Judul : The High Mountains of Portugal
Penulis : Yann Martel
Penerjemah : Berliani M Nugrahani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : 2017
Tebal : 416 halaman
ISBN : 978-602-03-4638-0
Pada hari-hari menjelang Natal, Tomas melakukan perjalanan melawan mustahil. Ia menderita akibat kematian bapak, istri, dan anak. Derita ditanggapi raga. Lelaki itu memilih berjalan mundur. Cara berjalan aneh di mata orang-orang waras. Pengungkapan duka setara makna “memunggungi dunia dan Tuhan”. Derita tak bakal pulih tapi berjalan mundur adalah ungkapan keberatan pada Tuhan.
Novel dimulai dengan keanehan-keanehan. Pembaca disodori kejutan-kejutan, digoda membaca sampai ratusan halaman, sebelum berhenti dan melamun tak keruan. Pembaca malah diajak menempuhi perjalanan bersama Tomas. Perjalanan itu kehendak melawan derita. Bekal melintasi kota dan desa menuju Pegunungan Tinggi Portugal adalah buku harian Bapa Ulisses, berasal dari abad XVII. Tomas menemukan buku harian lawas itu saat menunaikan kerja sebagai pegawai Museum Nasional.
Tomas biasa membandingkan nasib diri dengan catatan Bapa Ulisses. Janji pun dibuat demi menemukan peninggalan salib di gereja di Pegunungan Tinggi Portugal sesuai cerita-cerita di buku harian. Pembaca mungkin menuduh isi novel bakal menguak misteri, membongkar konspirasi, atau memunculkan jejak sejarah kontroversial. Tuduhan harus lekas dibatalkan, sebelum pembaca menertawakan segala ulah dan perkataan Tomas. Yann Martel menaruh “jebakan” ke pembaca. Novel bermisteri “agama” tapi memihak ke penceritaan mobil di Portugal pada awal abad XX. Cerita mobil hampir mengalahkan misi melihat salib dari ratusan tahun silam.
Semua bermula saat Tomas dihajar kebingungan melakukan perjalanan jauh dengan mobil pinjaman dari paman. Semula, salib terlalu menjadi pikiran. Mobil tiba-tiba adalah ketakjuban, urusan rumit memicu sebal dan kelakar. “Benda ini tak cuma memberi sinar kekuatan logika tapi juga melantunkan puisi. Kita singkirkan tunggangan mencemari kota! Mobil tak pernah perlu tidur. Bisakah kuda mengalahkan itu?” Cuilan pidato serius dari sang paman. Mobil, pujaan baru! Mobil itu puisi agung, mewartakan kecepatan dan kemolekan. Tomas sulit menerima kalimat-kalimat memuji mobil. Tomas dipaksa mengendarai mobil berisiko lekas sampai ke Pegunungan Tinggi Portugal atau mampus di tengah perjalanan. Tomas bermobil menuju salib.
Tomas mengalami Desember dengan ketakjuban pada salib warisan masa lalu tapi direpotkan mobil. Waktu dan tempat mengalami pudar pengertian dari hari-hari sebelum perjalanan jauh. Mobil terlalu masalah ketimbang keinginan melihat salib, mengingat Tuhan dan “menemukan” kaum beriman pada masa lalu. Mobil itu kecepatan tapi melambatkan imajinasi sampai ke Tuhan. Tomas direpotkan mobil, dipaksa menjawab dengan marah, letih, sakit, dan keraguan. Mobil itu menebar masalah ke orang-orang sepanjang perjalanan melintasi desa dan kota. Tomas beranggapan mobil berpetaka. Yann Martel mengadakan jebakan mendalam dengan kalimat-kalimat tragis diselingi humor-humor parah.
Misi rahasia menemukan salib dipecundangi mobil. Penjadwalan penemuan salib selama sepuluh hari berantakan saat mobil berulang rusak dan Tomas menanggung sakit tak keruan. Hari-hari berpenderitaan panjang hampir dituntaskan dengan letih. Tomas semakin menderita. Yan Martel membahasakan: “Dia kumal dan bermata nyalang. Rambutnya lengket dan gimbal. Pakaiannya dekil….” Tomas menempuhi jalan kesengsaraan. Derita telah dijawab dengan berjalan mundur. Tumpukan derita baru sulit ditanggulangi. Semua demi salib. Tomas menuju salib.
Tomas sampai ke Pegunungan Tinggi Portugal, melihat dan penasaran untuk masuk ke gereja desa. Gereja sederhana dan tua, berusia tiga belas abad. Tomas melihat salib seperti di buku harian Bapa Ulisses. Pencarian telah berhasil. “Salib itu bukan simbol mengibakan biasa ditemukan hampir di semua tempat,” tulis Yann Martel. Salib itu buatan Bapa Ulisses dari ratusan tahun silam! Tomas sampai di detik-detik terakhir derita dan ketakjuban. Di depan salib, Tomas mengakui: “… salib itu benar-benar bersinar dan melolong, menyalak, dan mengaum. Ini adalah gambaran tulus Sang Putra tengah menjerit nyaring dan mengembuskan napas terakhir-Nya selagi kulit di keningnya terbelah dua dari atas hingga bawah.” Peristiwa itu melihat salib menandai keberakhiran pencarian Tomas. Pada detik-detik tak bernama, ia dilanda sepi dan kerinduan pada orang-orang tercinta telah meninggal.
Yann Martel “menghentikan” sejenak lakon Tomas, beralih ke masa berbeda dengan tokoh-tokoh tetap mengejutkan. Pembaca tak lagi memikirkan mobil dan salib tapi berganti ke novel. Yann Martel menampilkan dua tokoh pembaca novel-novel Agatha Christie berkaitan agama, patologi, dan keluarga. Cara bercerita masih menggemaskan seperti penceritaan nasib Tomas. Pada bagian kedua, kita mengikuti pikiran-perasaan dua tokoh bernama Eusebio dan Maria. Suami istri itu keganjilan di Portugal pada abad XX, puluhan tahun berselang dari ketragisan Tomas.
Mereka pembaca berat semua novel gubahan Agatha Christie, sejak terbitan novel berjudul Misteri di Styles. Pada malam pergantian tahun, mereka ada dalam percakapan magis saat usia semakin menua dan nostalgia bermunculan. Di ruang autopsi saat malam terasa ragu, mereka mengobrolkan Yesus Kristus dan Agatha Christie. Yann Martel mengajak pembaca melacak kemonceran novel-novel Agatha Christie dibarengkan ingatan pada Yesus Kristus pada Desember 1939.
Penerbitan novel Yann Martel dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia memang tepat saat dibaca di hari-hari menjelang Natal dan tahun baru. Sekian pengakuan biografis dan perdebatan melulu mengingatkan pada Tuhan, kitab suci, dan novel-novel Agatha Christie. Maria berujar: “Untuk apa Yesus berbicara dengan perumpamaan? Mengapa dia tidak bercerita dan membiarkan diri-Nya ditampilkan melalui cerita? Mengapa kebenaran perlu menggunakan perangkat fiktif?” Maria terus memberi kalimat-kalimat mencengangkan mirip renungan klasik, sejak ratusan tahun silam.
Detik-detik berlalu tapi malam tetap malam. Adegan mendebarkan saat Maria mengeluarkan novel-novel Agatha Christie dalam terjemahan bahasa Portugis di atas meja. Eusebio melihat sambil memikir jauh tak berkesudahan. Puluhan novel itu masuk dalam penjelasan Injil dan Yesus Kristus. Pembaca diajak menuruti kemauan pengarang menempatkan dua tokoh bersaing tafsir mengenai Injil dan novel detektif. Yann Martel sedang memberi esai diselundupkan dalam novel. Pembaca diharapkan tercengang, merenung, dan mencatat agar tak lupa.
Maria menafsir agar dimengerti Eusebio: “Dunia Injil memang suram. Ada sangat banyak penderitaan di dalamnya, penderitaan raga, penderitaan jiwa. Ini adalah dunia yang terdiri atas dua kutub moral, tempat kebaikan selalu murni dan kejahatan senantiasa jahat. Dunia Agatha Christie sama suramnya….” Pada masa 1920-an dan 1930-an, dua tokoh dalam novel Yann Martel tekun membaca novel-novel Agatha Christie. Pembacaam mendalam dan merasuk ke pengalaman religius, tak melulu detektif atau hiburan. Yann Martel menggunakan novel-novel pembentuk abad XX berdalih menguak misteri-misteri kitab suci dan mengenali Yesus Kristus.
Konklusi penting bermaksud menambahi kejutan: “Walau demikian ada perbedaan besar antara Agatha Christie dan Injil. Kita tidak lagi hidup di masa ramalan dan mukjizat. Kita tidak lagi memiliki Yesus di tengah-tengah kita seperti orang-orang di Injil. Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes adalah narasi kehadiran. Novel Agatha Christie adalah injil ketidakhadiran. Novel-novel itu adalah injil modern untuk orang-orang modern yang lebih mudah curiga, lebih sulit percaya. Maka, Yesus hadir hanya dalam potongan cerita, jelek, bermantel dan bertopeng, tersamar dan tersembunyi….”
Pada bagian kedua, pembaca merasa disuguhi esai-esai polemik mengurusi teologi dan kemonceran novel. Semula, pembaca agak melupakan Tomas. Di akhir bagian kedua, pembaca samar-samar dipertemukan lagi dengan Tomas, setelah lelah memikirkan novel-novel Agatha Christie. Ruang percakapan itu kedatangan perempuan berasal dari desa di Pegunungan Tinggi Portugal. Pembaca masih ingat Tomas menempuhi perjalanan ke Pegunungan Tinggi Portugal untuk menemukan salib dan bertemu Tuhan.
Pembaca mungkin masih lelah membuka halaman-halaman di bagian ketiga. Kejutan tak lagi seberat di saat Yann Martel menceritakan buku harian, mobil, salib, dan novel Agatha Christie. Pada masa 1980-an, bermunculan tokoh-tokoh baru masih dibebani misteri masa lalu. Pada akhir abad XX, keturunan para tokoh dari awal abad XX mulai menemu jawab dan kembali ke rumah. Yann Martel menjadikan Pegunungan Tinggi Portugal adalah rumah bagi para tokoh, sejak Tomas sampai Peter. Para tokoh baru itu diceritakan kembali ke rumah dan menemukan benda-benda mengungkap cerita keluarga pada awal abad XX. Penemuan sampai ke novel-novel Agatha Christie. Yann Martel telah membuat ketetapan bahwa pertemuan berlangsung di Pegunungan Tinggi Portugal. Tempat itu rumah kedatangan dan kepulangan segala pengharapan dan duka. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022