3 Putih 1 Hitam

“Kapan kehidupan dimulai?” tanya pria melarat itu. Dua jarinya menjepit batang rokok; asap bergerak mengikuti tarikan tangannya.

            Mulanya Satpam berusaha menahan napas selama yang mampu dilaluinya. Satu ketukan. Dua ketukan. Pada ketukan ketiga ia kibas-kibaskan telapak tangannya di depan wajah sambil berkata, “Tuan, tolong matikan rokok Anda.” Ia terbatuk. “Ini mengganggu kenyamanan.”

            “Tapi ini di luar mal,” sanggah pria melarat, sama sekali tidak terusik. Ia mengisap rokoknya sekali lagi, memandangi mobil yang silih berganti menurunkan penumpang di pintu lobi utama.

            “Ini mengganggu kenyamanan saya.”

            “Kau tidak menjawab pertanyaanku.” Pria melarat menggeleng-gelengkan kepala. “Ini bukan perihal bagaimana atau apakah kita dapat mengakhiri kehidupan seseorang. Itu adalah topik diskusi kita sebelumnya. Permulaan. Kini aku bertanya kepadamu soal permulaan.”

            Satpam menutupi hidungnya, melepaskan batuk setengah. “Kelahiran?”

            “Coba lagi.”

            “Saat kita berada di dalam rahim ibu kita?”

            “Jauh lagi.”

            “Embrio? Saat sperma menembus sel telur? Persetubuhan kedua orang tua kita? Pola hidup ayah kita? Saya tidak tahu! Katakan kepada saya jawabannya!”

            “Big Bang, pernahkah kau mendengarnya?” Baru setelah pengungkapan itu pria melarat mengakhiri rokoknya di atas asbak.

            Satpam menjeda sejenak momen tersebut. Ia tidak begitu yakin dengan keterampilan saraf transenden yang sedang digunakannya: Observasi superkilat yang membolehkannya menggali informasi-informasi yang tidak diketahui mengenai pria melarat ini, seperti gestur tangannya (terutama bagaimana pria melarat membagi jarak antarjari dengan seimbang, menunjukkan betapa terpelajar dia), pandangan matanya yang presisi (terlebih ketika dikombinasikan dengan kepala pria melarat yang sedikit menunduk, menunjukkan penguasaan dan jam terbangnya dalam bercakap), dan kemampuannya menggeret segmen-segmen realitas pada analogi filsafati (pada titik ini pembaca akan mengira pria melarat rajin mengunjungi Nietzsche, Sartre, Camus—salah; Satpam mengira, justru, pria melaratlah yang dibaca oleh dirinya sendiri karena ia telah mampu melampaui alam badaniah dan batiniahnya); atau seni bermain peran yang dikuasai oleh pria melarat lewat aksinya mematikan rokoknya. Satpam melihat tubuh gulungan tembakau itu patah; asap masih menguar dan bukannya langsung hilang (Satpam beranggapan bahwa rokok tidak akan pernah mati meski telah mati, asapnya menjadi salah satu bahan bakar untuk mengobarkan benci). Bagaimana atau apakah kita dapat mengakhiri kehidupan seseorang?

            Satpam cepat-cepat mengembalikan kesadarannya sebab baginya tak elok mengulang kembali percakapan yang telah usai. Ketakutan saya tak berdasar, batinnya. Ketakutan saya tak berdasar. Pria melarat ini cuma orang dengan gangguan jiwa. Oleh karena itu, ia menjawab, “Saya pernah mendengarnya di internet. Kalau tidak salah, itu ledakan besar yang menyebabkan seluruh alam semesta ada, bukan? Kita semua berawal dari ketiadaan. Ah, itu dia. Sepertinya saya sudah menemukan jawaban dari pertanyaan Anda.”

            Suara beep berulang dari pemindai di pintu lobi utama menemani benak suntuk pria melarat yang sedang memandangi air mancur di tepinya. “Kita semua berawal dari ketiadaan?” Ia terdengar tidak setuju; ia tidak menoleh. “Kita semua berasal dari debu bintang-bintang. Kita semua berasal dari pengorbanan untuk meledakkan diri.”

            Satpam menangkap maksud pria melarat dengan cepat; ia mengangguk-angguk. “Seperti halnya setiap kepuasan membutuhkan malam-malam kurang tidur dan pegal-pegal yang kenyal di pangkal tulang belakang.”

            “Tidak. Tidak. Tidak.” Pria melarat melambai-lambaikan tangannya, meralat dengan suara yang naik satu oktaf, “Kau percaya Tuhan?”

            “Saya pemeluk agama yang taat,” kata Satpam.

            Pria melarat tertawa terbahak-bahak. “Agama kelihatannya manja dan kesepian,” candanya. “Tapi serius, kau percaya Tuhan, tidak?

            “Saya percaya.”

            “Aku ingin memberitahukan ini kepadamu, tapi tolong jangan bilang siapa-siapa. Apa yang akan aku katakan ini teramat sangat super duper aduhai rahasianya. Ini lebih negara ketimbang dokumen negara, dan ini lebih sangat ketimbang sangat rahasia.”

            “Katakan saja kepada saya apa jawabannya.”

            Pria melarat menyipitkan mata, memampangkan seringai lebar penuh ketertarikan. Ia mendekatkan mulutnya pada telinga Satpam dan mulai membuat corong dengan kedua telapak tangannya. “Tahukah kau, Tuhan ikut meledakkan dirinya saat Big Bag terjadi? Itu agar Tuhan dapat mencapai alam semesta yang sempurna indahnya ini. Itulah sebabnya kita dapat menemukan Tuhan di mana-mana! Di mana-mana! Hahahahahahahahahaha!”

            Satpam menarik diri. Tawa yang tiba-tiba tersebut membuat telinganya serasa pekak. Pada saat yang sama, ia kembali melepaskan batuk setengah, tetapi kali ini karena bau-entah-apa yang menyengat dari telapak tangan pria melarat. Ia ingat pernah membaca di sebuah buku bahwa syarat mandi salah satunya adalah berdiri tegak. Pria melarat di sampingnya ini mengalami kemurungan jiwa yang mendorongnya pada kemiringan jiwa. Sehingga, ia sarankan: “Saya tidak tahu—dan tidak ingin tahu—apa yang telah Anda perbuat menggunakan tangan Anda, tetapi Anda harus segera mencucinya dengan sabun yang banyak sekali.”

            “Sabun?” Pria melarat usap-usap dagu. “Sabun ada di toilet mal. Berarti kali ini kau membolehkanku masuk?”

            Satpam mengembuskan napas panjang, memundurkan badannya. “Ini sudah kali ketiga Anda menanyakan pertanyaan yang sama, dan ini sudah diskusi yang kesekian. Anda tidak boleh masuk, Pria Melarat. Mal ini telah menetapkan aturan: Barang siapa mengenakan baju hitam, ia dapat masuk ke mal hanya jika sudah terdapat tiga orang berbaju putih di dalam.”

            Pria melarat menunduk untuk memperhatikan bajunya barang sebentar, kemudian menatap Satpam kembali. “Setelah sampai sejauh ini, kau bahkan belum mengenalku.”

            “Maaf, Tuan. Bolehkah saya mengetahui nama Anda?”

            “Hero,” kata pria melarat. “Hero ‘Pahlawan’, bukan yang lain-lain.”

            “Ah, baiklah. Mulai detik ini saya akan memanggil Anda Hero.”

            “Aduh, bagaimana caranya aku masuk ke dalam mal ini, ya?” Hero meletakkan kedua tangannya di pinggang, menatap orang-orang yang mengantre di depan pemindai. “Tunggu dulu. Memangnya apa yang bakal terjadi kalau aku masuk ke mal ini dan jumlah orang yang mengenakan baju putih di dalamnya tidak mencukupi?”

            “Kau akan langsung ditembak mati!”

            Sejak awal kedatangan Hero ke mal, Satpam menyadari satu kejanggalan di diri sang pria melarat: keinginan. Hero memiliki tendensi yang menggebu-gebu untuk dapat masuk ke dalam mal. Ia terlampau penasaran. Akan tetapi, ia tidak dapat membuktikannya. Sejauh ini Satpam merasakan bagaimana elusifnya motivasi yang dibawa oleh Hero, yang disamarkan lewat cara Hero membentuk dan membiarkan suasana berjalan sesuai keinginannya. Apa saya sedang dikelabui? Satpam bertanya kepada dirinya sendiri. Meski berlawanan dengan peraturan mal, hati saya berkata bahwa saya tidak boleh membiarkan pria melarat ini masuk. Pada beberapa momen di sela-sela diskusi yang telah berlangsung cukup lama, Satpam juga sering bertanya: Memangnya apa hal paling gila dan tidak masuk akal yang dapat dilakukan oleh gelandangan di dalam mal? Namun, setitik takut merekah di dalam dirinya. Satpam akan terus bertanggung jawab atas semua yang terjadi.

            Hero mencoba mengakhiri kegundahannya karena tidak dapat memasuki mal dengan mengambil sebatang rokok dari sakunya. Hal tersebut cepat-cepat dihentikan oleh Satpam.

            “Tolong jangan nyalakan rokok Anda lagi, Hero,” pesan Satpam.

            “Kenapa?”

            “Ah, eh, uh ….” Satpam berkeletah, mencari-cari jawaban abal-abal. “Merokok membunuhmu!” Ia tahu betul merokok membunuhnya, bukan membunuh Hero. Ia cuma takut asap-asap isap-isap itu menusuk saluran paru-parunya sekali lagi.

            Hero menyipitkan kedua matanya, tersenyum lebar tanpa gigi. “Terima kasih, Satpam. Kau sungguh baik. Padahal merokok atau tidak, kematianku sudah ditentukan.” Ia memasukkan batang rokoknya kembali ke saku. Kini Hero mengambil sebuah batu, melemparnya ke kaca di samping pintu lobi utama—pecah berderai seketika. Semua orang di lobi utama berteriak karena terkejut, termasuk Satpam.

            “Hero, apa yang kaulakukan?”

            Hero fokus memandang ke dalam. Ia mengulum liurnya sampai berbunyi. Menunggu. Menunggu. Menunggu. “Nah, itu dia!” Ia menunjuk, gesit. “Tukang bersih-bersih itu juga orang baik. Cuma dia satu-satunya yang bersedia membereskan kekacauan yang diakibatkan olehku supaya tidak ada orang lain yang terluka akibat pecahan kaca.”

            Satpam tertegun dengan sikap Hero yang bertambah aneh. Ia semakin curiga. Apa justru pembaca cerita ini yang sedang dikelabui? Apa oleh pria melarat ini? Atau oleh siapa? Satpam berpikir tujuh keliling tentang bagaimana caranya ia dapat mengakali peraturan 3 putih 1 hitam. Agak mustahil bagi Hero membawa tiga baju putih dan menyuruh tiga orang di mal untuk mengenakannya. Cara itu terlalu klise dan mudah ditebak. Nanti akhir dari cerpen ini jadi kurang meledak, batin Satpam. Ia kebingungan. Ia pun mengajak para pembaca untuk ikut dalam kebingungannya. Bagaimana? tanyanya. Bagaimana caranya? Tolong katakan kepada saya jawabannya! Satu-satunya jalan keluar yang dapat terpikirkan olehnya: Menumpahkan cat putih ke baju tiga orang. Tapi …. Ah, terlalu tidak masuk akal! Satpam mencela dan menolak dirinya sendiri. Apa caranya memberikan kuas kepada tiga orang dan membiarkan mereka mengecat putih baju mereka sendiri?

            Hero menarik tangan Satpam, bersalaman dengannya. “Sampai jumpa lagi nanti, pemeluk agama yang taat,” ujarnya. Ia memampangkan kembali seringainya yang khas itu. “Kita lebih dekat dengan kematian daripada kelahiran. Oleh karena itu, selamat kurang tahun!” Hero melepaskan tangannya. Ia menerobos antrean di depan pemindai. Tepat di pintu lobi, ia menjorokkan seorang wanita tua hingga terjatuh.

            Satpam terbelalak; tubuhnya bergetar hebat. Matanya mengekori ke mana Hero menuju. Hero berlari. Hero meraung. Sebuah ledakan terjadi dan orang-orang berhamburan keluar dari mal.

            Satpam kehabisan kata-kata. Ia ingin membohongi dirinya sendiri bahwa yang meledak di dalam sana hanyalah kepala Hero yang sumpek—sudah terlalu jauh diajak berpikir. Ia sungguh ingin membohongi dirinya sendiri. Namun, bom itu bom asli, membunuh banyak sekali orang. Sepertinya, Satpam pikir, aturan 3 putih 1 hitam itu bakal benar-benar diterapkan setelah ini.

***

Muhammad Gibrant Aryoseno
Latest posts by Muhammad Gibrant Aryoseno (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!