Karya sastra dinikmati bukan hanya sebagai bacaan pelipur lara, karena terkadang justru menambah lara. Tidak benar juga jika karya sastra hanya dibaca untuk sekadar mengisi waktu luang, seolah tidak ada lagi yang bisa diperbuat dengannya setelah melakukan pembacaan. Karya sastra, sebagaimana sebuah buku pada umumnya, merupakan jendela pengetahuan. Adanya lintas kajian atau interdisipliner dalam menggunakan karya sastra sebagai objek kajian, membuat pengetahuan yang didapat darinya menjadi sangat luas. Sebuah karya bisa digabungkan dengan karya-karya lainnya yang berada pada satu zaman untuk melihat refleksi sebuah kebudayaan, karya sastra juga bisa digunakan sebagai sumber untuk pencarian sejarah minor. Selain menjadi refleksi dari kebudayaan dan masyarakat, karya sastra juga bisa dijadikan media untuk mengintip kejiwaan pengarang. Yang terakhir itu kemudian akan dibahas lebih lanjut, terutama kaitannya dengan novel dengan bentuk narasi yang fenomenal seperti Alkudus karya Asef Saeful Anwar.
Melalui penyusuran narasi-narasi yang ada di dalam karya sastra, dalam hal ini adalah novel ditambah dengan penerapan kajian psikoanalisis, maka bukan tidak mungkin akan ditemukan kesimpulan yang berupa hasrat pengarang. Hal ini sudah sangat banyak dilakukan bahkan cukup terkenal dalam ranah kajian sastra di Indonesia, khususnya.
Ada Apa dengan Alkudus?
Alkudus merupakan sebuah novel karya Asef Saeful Anwar yang pertama kali diterbitkan pada April 2017. Karya Asef ini boleh dibilang dapat dikatakan novel karena pada sampul depannya dituliskan “sebuah novel”. Terlepas dari itu, karyanya ini memiliki narasi yang sangat tidak seperti novel pada umumnya. Asef mengadopsi bentuk dari kitab suci agama, lengkap dengan ayat-ayat yang dibuat dalam bentuk tutur sabda Tuhan. Novel ini tidak menceritakan mengenai salah satu tokoh dan juga komplikasi kehidupan sosialnya. Hal ini tidak mengherankan karena Asef mengambil penutur atau narator dari novel ini adalah Tuhan dari agama (yang diciptakannya) Kaib. Sebagaimana layaknya Tuhan, maka Dia bukanlah makhluk sosial yang memiliki kisah kehidupan yang memiliki kisah pergulatan dengan kebudayaan.
Novel Alkudus ini berisi seruan-seruan yang mengatur manusia terutama umat agama Kaib untuk menjalani kehidupan sosialnya. Novel yang secara spesifik dikatakan merupakan sebuah kitab suci agama Kaib ini merupakan sabda Tuhan terhadap seorang nabi yang berjenis kelamin perempuan dan bernama Erelah. Di dalamnya juga dikisahkan mengenai kisah-kisah teladan nabi-nabi pada masa sebelum Erelah.
Alkudus + Psikoanalisis = ?
Pada umumnya kajian psikoanalisis dalam sastra menggunakan teori Sigmund Freud atau penerusnya, Jacques Lacan. Akan tetapi yang kedua dianggap lebih banyak digunakan. Pada dasarnya kajian psikoanalisis ini berkeyakinan bahwa karya sastra merupakan manifestasi hasrat dari penulisnya. Hasrat dalam pandangan psikoanalisis tidak bisa diartikan secara etimologi menjadi sesuatu yang diinginkan. Walaupun memiliki hasrat tidak salah, namun selanjutnya hasrat dalam psikoanalisis ini dipahami sebagai sesuatu yang tidak pernah bisa ditampilkan dan terus dipaksa masuk ke dalam relung jiwa yang terdalam. Sebagai makhluk sosial, apabila hasrat tersebut termanifestasi, maka individu tersebut dalam bahaya karena bisa saja dikatakan gila atau minimal menyalahi aturan (norma) yang ada.
Narasi-narasi dalam sastra diibaratkan sebagai mimpi yang merupakan wilayah bebas otorisasi dan di dalamnya hasrat bisa termanifestasi. Hal ini membuat narasi amatlah penting untuk diteliti, terutama gaya bahasa yang terdapat dalam sebuah karya. Hal tersebut dapat menjadi media untuk kemudian mengungkap apa hasrat pengarang yang termanifestasi dalam sebuah karya.
Ketika hal itu diterapkan untuk mengkaji novel Alkudus, dengan ciri-ciri yang sudah disebutkan sebelumnya, dapat ditebak apa sebenarnya hasrat dari Asef Saeful Anwar. Utamanya, sebagai seorang penulis, melalui penciptaan agama baru dengan sabda-sabda yang menceritakan kisah nabi-nabi yang hampir sama atau merupakan kombinasi dari kisah nabi agama-agama lain yang dikenal di dunia nyata seperti Islam, Yahudi, ataupun Kristen. Contohnya adalah nabi agama Kaib yang bernama Sajwan[1] yang memiliki tongkat sakti, bisa berbicara dengan hewan, dan tiba-tiba menghilang atau diangkat oleh Tuhan ke surga. Kisahnya dapat dengan mudah mengarahkan kepada nabi Musa, Sulaiman, dan juga Isa. Asef dapat dikatakan memiliki hasrat untuk menciptakan agama baru dengan kisah-kisah martir yang dikarangnya untuk mencapai kesempurnaan karakteristik nabi-nabi yang ada di dalam agamanya.
Tidak hanya menceritakan nabi sebagai teladan, dalam novelnya yang juga dikatakan sebagai kitab suci agama Kaib itu, Asef juga menceritakan bagaimana harusnya manusia menjalani kehidupan. Dengan Tuhan sebagai narator dalam novel “kitab suci” ini, Asef banyak menjelaskan mengenai permasalahan dalam kehidupan dan cara menyikapinya. Contohnya saja dalam mengatur untuk saling mengingatkan waktu ibadat,[2] Tuhan agama Kaib memerintahkan agar tidak menggunakan cara yang mengganggu ataupun paksaan melainkan hanya dengan ketukan lembut di pintu sebanyak Sembilan kali. Dengan adanya Tuhan sebagai narator dan narasi yang berbentuk serupa sabda-Nya, maka hasrat Asef juga bisa jadi hasrat menjadi Tuhan.
Benarkah?
Melakukan sebuah kajian atau kritik sastra untuk kemudian dikirim atau diperlihatkan kepada penulisnya untuk dipertanyakan mengenai kebenarannya itu bukanlah sesuatu yang layak untuk dilakukan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, perlu sebelumnya dipertanyakan apakah Asef merupakan seorang yang memiliki gangguan kejiwaan neurosis atau psikosis sebagaimana yang biasanya menjadi pasien Freud atau Lacan? Pertanyaan itu tidak perlu dijawab, hanya saja Freud dengan psikoanalisis dapat memberikan pemahaman akan mimpi untuk kemudian menemukan terapi yang tepat bagi pasiennya yang mengalami gangguan jiwa. Sedikit berbeda dengan Freud, Lacan menemukan bahwa bahasa memiliki struktur yang sama dengan kejiwaan manusia. Lacan percaya dengan menyusuri gaya bahasa melalui terapi express writing maka dapat pula ditemukan terapi untuk pasiennya. Walaupun pada perjalanannya Lacan semakin menjauh dengan psikoanalisis klinik.
Kemudian kembali lagi, benarkah Asef berhasrat menciptakan agama baru dan menjadi Tuhan dalam agama yang diciptakannya? Mungkin saja.
Hal yang terpenting dalam sebuah penciptaan, dalam hal ini adalah penciptaan sebuah novel, adalah power atau kuasa. Kuasa tidak hanya bisa didapat dengan bermodal duduk di depan laptop dan mengetik sesuka hati, itulah kenapa tulisan ada yang bernilai untuk dibaca oleh khalayak, dianggap sebagai produk kebudayaan ada juga yang tidak. Kuasa ini didapatkan dengan memaksimalkan indra untuk menjadi peka terhadap tiap-tiap apa yang terjadi dalam lingkungan sosial. Isu-isu sosial harus diserap dengan baik untuk kemudian disaring bukan untuk ambil posisi di dalamnya melainkan menciptakan sebuah terobosan yang keluar dari lingkaran isu-isu sosial yang selalu menghadirkan pola refleksi biner.[3]
Dalam penciptaan Alkudus, alih-alih menjadi seorang yang tidak berdaya karena memiliki hasrat yang tidak bisa direalisasikan dalam dunia nyata, Asef justru memiliki kuasa Tuhan untuk menjadi pencipta novel. Novel yang diciptakannya merupakan sebuah terobosan dari isu-isu sosial sekitarnya yang diciptakan oleh konflik-konflik agama. Tidak heran jika dalam novel Alkudus lebih banyak diungkapkan mengenai bagaimana harusnya manusia bertingkah laku kaitannya dengan kehidupan manusia lainnya.
[1] Lihat Alkudus halaman 165-178.
[2] Lihat Alkudus halaman 124-126.
[3] Penjelasan ini terinspirasi oleh teori re-/deterritorialization milik Deleuze dan Guattari.