Bagaimana Haji Ahmad Membuat Paman Idam Bertobat

PAMAN Idam masih terhitung keponakan Haji Ahmad, kakekku. Ibunya Paman Idam sepupu dua kali kakek. Paman Idam baru berumur lima tahun ketika ayahnya meninggal karena kecelakaan saat membalak di hutan. Paman Idam sempat dua tahun dititipkan dan dirawat kakek. Kakek mengasuhnya seperti anaknya sendiri karena dia tak punya anak laki-laki. Ketika ibunya menikah lagi, Paman Idam dibawa pergi dan dibesarkan ibunya bersama ayah tirinya.

Kakekku tidak setuju dengan pernikahan itu, ia tak suka pada lelaki yang menikahi ibunya Paman Idam. Keluarga baru itu tak menetap di kampung kami. Idam dibawa ke kota lalu berpindah-pindah dari kota-kota kecil di sepanjang sungai Mahakam. Ia tumbuh lebih banyak dalam perjalanan.

Lalu kabar tentangnya menghilang. Hingga lebih dari dua puluh tahun kemudian, pada suatu dini hari, ia datang ke kampung kami, muncul mendadak, mengejutkan, ia seperti sedang melarikan diri dan hendak sembunyi di rumah kakekku. “Paman, sembunyikan saya. Saya baru saja membunuh orang di kota. Sembunyikan saya, Paman,” kata Paman Idam.

Malam itu aku menginap di rumah kakek. Aku terbangun dini hari itu karena suara keran air di teras samping. Itu kebiasaan kakekku. Ia selalu bangun tengah malam kemudian ambil wudu. Aku tertidur di depan televisi bersama beberapa sepupu sehabis nonton Aneka Ria Srimulat semalam.

Saat itulah ada suara ketukan di pintu, setelah suara mobil berhenti lalu melaju pergi. Ketukan yang keras, tapi ritmenya seperti amat berhati-hati. Juga suara orang memanggil-manggil, “Paman Ahmad… Paman Ahmad… ini saya, ini Idam, Paman…”

Kakek sepertinya kenal suara itu. Tapi nama “Idam” tampaknya langsung mengingatkannya kepada keponakannya yang telah hilang kabar. Ialah yang memberi nama itu. Benarkah dia Idam? Si Idam Halid? Kakekku mengambil mandau yang tergantung di dinding lalu membuka pintu. Paman Idam langsung mencium kaki kakek. “Ini Idam, Paman. Idam… sembunyikan saya, Paman…”

Rumah Haji Ahmad, rumah kakekku, adalah salah satu rumah terbesar di kampung kami, saingannya hanya rumah Haji Mahlan. Kamarnya ada enam. Tiga kamar selalu kosong. Ia sediakan sebagai tempat bermalam anak-anaknya yang jauh, keluarga dari kampung lain, atau apabila masjid kami mengundang ulama dari kota lain. Di salah satu kamar itulah Paman Idam disembunyikan.

Kakekku sebenarnya marah kepada Paman Idam. Dua puluh tahun lebih dia tak pernah mengunjunginya. Lalu tiba-tiba saja datang dengan masalah dan minta perlindungan. Sesungguhnya, kami, cucu-cucu Haji Ahmad, waktu itu sama sekali tak kenal dia. Sesekali kakek bercerita tentang keponakannya yang hilang jejak itu. Cerita tentangnya tak pernah jelas. Kabarnya ia pernah tinggal di Jantur, Muara Muntai, Sendawar, hingga ke hulu Mahakam. Ayah tirinya bekerja serabutan hingga menjadi tengkulak kerbau dan ikan biawan. Ia juga—kata orang kampung yang pernah bertemu dengannya–pernah bekerja sebagai awak kapal transportasi yang melayani rute sepanjang Mahakam. Pernah juga kami dengar kabar ia bekerja jadi penebang kayu di Sampit. Tak pernah ada kabar yang pasti.

Diri hari itu ia datang hanya dengan kaus tanpa lengan yang kotor dan bekas darah kering dan membawa satu tas penuh entah apa isinya. Aku menduga itu senjata atau uang hasil kejahatan. Entahlah, kakek tak pernah memberi tahu kami.  Ada bekas lubang peluru di lengannya. Kami mendengar di kota memang sedang ada operasi petrus. Penembakan misterius. Para penjahat kelas kambing hingga kelas kakap, preman, tukang copet, geng-geng kriminal yang menjadi beking tempat-tempat pelacuran dan perjudian menjadi sasaran. Dibunuhi lalu mayatnya hilang. Ada banyak tato di tubuh Paman Idam. Dua hari kakek membiarkan Paman Idam menenangkan diri dan mengurangi nyeri lukanya.

Kecuali kami, tak ada yang tahu tentang keberadaan Paman Idam di rumah kakek. Kakek berpesan benar agar kami tak menceritakan itu kepada siapa pun. Itu susah sekali bagi kami, anak-anak kecil yang gatal bibir. Terutama Oji, sepupuku.

Di sekolah pada jam istirahat Amay menarik tanganku ke belakang sekolah lalu ia bertanya apakah benar ada penjahat sembunyi di rumah kakekku. Amay teman sekelas yang paling manis di sekolah kami adalah anak kapolsek. Aku terkejut dan gugup mendengar pertanyaan itu. Ia bilang ia tahu dari Oji. Oji memang susah dipercaya. Ia suka mengarang cerita macam-macam.

“Benar, ya, Yan?” Iya, ada keponakan kakekku. Dia tiba-tiba datang dengan badan penuh darah.Hampir saja aku menjawab begitu. Aku tak bisa berdusta. Dibanding Oji, aku dikenal sebagai anak yang selalu jujur. 

“Kamu percaya sama Oji?”

“Makanya saya tanya kamu, Yan,” kata Amay.

Aduh susah sekali berbohong kepada Amay. Kalau bertatapan dengannya dari jarak sedekat kami saat itu, aku seperti tersihir oleh matanya. Berkali-kali aku mengelak tapi Amay terus mendesak. “Janji kamu tak ceritakan ke orang lain, apalagi ayahmu, ya?” Akhirnya aku membisikkan sesuatu kepadanya. “Ini rahasia, ya,” kataku. Aku mencium wangi di leher dan rambutnya, tapi keharuman itu sama sekali tak meredam rasa bersalahku.

Aku kaget dan takut sekali ketika sore itu Pak Kapolsek, ayahnya Amay, datang ke rumah kakek. Apakah Amay menyampaikan sesuatu kepada ayahnya? Perasaanku lega karena ternyata ia hanya mengantar surat izin keramaian untuk malam pengumpulan dana pembangunan masjid. Kakekku adalah ketua takmir sejak masjid jamik Sirajuddin berdiri di kampung kami. Aku mencuri dengar apa yang dibicarakan oleh kakek dan tamunya.  Sebelum meninggalkan rumah kakek Pak Kapolsek melihat aku dan bertanya, “Ini teman sekolah Amay, ya?”

“Iya,” kata kakekku. “Cucuku Si Iyan. Sofyan.”

Aku mengenal sosok Paman Idam lebih dekat ketika malam itu. Kakek memanggilku masuk ke kamarnya setelah beberapa waktu mereka bicara berdua. Ia duduk di tepi katil. Kondisinya sudah jauh lebih baik daripada ketika ia muncul pada dini hari lalu. “Kalau dia hidup, anakku harusnya sudah sebesar kamu,” kata Paman Idam kepadaku. Aku tak tahu harus bicara apa. Ia minta aku duduk di sebelahnya. Ia mengelus kepalaku.

“Kamu yang suka azan di masjid ya?” tanya Paman Idam lagi.

“Iya, Paman….” kataku. Aku lihat matanya berair.

Lalu tengah malam itu, ada suara mobil berhenti di depan rumah kakek dan sejak itu Paman Idam tak ada lagi di rumah. Sejak itu pula kakekku tampak gelisah. Hingga pada malam Jumat itu ia mengumpulkan para pengurus masjid. Sependengaranku mereka membahas uang kotor sumbangan dari seseorang untuk masjid. Apakah diterima atau tidak? Masjid sedang perlu uang banyak untuk memperluas lantai, dan memperbaiki kubah yang bocor dan miring. Aku menduga itu uang dari Paman Idam. Tapi kakek tak menyebutkannya. Para pengurus lain menolak keras. Pertemuan itu tampaknya tak berujung pada kesepakatan. Tapi pada saat salat Jumat kakekku mengumumkan sumbangan dana yang cukup besar angkanya dari seseorang yang hanya disebutkan sebagai ‘hamba Allah’.

“Ini uangnya bersih. Halal. Saya menjaminnya,” kata kakekku. Tapi tetap saja orang-orang kampung bertanya-tanya. Apalagi setiap Jumat sumbangan dari ‘hamba allah’ selalu ada dan selalu besar. Orang-orang kampung semakin curiga.

Empat tahun kemudian, masjid kami, masjid jami Sirajuddin selesai dibangun dengan lantai keramik yang makin luas, kubah besar, bahkan menara baru. Paman Idam datang pada saat peresmian dengan perempuan yang baru saja ia nikahi. Kabarnya ia baru saja keluar dari penjara setelah tertangkap di kota. Ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya ia menyerahkan diri. Sejak itu ia menetap di kampung kami. Ia bertobat, meninggalkan dunia lamanya yang kelam. Tapi tato-tato di tubuhnya itu tak bisa menyembunyikan masa lalunya.

Paman Idam menjadi nelayan. Istrinya membantu membuat usaha pengasinan ikan. Paman Idam rajin ikut salat berjamaah, ia bahkan sesekali menjadi muazin. Hatinya sangat terikat pada masjid. Ia sering bilang masjid kami itu seperti rumahnya. Ia selalu menyebut kakekkulah orang yang membuatnya bertobat. Orang kampung mencurigai bahwa penyumbang bernama “hamba Allah” itu adalah Paman Idam dengan uang hasil rampokan.

Ketika kasak-kusuk tentang hal itu makin santer, Haji Mahlan tak tahan lagi. Bersama beberapa orang tua kampung lainnya ia meminta kakekku. “Datanglah ke rumah, kita bicarakan,” kata kakekku.

“Tidak, Ji. Haji sudah bertahun-tahun menyembunyikan ini dari kami. Masjid kita ini ternyata dibangun dengan uang hasil kejahatan. Kotor sekali. Buat apa punya masjid mewah dan besar tapi dibangun dari uang tak berkah? Sejak kita rapat dulu di rumah Haji kami sudah curiga itu yang hasil kejahatan Idam, keponakan Haji yang pulang kampung setelah keluar dari penjara… Haji harus tanggung jawab,” kata Haji Mahlan.   

“Saya masih memegang omongan saya, uang sumbangan yang kita pakai untuk membangun masjid itu uang halal… uang bersih. Saya tahu fikih, saya tahu agama. Saya tahu urusan halal dan haram. Jangan ragukan saya soal itu,” kata kakekku, meredam keributan tapi sama sekali tak menghilangkan kecurigaan orang kampung hingga bertahun-tahun kemudian.  

Aku sudah menikah dengan Amay ketika kakek meninggal. Paman Idam menangis meraung-raung. Ia melarang orang lain menggali kubur untuk kakek. Ia melakukan itu seorang diri. Seperti hendak membayar hutang budi yang tak pernah bisa pernah bisa ia bayar.

Paman Idam tambah terpukul dan meraung-raung tangisannya ketika pada malam ke-7, setelah kematian kakek, surat wasiat kakek dibuka dan sebuah tas diserahkan kepadanya. Surat itu dititipkan kakek kepadaku. Di kamar itu, kamar tempat dulu ia disembunyikan kakek, aku serahkan surat itu. Hanya kami berdua. Tas dikeluarkan dari lemari sesuai petunjuk kakek di suratnya. Itulah tas yang ia bawa pada malam ketika Paman Idam minta dilindungi oleh kakek. Pistol dan uang dalam tas itu utuh, dibebat rapi dalam satuan jumlah tertentu.

Dalam suratnya kakek menyampaikan pesan kepada Paman Idam bahwa ia tak ingin menghalangi niat keponakannya itu bertobat. Seluruh uang hasil kejahatan yang hendak disumbangkan itu tak mungkin ia serahkan untuk pembangunan masjid. Lalu uang itu ia gantikan dengan uangnya sendiri, dan itu ia niatkan sebagai sedekah atas nama Paman Idam, atas nama ‘hamba allah’, agar niat bertobat Idam tak terhalangi. Paman Idam meminta aku membakar tas itu bersama uang isinya. Aku menceritakan dan menjelaskan semuanya kepada Amay, istriku.                   

“Saya kira kamu dulu bohong,” kata Amay.

“Bohong apa?”

“Dulu. Waktu kita kecil. Waktu saya tanya cerita Oji soal ada penjahat sembunyi di rumah kakekmu. Kamu bilang cerita itu benar ‘kan? Hari itu ayahku datang ke rumah kakekmu ‘kan?”

“Aku lupa, May. Sudah lama sekali itu.”

“Ya. Ayahku bilang, tak ada siapa-siapa di rumah kakekmu. Saya waktu itu sempat benci sekali denganmu, kamu kuanggap sama saja suka mengarang cerita bohong seperti Oji.”           

Jakarta, 11 Januari 2024

Hasan Aspahani

Comments

  1. Ziyatus Sholihah Reply

    WOWWW SO COOL

  2. Erna Surya Reply

    Bagus sekali cerpennya. Selamat..

  3. Fimahfihi Reply

    Keren, banyak makna!

  4. Syassabilaaa Reply

    Lucu banget, suka! Ada makna pada setiap kalimatnya, kerennnn

  5. rifa Reply

    seruuuu 🥹

  6. Zen Zaini Reply

    Keren.
    Saya butuh contoh cerpen-cerpen sastra seperti ini untuk mengajarkan penulisan cerpen pada siswa. Sementara ini para siswa hanya membaca cerpen pop yang tidak bermutu, karena yang banyak mereka jumpai hanya cerpen-cerpen model itu.

    Ini menginspirasi.

  7. Shalsaaa Reply

    Wauw, cara nyeritainnya terkesan santai. T-tapiiii makna dari cerpen ini patut dikasih bintang 5. Keren!

  8. mamimada Reply

    Nangis. Terimakasih kakek untuk bisa jadi tempat pulang meski Idam tidak sempurna

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!