Beliau adalah Muhammad bin Muhammad al-Husin Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi. Beliau adalah termasuk sufi agung yang dilahirkan oleh Thawus. Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu ‘Usman al-Hiri, juga bersahabat dengan para sufi yang hidup di zamannya.
Di zamannya, beliau adalah satu-satunya sufi yang unggul di bidang kemuliaan. Beliau adalah seorang sufi yang memiliki karamah-karamah yang begitu nyata. Beliau adalah seorang sufi yang begitu tinggi kedudukan rohaninya. Juga begitu nyata semangat rohaninya.
Beliau wafat pada tahun 350 Hijriah. Thawus menangis. Thawus berduka karena kehilangan seorang tokohnya yang ternama, Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi. Seorang sufi yang mempersatukan denyut kehidupannya untuk Allah Ta’ala, untuk sembah sujud yang paling haru, juga untuk pelayanan kepada umat manusia di situ.
Beliau berkata bahwa beruntung sekali seseorang yang menuju kepada hadiratNya dan tidak menggunakan perantara sama sekali selain Allah Ta’ala. Dalam konteks ini, Allah Ta’ala adalah tujuan satu-satunya. Allah Ta’ala adalah perantara satu-satunya. Cukup, sama sekali tidak memerlukan perantara yang lain.
Karena itu, meninggalkan dunia mesti karena Allah Ta’ala, bukan karena sesuatu yang lain, apalagi karena dunia itu sendiri. Itu jelas tidak boleh. Meninggalkan dunia karena dunia sama saja dengan tidak meninggalkan dunia itu. Karena walaupun dunia itu ditinggalkan, tetap dunia itu diharap menumpuk untuk dirinya.
Di waktu yang lain beliau mengatakan bahwa Allah Ta’ala memberikan makrifat kepada seseorang sesuai dengan kesanggupannya menanggung bencana. Semakin besar bencana yang ditanggung oleh seseorang, semakin besar pula makrifat yang diterimanya. Pun, sebaiknya.
Berarti dengan demikian kesanggupan menanggung besarnya bencana adalah kenikmatan di dalam menerima linangan makrifat kepada hadiratNya. Juga merupakan perhatian yang paling utuh kepada nasib dan penderitaan sesama umat manusia. Sebab, perhatian dan cinta kepada lian adalah pantulan dari cinta kepada hadiratNya.
Pada kesempatan yang lain beliau menyatakan bahwa khidmat kepada sesama sama sekali janganlah dibeda-bedakan. Apakah khidmat kepada orang kecil atau orang besar, harus tetap sama. Bahkan Nabi Muhammad Saw kalau diundang orang miskin, beliau mendahulukan undangan itu.
Itu artinya adalah bahwa mendahulukan orang-orang miskin memang merupakan agenda beliau. Kenapa demikian? Karena orang-orang miskin itu adalah mereka yang selalu terdesak hidup di dunia ini. Andaikan mereka didahulukan dalam perkara undangan mereka, niscaya mereka akan terhibur karena itu.
Ungkapan Kitab Simtudduror yang perlu digarisbawahi di sini adalah “Idza da’ahu al-miskinu ajabahu ijabatan mu’ajjalah.” Apabila Kanjeng Rasul Saw oleh orang miskin, beliau sesegera mungkin merespons undangan itu. Betapa agung perilaku Nabi Muhammad Saw. Betapa tampan akhlak beliau Saw. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Hasan al-Hamadzani - 13 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #3 - 6 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #2 - 29 November 2024