Bagaimana kalau kita saling membunuh saja, Stephen? Seperti katamu, manusia itu homo homini lupus. Ia serigala bagi sesamanya. Misalnya aku benar membunuhmu atau kau membunuhku atau setidaknya kita saling melukai satu sama lain, itu adalah tindakan yang wajar. Kita toh diciptakan di dunia bukan sebagai pemimpin. Kita adalah tahanan dan dunia adalah penjara.
Waktu kau menatapku tajam ketika perkataanmu beberapa jam yang lalu kuutarakan ulang, aku jadi percaya bahwa kau benar-benar yakin atas peryataanmu sendiri. Kau menatapku tajam seolah-olah tengah mengeluarkan ribuan dendam. Ayo, bunuh aku, Stephen. Kau tidak akan berdosa. Kau tidak akan masuk neraka. Atau jika kau yakin bahwa setelah aku mati kau nanti berdosa dan akhirnya masuk neraka, sebetulnya itu salah sejak kau bangun keyakinan itu. Sebab, hidup adalah bagian dari penderitaan dan adakah neraka yang tidak dibangun dari penderitaan? Kau masuk ke neraka sejak lahir, Stephen.
Pukul aku, Stephen, pukul aku!
Kau pun memukulku. Matamu makin tajam. Aku terpelanting dan mataku berkunang-kunang. Ini bukan pukulan yang telak, sebab aku masih bisa bangun lagi. Kini giliran aku memukulmu dengan keras seolah-olah sedang memukul inti kejahatan.
Darah keluar dari mulutmu meskipun kau tidak terpelanting. Kau terlalu kuat untuk ukuran manusia. Kau masih muda, berotot, dan masih mempunyai semangat yang membara. Pukulanku mengenai pipimu dan aku yakin daging di dalam pipi itu mengenai gigimu. Daging dan gigi pastilah menang gigi.
Kau lalu memukulku berkali-kali. Aku tidak bisa memberi perlawanan lagi sambil tidak menyangka kalau kau tumbuh sekuat ini. Kau terus memukulku sampai aku tak sadarkan diri. Sampai aku tidak tahu apa lagi yang harus kuperbuat jika sudah pergi dari penjara ini. Semuanya serba tidak jelas. Aku juga tidak tahu apakah sekarang kebebasan atau justru penjara lain yang lebih luas sedang kujajaki?
**
Raphilus pulang ke rumah dengan menggendong sesuatu di dalam karung. Ia kakakku dan aku tak pernah memanggilnya kakak.
“Itu apa, Rap?”
Ia tidak menjawab dan langsung menuju kamar mandi. Keran dihidupkan. Suara air membuat dini hari ini tidak lagi sepi. Aku melihat dengan saksama karung yang digeletakkan Raphilus. Ada darah.
Ketika Raphilus keluar dari kamar mandi dengan tangan dan mukanya yang basah oleh air, aku menanyainya sekali lagi.
“Itu apa, Rap?”
“Banyak bacot. Lihat sendiri kenapa?”
Mata Raphilus melotot. Mata itu sering aku lihat ketika ia memarahi ibu dan bapaknya. Mata itu sering aku lihat ketika ia sedang ingin membunuh seseorang. Apa kini ia mau membunuhku? Daripada begitu, aku langsung menuju ke karung yang tergeletak. Aku membukanya dan tertegun sejenak.
“Astaga, Rap, kau membunuh Ibu?”
**
Rumahku tercipta dari pertengkaran demi pertengkaran. Sedari kecil, telingaku sudah dipenuhi kata-kata sampah. Asu, lonte, bajingan, perempuan jalang, laki-laki mata keranjang, bangsat, jancuk, anjing, dan sebagainya (semoga kamu mengerti kenapa aku menulis “dan sebagainya”).
Awalnya bapakku yang sering tidak pulang ke rumah. Sekali ia pulang, Ibu langsung memarahinya. Laki-laki mata keranjang, enggak usah pulang sana. Judi sana. Ngelonte sana. Asu. Memangnya aku enggak bisa seperti itu? Lihat, nih. Susuku masih montok, memekku masih seret. Siapa lelaki yang enggak mau sama aku? Lagi pula, banyak yang punya kontol lebih gede daripada punyamu.
Lalu, kalau sudah seperti itu, Bapak pasti akan membalas. Justru itu, Asu. Susumu masih montok, memekmu seret, kamu jual ke banyak orang. Kamu lonte. Memangnya aku laki-laki macam apa kok mau-maunya beristri lonte sepertimu. Bajingan. Anjing.
Kalau tidak aku jual, anak-anak mau makan apa? Makan tai? Kalau tidak aku jual, rumah mau dibiarin kebanjiran kalau hujan deras? Kalau tidak aku jual….
Cukup. Mulutmu busuk.
Pergi sana, laki-laki sampah!
Kakakku yang sudah mengerti cara pergi dari rumah dengan baik, diam-diam keluar dari pintu belakang rumah. Aku tahu, ia tidak akan pulang sampai beberapa minggu ke depan. Itu sudah menjadi kebiasaannya jika melihat orang tua kami bertengkar.
Sedangkan aku yang tak mengerti mau ke mana jika seandainya pergi, akhirnya hanya diam saja. Lalu, masuk ke kamar tidur, merebahkan tubuh ke kasur sambil menangis pelan-pelan agar tidak kedengaran. Mereka yang tidak tahu bagaimana nasibku, terus saja adu mulut. Kemudian tak berselang lama, barang-barang dipecahkan, seperti biasanya.
**
“Aku yakin kamu bahagia, Stephen.”
Iya, aku bahagia, Rap. Tidak baik hidup di dunia menjadi orang yang taat, orang yang tunduk pada norma, apalagi tunduk pada pemerintahan yang asu. Membunuh adalah kejahatan dan setiap kejahatan adalah suatu perlawanan terhadap Tuhan yang telah menjadikan kita sebagai makhluk yang terpenjara. Oh ya, membunuh juga pemberontakan terhadap negara. Kau pasti tahu yang kumaksud ini.
“Tidak sia-sia kamu kuliah, Stephen.”
Raphilus bahagia sekali ketika kuberi tahu kalau manusia itu homo homini lupus. Ia serigala bagi sesamanya. Sepatutnya serigala adalah membunuh satu sama lain. Aku tahu ia tumbuh menjadi anak jalanan. Mabuk-mabukan bersama kawan-kawannya. Mencari uang dengan cara mencuri atau kadang-kadang mengamen (atau pura-pura mengamen?). Ia tidak pernah mengenyam lebih jauh dunia pendidikan.
“Pendidikan itu bangsat, Adikku,” katanya suatu waktu ketika aku baru masuk SMP dan ia sudah dikeluarkan dari SMA secara tidak terhormat gara-gara mencuri uang di kantor sekolahan. “Pendidikan hanya membutuhkan orang-orang yang baik untuk dididik. Pendidikan juga membuat orang menjadi budak. Budak bagi si pendidik dan bahkan budak bagi ilmu pengetahuan.”
“Aku kuliah tidak diajari cara membunuh orang, Rap.”
“Iya, tapi diajari cara bunuh diri pelan-pelan,” sahut Raphilus.
Aku berjongkok. Di depanku ada mayat seorang ibu. Dia ibuku dan ibunya Raphilus. Tetapi aku tidak seperti seorang anak pada umumnya yang menangis ditinggal mati ibunya. Aku seperti anak durhaka, tersenyum sambil melihat Raphilus yang masih berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepala seolah ia mengatakan: kami bahagia menjadi durhaka.
**
Semua ini bermula ketika keluarga kami pindah rumah secara mendadak. Rumah kami yang dulu tiba-tiba dianggap sebagai bangunan ilegal yang juga berdiri di tanah ilegal. Semua milik negara. Waktu itu aku masih kecil dan belum mengerti apa-apa dan Raphilus sudah duduk di bangku sekolah dasar.
Ini cerita kudapat dari Raphilus. Dulu, orang-orang yang memakai seragamlah yang menggusur rumah kami. Mereka datang dan memberi tenggat waktu cuma seminggu untuk kami beres-beres segalanya. Sebenarnya, kakakku itu tidak begitu paham apa maksudnya, tetapi lama-lama ia mengerti kalau semua itu suruhan pemerintah. Tentu hal itu ia sadari ketika sudah tidak sekolah lagi dan sudah pandai mencuri dan membunuh orang.
Kami pun pindah ke bantaran sungai. Bapak dan Ibu membangun sendiri rumah dari bahan-bahan seadanya. Seperti kandang hewan. Tidak lama setelah pindah rumah, kehidupan kami semakin hari semakin sulit. Terlebih ketika Bapak bekerja dan uangnya tidak pernah diberikan kepada Ibu. Uang itu ia gunakan main judi.
Ibu, perempuan yang masih cantik, menyadari kecantikannya. Ia membalas kelakuan Bapak dengan cara menjual tubuhnya sendiri. Toh, kontol suaminya tidak lebih besar ketimbang kontol lelaki lain. Ia menikmati itu dan suka dengan uang yang diberikan kepadanya. Ibu bisa bekerja sendiri, bahkan hasilnya jauh lebih banyak ketimbang hasil dari jerih payah laki-laki.
Sejak itulah, keluarga kami benar-benar berantakan meskipun perlahan-lahan rumah kami menjadi bagus kembali. Ibu membeli rumah dengan uangnya, sedangkan Bapak tidak pernah mengunjungi rumah itu. Aku tidak tahu ke mana ia pergi. Yang jelas, tiba-tiba pada suatu hari ketika aku sudah menginjak SMA, Raphilus membawa Bapak dalam bentuk mayat.
**
Karena telah menempeleng satpam kampus, aku dilaporkan ke polisi dan aku dipenjara selama tiga bulan dan otomatis status kemahasiswaanku dicabut. Aku kesal dengan satpam itu. Aku yang kehilangan sepeda melaporkan kepadanya dan ia menjawab sambil tidak memperhatikanku.
“Sudah saya bilang, sepeda itu dikunci.”
“Apa gunanya kamu bekerja di sini?”
“Satpam juga manusia, Mas.”
“Asu.”
“Apa kamu bilang?”
“Asu.”
Ia mendekat dan menarik kerah bajuku. Ia mengeluarkan sumpah-serapah, kemudian melepaskanku dan meminta maaf dan mengakhiri perkataannya yang membuatku geram.
“Maafkan saya, Mas. Lagi pula itu cuma sepeda. Bukan motor atau mobil. Ikhlaskan saja. Bisa beli lagi, kan?”
Itulah kenapa aku menempelengnya sampai ia pontang-panting, barangkali kepalanya jadi pusing. Seandainya aku tahu kalau ia bakal lapor rektor dan kemudian dilanjut lapor polisi dan kemudian aku dipenjara selama tiga bulan, aku akan membunuhnya saat itu juga. Aku sudah bosan melihat orang-orang berseragam seperti itu.
Setelah keluar dari penjara, aku memilih pulang ke rumah Ibu. Aku ingin melihat wajah orang yang selama ini membiayai kuliahku itu meski dengan uang “tidak beres”. Aku ingin minta maaf dan kemudian membunuhnya dan aku bunuh diri. Tidak baik hidup lama-lama di dunia bagi pendosa seperti kami.
**
Kau pulang membawa mayat Ibu. Sebelum kau pulang, aku yang pulang lebih dulu ke rumah ini dan di sini tidak ada siapa-siapa. Aku mengira Ibu sedang bekerja seperti biasanya. Menjual susu dan memeknya.
Malam itu, ketika melihat kau rebahan di sofa dan sesekali melihat mayat Ibu tergeletak di lantai (yang setengah tubuhnya masih tertutup karung), aku jadi berpikir: tidak baik membiarkan pembunuh berleha-leha menikmati hidup.
Aku menuju ke arahmu. Kau bangun karena barangkali tahu apa maksudku.
“Bagaimana kalau kita saling membunuh saja, Stephen? Seperti katamu, manusia itu homo homini lupus. Ia serigala bagi sesamanya. Misalnya aku benar membunuhmu atau kau membunuhku atau setidaknya kita saling melukai satu sama lain, itu adalah tindakan yang wajar. Kita toh diciptakan di dunia bukan sebagai pemimpin. Kita adalah tahanan dan dunia adalah penjara.”
Aku kaget mendengar perkataanmu. Dari mana kau belajar struktur bahasa dengan baik? Kau bodoh. Kau dikeluarkan dari sekolah.
“Jangan kaget. Aku cuma mengulang perkataanmu.”
“Ayo pukul aku, Stephen. Pukul!”
Perkataanmu memberondong telingaku.
Maka aku memukulmu. Memukul orang yang menyombongkan diri tidak termasuk perbuatan yang buruk. Kau terpelanting. Kau bangun lagi dan membalas dengan memukulku. Ada darah keluar dari mulutku. Tetapi aku tidak terpelanting sepertimu. Kakiku masih kuat menahan hal remeh-temeh seperti itu.
Akhirnya aku memukulmu berkali-kali sampai kau tak sadarkan diri. Aku kecewa kau tidak melawan sama sekali. Karena itulah aku meludahimu dan keluar dari rumah. Harusnya kita saling membunuh, Rap. Ini tidak adil jika hanya kau yang terbunuh.
Aku berjalan menyusuri rel kereta pada suatu malam sambil berharap kau siuman dan sehat kembali dan di kemudian hari mengajakku saling bunuh lagi. Ya, manusia seperti kami harus saling bunuh.
Bukan begitu, Tuan-Tuan Pembaca yang Budiman?[]
2017
- Puisi-Puisi Daruz Armedian; In The End, 2001 - 20 February 2018
- Pelacur dan Tumpahan Kopi dan Microsoft Word dan Kepergianmu - 26 January 2018
- Bagaimana Kalau Kita Saling Membunuh Saja? - 29 December 2017
Junaidi Khab
Assstaghfirullah…. Aku mau beli “kopi SUSU” aja dan saling bunuh di situ… :v hahahaha…
Adithia Wiratama
Anjing. Tulisannya bagus banget mas! real art
sengat ibrahim
anjing. bagus banget. (2)