!” Agak dipaksakan memang kalau saya pikir-pikir. Lanjut, “Sejak itulah seluruh klas, yang baru mengenal aku, memanggil aku Minke, satu-satunya Pribumi. Kemudian juga guru-guruku juga teman-teman semua klas juga yang di luar sekolah” (Toer, 2010:51).
Bermula umpatan, berujung nama panggilan. Pramoedya tentu sadar atas pilihannya menamai tokoh rekaannya dengan sebutan berkonotasi umpatan (monyet). Nama ini oleh Pramoedya barangkali hendak dijadikan sindiran dan pengingat: dulu, kolonial menganggap bumiputra sebagai monyet—terperintah, bodoh, dan bodoh. Dan Pramoedya hendak menolaknya, semua. Dalam perkembangannya, tokoh Minke mengalami proses pembentukan diri sebagai seorang jurnalis intelektual dan aktivis pergerakan.
Minke, seorang individu terhina yang perlahan tumbuh menjadi tokoh penentang kolonialisme. Membaca dan membayangkan sosok Minke, kita sebenarnya tengah melihat seorang anak rohani dari seorang Pramoedya. Jiwa dan semangat anti-kolonialisme, serta perjuangan dan pergerakannya di bidang pers, tampak linear antara diri pengarang dan tokohnya ini. Sepak terjang Pramoedya sebagai seorang penentang kolonialisme terbaca dari tulisan-tulisannya yang kala itu termuat di lembar kebudayaan Lentera di koran Bintang Timur.
Penciptaan nama tokoh mengacu ideologi tokoh dalam sastra berhasil diterapkan secara mutlak oleh novelis Gitanyali, yang pada akhirnya kita ketahui bersama adalah nama samaran dari Bre Redana, mantan pengisi kolom di harian Kompas, dalam jilid pertama dwilogi novel berjudul Blues Merbabu dan 1965. Secara ringkas, Blues Merbabu mengisahkan masa kelam tokoh Gitanyali sebagai anak seorang petugas Partai Komunis Indonesia (PKI). Seorang bocah yang pada mulanya tak pernah tahu kenapa ayahnya dijemput dan ibunya dipenjara, setelah beranjak dewasa barulah mendapat gambaran jelas nasib yang menimpa keluarganya itu. Novel ini menghadirkan peristiwa G30S dari kisahan seorang bocah, memori kota, serta kenakalan-kenakalan remaja.
Terkait penamaan, bisa kita simak dalam adegan ketika Gitanyali menceritakan alasan ayahnya menamai putra-putrinya.
“Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Paling besar lelaki, Mas Tantra. Nama lengkapnya Tantra Merahbala. Ayahku, Sutanto Singayuda (Singayuda nama kakek) memberi nama anaknya pun ideologis sekali. Tantra artinya “tentara”, “laskar”, sedangkan merah ya merah, sementara bala maksudnya kurang lebih kawanan. Itu disesuaikan dengan ideologi kiri ayahku, kader komunis. Tantra merahbala adalah tentara kawanan merah.” (Gitanyali, 2011:9)
Penjelasan Gitanyali pada paragraf ini eksplisit menjelaskan nama dalam pengaruh selubung ideologi. Tokoh ayah hendak menerapkan ideologi komunis yang dia anut untuk disematkan ke nama anak-anaknya. Nama hendak difungsikan untuk menjelaskan keyakinan dan keberpihakan politis-ideologis. Nama itu bakal menjadikan sosok ayah mendapat citra loyal dan total dalam menjalankan dan mengamalkan ideologinya. Apalagi, dikisahkan dalam novel tersebut sosok ayah adalah “sosok keras dalam pendidikan”. Barangkali ayah ingin mendidik anaknya betapa ajaran ideologi harus sepenuhnya dijunjung tinggi-tinggi. Dan penamaan berlanggam ideologi pun tak hanya berlaku pada anak-anaknya yang lelaki, perempuan sama saja. “Nomor dua perempuan, Mbak Mirah. Mirah Kencana. Dilihat dari puitiknya nama-nama itu di telingaku, ayahku asli seniman merah. Semua serba merah. Merah, mirah,” tulis Gitanyali.
Keputusan Gitanyali menuliskan paragraf ini tentu bermaksud untuk memberi gambaran secara utuh perihal kecenderungan atau kebiasaan para penganut ideologi komunis di masa lalu. Keterpukauan orang-orang pada para pemikir atau tokoh-tokoh kondang berideologi tertentu merangsang mereka “mengawetkan” kekaguman itu pada nama anak-anaknya. Penamaan itu tentu berisiko mengecewakan seumpama pada kemudian hari orang-orang itu merasa ideologi dan orang-orang yang dianutnya sudah tak lagi bisa dijadikan teladan dianggap melenceng. Tetapi seharusnya hal itu sudah mereka pertimbangkan masak-masak.
Dalam perkara ini, Marco, Pramoedya, dan Gitanyali, jelas sekali tak memiliki pandangan bahwa nama dalam roman mereka adalah hal yang, meminjam listilah Junus, sesuatu yang periferal, berada di pinggir-pinggir. Di novel Student Hidjo, nama itu simbol, merunut tafsir Mrazek, yang menekankan kebertalian antara warna “hijau” dan Islam. Sedangkan penyebutan Minke dimaksudkan oleh Pramoedya agar ada efek bawah sadar yang sengaja ditanamkan ke pembaca, terutama simpati dan keberpihakan pembaca pada tokoh Minke yang sejak mula sudah diremehkan dan dihinakan oleh seorang guru Belanda. Dan pemilihan nama Tantra Merahbala oleh pengarang Gitanyali tampaknya menjadi salah satu puncak penamaan yang ideologis.
Yang agaknya juga perlu kita cermati kemudian ialah eksplorasi penamaan tokoh-tokoh dalam roman atau prosa yang ditempuhi oleh Umar Kayam, terutama dalam romannya Para Priyayi, sebuah novel yang membabar habis kehidupan priyayi Jawa awal abad XIX. Secara pendekatan antropologis-sosiologis, Umar kayam berhasil, tidak saja mengisahkan, menghadirkan secara “nyata” watak dan alam pikir priyayi Jawa, dalam segala tindakan dan pandangannya. Nilai-nilai kejawaan yang dianut kaum priyayi, seutuhnya menjadi penggerak cerita. Watak kepriyayian menjadi fondasi utama untuk membelok, meluruskan, atau memutar alur cerita novel. Inilah yang saya kira menjadikan Umar Kayam seperti dua langkah lebih maju dalam mengolah nama-nama tokoh dalam novel.
Di novelnya yang berjudul Para Priyayi, Umar Kayam menyinggung kepercayaan para priyayi Jawa yang menganggap nama bukanlah sesuatu yang ajeg, tetap. Memang, nama itu sakral. Namun, nama seseorang harus juga mempertimbangkan status sosial penyandangnya. Seorang yang mendapatkan kepriyayiannya lewat cara-cara non-biologis, yaitu dengan cara menempuh pendidikan tinggi atau lewat pernikahan, harus berterima ketika namanya mesti diganti. Ini pula yang membuat persoalan nama menjadi fragmen yang tak bisa dipisahkan dalam novel Para Priyayi.
Dengan demikian eksplorasi nama tak melulu mengutamakan misi ideologis belaka, seperti dilakoni Multatuli, Marco, dan Pramoedya—setidaknya saya tak mendapati Umar Kayam secara berlebih-lebihan mengupayakan agar keyakinan priyayi Jawa yang ia kisahkan disepakati oleh pembaca sebagai kepercayaan (orang kerap berlebihan menyebutnya sebagai “tradisi”) yang “mesti” dijaga, dipelihara. Perubahan nama dan makna nama tokoh-tokoh di novel ini adalah sebuah konsekuensi logis dalam kehidupan priyayi Jawa. Nah, pemahaman Umar Kayam yang mendalam terhadap nilai-nilai kejawaan inilah yang membuatnya merasa enteng-enteng saja untuk mengupas perubahan nama dari para tokoh-tokoh dalam novelnya.
Di halaman-halaman awal novel, kita diajak berkenalan dan memasuki dunia tokoh Lantip. Ia seorang anak desa yang melarat. Lantip diangkat anak oleh Sastrodarsono, keponakannya yang berstatus priyayi, dan darinyalah kemudian Lantip mendapat kesempatan untuk bersekolah. Status Lantip perlahan naik, dari anak petani biasa menjadi bagian dari keluarga priyayi. Perubahan ini dimulai dari pekerjaan lantas menjalar ke urusan nama. Semula, Lantip bernama Wage. Nama ini pemberian embok, tersebab ia dilahirkan pada hari Sabtu Wage. Namun bagi keluarga Sastrodarsono, nama Wage sangatlah “kurang pantes”, kurang cocok untuk anak sekolahan. “Nama Wage rasanya kok kurang pantes buat anak sekolah. Saya usul namanya diganti Lantip. Lantip artinya cerdas, tajam otaknya…Bukankah nama Wage memang nama yang benar-benar ndeso dan wagu, kaku dan tak indah,” (Kayam, 1992:20-21). Rupanya tak hanya pisau atau arit saja yang mesti tajam. Otak juga mesti tajam biar gampang membedah persoalan dan kesulitan hidup. Nama pun mesti indah agar enak didengar dan pantas.
Orang-orang Jawa di masa lalu memang sudah memiliki kebiasaan memberi nama anak-anaknya berdasarkan beberapa pertimbangan. Inspirasi pemerolehan nama bisa dipungut dari cerita wayang populer, terutama nama-nama tokoh yang sekiranya memiliki citra, watak, dan nasib yang elok. Di masa lalu, pentas pakeliran padat atau wayang kulit biasa digelar tiap-tiap peringatan atau hari besar Jawa, dan ini kerap dijadikan referensi bagi orang Jawa menamai anak-anaknya. Umar Kayam memisalkan pemilihan nama Harimurti, putra Wardojo, cucu Sastrodarsono: “Maka kami namakan dia Harimurti, dengan harapan ia akan sehitam Batara Kresna, titisan Wisnu itu” (Kayam, 1992:161). Bersama kelahiran seorang anak, lahir pula sebuah harapan, cita-cita, bahkan doa, dari orang tua.
Seorang linguis dari Belanda, Uhlenbeck (1982) menjelaskan bahwa orang Jawa biasanya memberi nama anaknya menggunakan nama-nama hari, weton, dan bulan, dalam kalender Jawa. Juga dari bahasa Jawa kuno, karya sastra, serta tokoh-tokoh nabi dan rasul yang tertera di dalam al-Qur’an. Bahkan tak jarang, nama bunga, tanaman, dan hewan pun dijadikan rujukan. Seumpama dalam memilih nama untuk anak masih tebersit keraguan-raguan yang meresahkan, orang Jawa punya alternatif lain, yaitu meminta pertimbangan, atau meminta langsung, kepada orang tua, “orang pintar”, dukun, dan kiai.
Meski agaknya kini banyak orang Jawa modern, terutama sejak produk budaya populer seperti iklan dan sinetron menyusup ke tengah-tengah ruang keluarga lewat televisi, tergoda memberi nama anaknya dengan percontohan nama-nama bintang sinetron dan penyanyi kondang. Nama-nama itu tak jarang susah dilafalkan, terdengar aneh di kuping orang Jawa tapi tetap saja dipaksakan dengan alasan modern dan kekinian.
Apa yang Lantip alami bukanlah sesuatu yang baru dua-tiga hari kemarin terjadi. Seperti warisan turun-temurun, Sastrodarsono juga pernah mengalami. Semula ia bernama Soedarsono. Namun oleh Pakdenya yang priyayi nama ini disebutnya nama untuk anak-anak. Mendapat status priyayi berkat mendapat pekerjaan sebagai guru, itu berarti Soedarsono harus punya nama baru: “…sepantasnya kamu menyandang nama tua, Le. Namamu sekarang Sastrodarsono. Itu nama yang kami anggap pantas buat seorang guru karena guru akan banyak menulis di samping mengajar. Sastro rak berarti tulis to, Le.” (Kayam, 1992:35). Tentunya kita tak usah membayangkan jika hal tersebut terjadi pada zaman ini, tentu bakal repot mengurus perubahan nama ke kantor catatan sipil. Dari sini bisa kita tarik satu simpulan sederhana: tema priyayi Jawa menjadikan Umar Kayam “mau tak mau” mesti mengeksplorasi persoalan nama tokoh, sama halnya seperti seorang lajang yang memilih menikahi janda beranak satu—secara otomatis pula anak si janda yang ia nikahi jadi tanggungannya. Justru akan menjadi ganjil apabila Umar Kayam tak menyengajakan diri menampilkan pembahasan-pembahasan seputar nama dalam novel tersebut.
Bahkan dalam novel lain yang juga mengambil latar kehidupan orang Jawa di pedesaan, persoalan nama juga jadi sorotan. Kuntowijoyo, lewat novel Mantra Pejinak Ular menyinggung persoalan memberi nama pada orang Jawa sejak bab pertama. Novel yang semula terbit berseri di harian Kompas edisi 1 Mei sampai 8 Juli 2000 ini mengangkat cerita seputar kehidupan dalang muda bernama Abu Kasan Sapari di Kemuning, sebuah desa sekitaran paha Gunung Lawu. Abu Kasan Sapari hidup dalam lingkungan Jawa yang kental sekaligus akrab dengan corak ajaran agama Islam. Ini dibuktikan dengan dalih pemberian nama Abu Kasan Sapari sekaligus ritual yang diselenggarakan oleh keluarganya saat mengumumkan nama tersebut.
Pengumuman nama disambut perayaan sederhana mengusung tradisi Jawa: “Pada hari kelima, diadakan sepasaran dengan mengundang macapatan dan gamelan sederhana.” Pemberian nama pada si jabang bayi diiringi madah dan alunan gamelan Jawa, mengesankan ada pengenalan nilai-nilai kejawaan sejak bayi. Ritual penyambutan nama berlangsung meriah, kidung Dandanggula warisan Sunan Kalijaga sengaja disenandungkan, bermisi doa dan harapan: Anakidungrumeksa ing wengi/ Teguh ayu luputa ing lara/ Kalisa bilai kabeh/ Jim setan datan purun/ Paneluhan tan ana wani/ Miwah panggawe ala/ Gunaning wong luput/ Agni atemahan tirta/ Maling adoh tan ana ngarah/ Mring mami/ Tuju dudu pan sirna. Kidung Jawa ini mengamanatkan harapan agar jabang bayi terhindar dari penyakit, dijauhkan dari penderitaan, serta dilindungi dari godaan setan dan jin.
Kuntowijoyo lantas mengisahkan alasan keluarga memilih nama untuk si jabang bayi: “Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua orangtuanya”. Benar apa yang disimpulkan oleh Uhlenbeck. Terkhusus orang-orang Jawa beragama Islam, mereka selalu punya kecenderungan memberi nama anak-anaknya merujuk pada hal-hal terkait Nabi Muhammad. Dalam penamaan Abu Kasan Sapari, keluarga memilih mengombinasikan unsur nama bulan dalam Islam dan nama orang terdekat Nabi. Penamaan ini pun berpengharapan agar “nama itu ada pengaruhnya pada jabang yang baru lahir”. Bagi Kuntowijoyo, pemberian nama tokoh rekaan berlatar cerita kehidupan orang Jawa-Islam yang kental harus memuat anutan identitas dan keyakinan, sebagai orang Jawa sekaligus orang Islam. Hasilnya, penciptaan nama mengacu referensi Islam sedangkan ritual penyambutannya mengacu tradisi Jawa. Keyakinan Kuntowijoyo ini senada dengan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun, tepatnya saat dia menulis novel Burung-Burung Manyar. Romo Mangun mengaku, “memang saya ingin setia kepada prinsip Jawa, bahwa nama orang bukan sekadar tanda pengenal, tetapi mengandung makna” (Matabaca, 2002:29).
Namun bukan berarti kebebasan pengarang dalam mengeksplorasi nama-nama tokoh rekaannya kemudian hanya bergantung pada tema dan persoalan yang mereka usung. Seolah-olah hanya tema-tema yang berelasi secara langsung dengan suatu tradisi tertentu, yang kelak menyokong nama tokoh rekaannya menjadi punya kekhasan. Terkhusus hal ini, nama prosais ciamik Triyanto Triwikromo mesti saya sebut. Dalam bermain-main—mungkin lebih tepatnya berakrobatik—dengan nama-nama tokoh rekaannya, Triyanto boleh dibilang termasuk pengarang yang sedari awal ia berkarya (terutama cerpen) secara sadar dan terus-menerus mencari kemungkinan dalam menggunakan nama-nama “khusus” untuk nama tokoh rekaannya.
Sebuah buku tipis, dengan corak warna kuning tua di sampulnya, bergambar sesosok lelaki berbaju lusuh dan terlihat seperti tengah terpental atau seperti habis tertembak lantas terpental, mengawali kecurigaan saya atas gelagat Triyanto dalam mengeksplorasi nama tokoh. Buku ini terbit tahun 1994, lima tahun setelah ia menyandang titel penyair terbaik versi majalah Gadis. Cerpen milik Triyanto jadi etalase buku ini alias didapuk sebagai judul buku: Ritus (1995). Apa maksud “ritus” dalam cerpen Triyanto? Sebelum gegabah menjawab, pembaca sekalian boleh membuka kamus dan bakal mendapati arti “ritus” adalah “tata cara dalam upacara agama”.
Pembaca sekalian tak usah lekas menyalahkan cerpen Triyanto karena tak menempatkan kata “ritus” sebagaimana mestinya. Bagi Triyanto Ritus adalah sebuah nama yang eksotis. Dan jika dibanding dengan tiga belas cerpen lain yang tergabung di buku itu, cerpen Ritus memang paling menyita perhatian: sebuah cerita yang memperkatakan keberagamaan manusia. Dan begitulah kecenderungan Triyanto selanjutnya, gemar menciptakan nama tokoh rekaan sedemikian khasnya: Manyar, Kabrut, Blandrek, Abilawa, Ragaula, Rudrat, Natasja Korolenko, Nyonya Bangsa, dan seterusnya (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003, dan Ular di Mangkuk Nabi, 2009). Coba kata ini, bongkar pasang kata ini dengan kata itu, silang-saling nama tokoh ini dengan nama tokoh itu, begitu seterusnya hingga terciptalah nama-nama yang, dalam amatan saya, menguarkan kesan gaib, mistis, ajaib.
Nama-nama itu mungkin tak terlalu asing bagi saya tetapi sanggup memunculkan kelebatan teror, seperti kilatan cahaya petir: hanya sepersekian atau satu detik saja tapi sanggup membuat orang-orang yang melihatnya merasa ngeri dan bergidik. Dan berbarengan dengan kilatan itu muncul pula kelebatan ingatan, cerita-cerita traumatis, bayangan atas tragedi sejarah, serta gumam-gumam tokoh-tokoh adiluhung masa lalu di negeri ini. Inilah yang saya rasakan ketika membaca novel Surga Sungsang—saya memilih menyebutnya novel meski boleh saja jika hendak menyebutnya kumpulan cerpen yang padu.
Nama tokoh-tokoh dalam Surga Sungsang memang tak bisa dianggap sebatas hasil “iseng-iseng” Triyanto belaka. Mengkhatamkan novel ini dengan pelan dan bersabar, terlacak ada semacam “jurus” yang Triyanto gunakan untuk mencipta nama dengan harapan muncul efek-efek tertentu. Selain itu, memanglah tak bisa kita mungkiri, Triyanto, hampir di semua cerpennya, terkhusus yang ditulis sepuluh tahun terakhir, gemar mencipta—tidak hanya nama—frasa-frasa “canggih”.
Kegemaran Triyanto ini pun sempat pula memicu kritik. Dalam esai-kritik berjudul Upaya Mengekang Diri dan Tafsir yang Dibatalkan Telaah atas cerita pendek Triyanto Triwikromo Sayap Kabut Sultan Ngamid, AS Laksana (2017) menganggap kegemaran Triyanto menggunakan kata sayap yang disandingkan dengan warna-warna tertentu, mengakibatkan Triyanto seperti tengah “mencontek diri sendiri terus-menerus”—meskipun sebenarnya Triyanto bebas-bebas saja mengulanginya, toh itu jurus pilihannya sendiri.
Pembaca, kita kembali ke penamaan tokoh dalam Surga Sungsang. Hampir semua nama tokoh dalam novel itu berhasil menciptakan “semacam” estetika yang menguatkan misi “kesungsangan” yang hendak Triyanto capai. Perhatikan baik-baik nama-nama tokoh sentral berikut: Kiai Siti, Kufah, Syekh Muso, Zaenab, dan Pangeran Langit Abu Jenar. Apa yang kemudian secara tiba-tiba terlintas di benak pembaca ketika mencermati nama-nama tersebut? Berikut akan saya ceritakan kesan-kesan saya ketika merenungi nama-nama tadi.
Pangeran Langit Abu Jenar. Fantastis betul nama ini. Kesan megah seolah langsung menyergap imajinasi saya membayangkan tokoh ini. Triyanto mendeskripsikan tokoh ini sesosok berjenggot “pemeluk teguh syariat”. Bagian terakhir namanya, “Jenar”, tak bisa tidak, bakal mengajak pembaca tergoda untuk mengait-ngaitkannya dengan sosok penuh kontroversi dalam persebaran agama Islam di tanah Jawa, yaitu Syekh Siti Jenar. Apalagi latar tempat cerita di buku ini memang berada di daerah pusat persebaran agama Islam di Jawa, yaitu di Demak.
Di Jawa, narasi ketokohan Syekh Siti Jenar memang kerap disisipi mitos dan cerita seputar kejadian-kejadian di luar nalar. Namun Triyanto tak hendak menggunakan nama Syekh Siti Jenar sebagai nama/sosok yang utuh. Ia justru menciptakan karakter tokoh lain bernama Kiai Siti. Nama Syekh Siti Jenar dijadikan dua nama tokoh berlainan watak: Kiai Siti dan Abu Jenar. Sebagai sesepuh kampung, Kiai Siti dikisahkan punya sikap yang tenang dalam menghadapi pelbagai persoalan. Ia tak ceroboh menghadapi persoalan sensitif bertalian dengan urusan syariat agama. Penamaan sosok Kiai Siti dan Panglima Langit Abu Jenar berhasil mencampuradukkan, dengan saling membenturkannya satu sama lain, ingatan pembaca atas sosok Syekh Siti Jenar yang terpahami lewat buku, mitos, maupun film.
Sementara itu, tokoh yang menjadi titik pusat cerita novel ini, Syekh Muso, dikisahkan sebagai sosok bijak dan penuh wibawa sehingga menakjubkan masyarakat di Tanjung Kluwung (latar tempat cerita Surga Sungsang) serta memiliki banyak pengikut. Syekh Muso dipercaya memiliki mukjizat karena ia sanggup menyibak laut dengan tongkat (ingat mukjizat Nabi Musa As,?), bisa bercakap-cakap dengan hewan (ingat mukjizat Nabi Sulaiman As.?), serta konon bisa terbang dan menghilang. Syekh Muso pulalah yang telah berjasa mendirikan masjid dan membuka rawa-rawa menjadi kampung.
Sampai akhirnya ia wafat, Syekh Muso dimakamkan di sebuah bukit yang eksotis di Tanjung Kluwung. Jika air laut pasang, jalan menuju makam seperti raib ditelan ombak laut. Dan saat surut, jalan itu seperti muncul secara ajaib dari bawah laut. Dari makam inilah Triyanto mengelindankan cerita agar saling berkait. Sampai akhirnya keberadaan makam dipersoalkan oleh pemodal dari kota yang ambisius dan rakus. Hendak diledakkan dan diubah makam itu menjadi destinasi wisata resort dan hotel, begitulah orang-orang berduit merusak alam tapi beralasan demi pariwisata.
Di sisi lain, bisakah pembaca kekinian mengelak dari nama angker Musso yang secara homofon melekat pada nama Syekh Muso? Bagi mereka yang telah menjajaki referensi literer atas sosok bersejarah bernama Musso tentu tak akan terlalu gampang terkungkung dogma dan indoktrinasi yang disematkan Orde Suharto kepada tokoh komunis ini, terutama setelah 32 tahun rezim itu berkuasa. Bisalah dikatakan: Musso adalah sosok aktivis pergerakan revolusioner yang memimpikan Indonesia Raya berdaulat tanpa ada ikut campur kolonial Belanda—benar-benar sebuah impian yang mulia. Namun, tersebab ada gesekan gagasan antara Musso dengan tokoh pergerakan lainnya, nasibnya justru khatam oleh bangsanya sendiri. Itulah Musso, tokoh pergerakan yang gugur di negeri yang seumur hidup ia bela mati-matian.
Sebaliknya, bisa dibayangkan bagaimana kesan para pembaca Surga Sungsang yang awam terhadap fakta dan data sejarah. Musso tak lain adalah hantu komunis yang mesti dikutuki: ia kejam, pemberontak, pembunuh, dan jelasnya: sangat menakutkan dan harus dibenci. Sebuah nama yang ketika disebut di atas mimbar mushala akan membuat jamaah bergidik seperti melihat hantu keponakan dajjal, ketika disebut di ruang kelas oleh guru sejarah akan membuat anak-anak era 1990an terbayang wajah sosok Grandong dalam serial televisi Misteri Gunung Merapi, dan ketika disebut dalam demonstrasi berkode nomor-nomor cantik itu bakal membuat para pendemo seketika ingin meludah dan mengeluarkan dahak sekental mungkin.
Nah, di tahap inilah, saya bisa menera kecerdikan Triyanto dalam memanfaatkan penamaan tokoh-tokohnya. Nama milik si komunis Musso itu justru dicomot oleh Triyanto untuk disandingkan secara homofonik dengan nama tokoh Syekh Muso yang perbawa, panutan, serta penebar ajaran-ajaran pengokoh keberilahian. Secara ciamik Triyanto menjungkirbalikkan ingatan dan mendistorsikan pemahaman pembaca antara sosok Musso dan Syekh Muso.
Sedangkan untuk tokoh bernama Kufah, bocah keturunan Kiai Siti, meski saya menduga tak memiliki relasi cerita terhadap sejarah di negeri ini, nama ini bukan tanpa arti. Kufah adalah sebuah kota di daratan Timur Tengah yang jauh, persisnya di negara Iran, 170 kilometer dari ibukota Baghdad. Konon, sejak dulu Kufah menjadi tempat paling sengit dalam pertarungan gagasan antara kaum Khawarij dan Sunni. Sepanjang sejarahnya kota ini memang selalu penuh dengan konflik agama. Sulit disangkal, ada yang tak bisa ditepis antara “Kufah” dan konflik beragama—tentu saja terlepas dari apakah benar Triyanto memaksudkan nama Kufah seperti halnya informasi yang saya dapatkan. Jika benar, pilihan Triyanto memilih nama Kufah untuk seorang bocah yang hidup di antara kelimun yang saling berkonflik di Tanjung Kluwung agaknya punya referen yang jitu, sekaligus cerdik.
Sampai di sini kita pun semakin terjelaskan: setiap pengarang punya sikap dan strategi tersendiri dalam mengoperasikan nama-nama tokoh rekaannya. Nama tercipta sebagai konsekuensi atas pertimbangan-pertimbangan: ideologi, konteks zaman, kebersesuaian dengan tema cerita, hingga eksplorasi yang semata-mata demi capaian estetik atau efek tertentu. Selain itu, dalih dan misi para pengarang dalam menggarap nama tokoh rekaan sangat mungkin dijadikan patokan untuk membaca kecenderungan dalam kesusastraan yang terjadi pada suatu zaman, yaitu bagaimana mereka menciptakan nama untuk tokoh-tokoh rekaannya.
Namun dalam dunia kepenulisan kreatif, ini tentu bukan persoalan yang sepele. Bahkan dalam tradisi kritik, sudah saya singgung lebar-lebar di awal tulisan, nama telah membuat Subagio Sastrowardoyo dan Umar Junus memerlukan untuk menulis esai panjang tentangnya. Untuk itu seumpama pembaca sekalian belum bosan, bolehlah saya comot di sini ungkapan seorang cerdik pandai di masa lalu yang semasa hidupnya tak lelah menulis teori dan kritik sastra—barangkali dengan wajah murung dan urat saraf yang menegang: Sastra memang tidak pernah lahir dari kekosongan budaya!
Namun secara ajaib menjelang tulisan ini saya akhiri, tanpa didahului firasat atau mimpi, nama Rektor Institut Kesenian Jakarta Seno Gumira Ajidarma tiba-tiba saja berkelebat di pikiran saya. Seolah-olah ia di Jakarta mengirimkan pesan melalui telepati demi menyampaikan satu hal yang, menurutnya, sangat penting. Lantas ingatlah saya pada sebuah buku kumpulan cerpen yang beberapa bulan silam Seno terbitkan yaitu Dunia Sukab. Buku lama tapi bernasib mujur karena dicetak ulang dengan ilustrasi sampul dan perwajahan baru yang juga enak dipandang.
Benar saja, kata pengantar Seno (2016:v) di buku itu memang sebaiknya tak dikesampingkan oleh siapa pun ketika hendak membicarakan nama tokoh rekaan dalam sastra. Kita tahu, Sukab adalah nama yang seolah-olah memiliki akta kelahiran dengan orang tua tunggal bernama Seno Gumira Ajidarma. Kali pertama nama Sukab muncul, sejauh ingatan Seno, dalam cerpen berjudul Penari dari Kutai, bertitimangsa 26 Maret 1985. Berarti jika dihitung-hitung, umur Sukab sekarang sekitar 33 tahun. Wah!
Asal mula Seno mendapati nama Sukab terjadi ketika ia mendengar seorang kawannya menyebut nama itu, dengan suara yang lebih mendekati ejaan “Sukap”. Sukap ini adalah nama seorang anggota Bengkel Teater pimpinan Rendra, tepatnya saat pementasan Mastodon dan Burung Kondor, kisaran tahun 1974, sering digelar. “Saya sendiri tidak tahu, apakah saya sadar dengan pengalaman saya ini ketika untuk pertama kalinya menuliskan nama Sukab…Nama itu suka muncul begitu saja setiap kali saya membayangkan sosok “rakyat,” (Ajidarma, 2016:xv).
Dan sejak Seno kerap memakai nama Sukab di cerpen-cerpennya yang lain, pembaca di negeri ini seperti telah melegitimasi Seno sebagai satu-satunya pengarang yang berhak menggunakan nama Sukab dalam karyanya. Buktinya ialah ketika Agus Noor menulis cerpen berjudul Sukab. Semula cerpen ini terbit di koran, lantas dibukukan dalam Bapak Presiden yang Terhormat (2000:34-43). Merespons cerpen tersebut, di sebuah koran muncul keberatan dari pembaca yang menyatakan, “dengan nada setengah mengancam,” Agus Noor dianggap tidak berhak menggunakan tokoh Sukab untuk cerpennya (Ajidarma, 2016:xiii).
Ternyata gawat juga, ada kritik dari pembaca kepada pengarang gara-gara menggunakan nama rekaan yang pernah dipakai pengarang lainnya. Ini tentu tak sehat untuk perkembangan jagat sastra kita. Di luar dugaan saya, menyikapi peristiwa ini rupa-rupanya Seno tak mau ambil pusing. “Sukab hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekadar karena saya malas ‘mengarang’, menyesuai-nyesuaikan nama dengan karakter tokoh supaya meyakinkan, dan sebagainya. Setiap kali saya kesulitan mencari nama, saya pasang saja nama Sukab. ‘Toh sama-sama fiktif ini,’ pikir saya, ‘kenapa harus susah-susah cari nama,” tegas Seno. Ucapan Seno itu dibuktikan dengan munculnya tokoh Sukab di cerpen-cerpen Seno dalam pelbagai karakter tokoh.
Tentu saja saya tak akan begitu saja bersepakat dengan ucapan Seno ini karena sama saja bakal membuat esai ini berakhir hambar. Di beberapa cerpen, dalih “semau gue” bisa saya terima karena memang begitu banyak cerpen-cerpennya yang menggunakan nama rekaan Sukab. Namun, di beberapa prosa karangan Seno lainnya, konsep “semau gue” tak bisa ia terapkan serta-merta. Saya ambil contoh ketika Seno menulis Kitab Omong Kosong. Novel yang mendekonstruksi cerita wayang ini menghadirkan tokoh-tokoh yang namanya dibuat sesuai konteks tokoh-tokoh pewayangan, sebut saja Togog, Prabu Janaka, Hanuman, Rama, Sinta, dan lainnya. Prosa ini tentu tak bisa berlaku “semau gue”. Artinya, bukan berarti pilihan sikap “semau gue” dalam memilih nama tokoh salah.
Namun, tak semua nama tokoh dalam karya sastra bisa dibuat sekenanya, seenaknya, tanpa pertimbangan atau kesesuaian dengan cerita yang diusung. Pada cerita-cerita tertentu bisa diterapkan, sedangkan di cerita lainnya mustahil diterapkan. Pernyataan Seno tak sepenuhnya bisa kita sepakati tetapi juga tak sepenuhnya keliru. Selalu ada pertimbangan tertentu untuk menamai nama tokoh dalam karya sastra.[]
Semarang, 2017.
Bacaan:
Ajidarma, Seno Gumira (2013) Kitab Omong Kosong, Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Ajidarma, Seno Gumira (2016) Dunia Sukab: Sejumlah Cerita, Jakarta Selatan: Noura Books PT Mizan Publika.
Gitanyali (2011) Blues Merbabu, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Hartanto, Agung Dwi (2008) Karya-Karya Lengkap Marco Kartodikromo: Pikiran Tindakan dan Perlawanan, Jakarta Pusat: I:BOEKOE.
Junus, Umar (1983) Dari Peristiwa ke Imajinasi: Kumpulan Karangan (Ed. Pamusuk Eneste), Jakarta: Gramedia.
Kartodikromo, Mas Marco (2015) Student Hidjo (cetakan ke-2), Yogyakarta: Narasi.
Kayam, Umar (1992) Para Priyayi: Sebuah Novel, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kuntowijoyo (2013) Mantra Pejinak Ular (cetakan ke-2), Jakarta: Kompas.
Laksana, AS (2017) Upaya Mengekang Diri dan Tafsir yang Dibatalkan Telaah atas cerita pendek Triyanto Triwikromo Sayap Kabut Sultan Ngamid, Pkkh UGM (10 Mei 2017).
Matabaca, Agustus 2002
Mawardi, Bandung. STA dan Bahasa Indonesia. Majalah Tempo, 12 Mei 2013.
Mrazek, Rudolf (2006) Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (penerj. Hermojo), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Multatuli (2014) Max Havelaar (penerj. Ingrid D. Nimpoeno), Bandung: Penerbit Qanita.
Noor, Agus (2000) Bapak Presiden yang Terhormat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sirait, P. Hasudungan, Rin Hindryati, Rheinhardt (2011) Pram Melawan!: Dari Perkara Sex, Lekra, PKI, Sampai Proses Kreatif, Tanpa Keterangan kota: Nalar.
Toer, Pramoedya Ananta (2010) Bumi Manusia (cetakan 16), Jakarta Timur: Lentera Dipantara.
Triwikromo, Triyanto (2003) Children Sharpening the Knives (Anak-anak Mengasah Pisau): Kumpulan Cerpen Terpilih/ Selected Short Stories, Semarang: PT Masscom Media.
Triwikromo, Triyanto (2009) Ular di Mangkuk Nabi: Kumpulan Cerita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Triwikromo, Triyanto (2014) Surga Sungsang: Buku Cerita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Triwikromo, Triyanto (2010) Pertempuran Rahasia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Uhlenbeck, E.M (1982) Kajian Morfologi Bahasa Jawa, (penerj. Tim ILDEP), Jakarta: Penerbit Djambatan.
- Yang Tersembunyi di Balik Nama - 12 April 2018