Berakar Pada Sufisme

gambar untuk hari Sabtu

Judul              : Setangkai Melati di Sayap Jibril

Penulis           : Danarto

Penyunting   : Agus Noor

Penerbit         : DIVA Press

Tebal              : 436 halaman

Cetakan          : Pertama, April 2016

Danarto, kelahiran Sragen, 27 Juni 1940, sebagai cerpenis, memiliki kedudukan khusus dalam dunia sastra Indonesia. Melalui cerpen-cerpen yang ditulisnya, ia menempatkan diri se­bagai pembaru cerpen Indonesia, baik secara teknik atau gaya penulisan yang dikembangkannya, maupun tema yang dijelajahinya. Lebih-lebih, melalui empat kumpulan cerpen yang telah diterbitkan: Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), Berhala (1987) dan Gergasi (1993), Danarto berhasil meletakkan “tradisi” penulisan cerpen yang berakar pada khazanah sufisme. Dalam kesusastraan Indonesia hal itu terasa signifikan, apabila kita menempatkannya pada kecenderungan umum realisme dan absurdisme yang berakar pada pertumbuhan kebudayaan Barat yang nyaris dijadikan “acuan utama” para sastrawan Indonesia. Apa yang ditempuh Danarto, dengan mengembangkan sufisme dalam cerita-ceritanya, pada akhirnya meretaskan jalan bagi kemungkinan kreatif yang bisa dijelajahi oleh kesusastraan Indonesia. Itu berarti, pengayaan tematik di satu sisi, sekaligus membuka wilayah baru, suatu terra incog­nita, wilayah di luar jangkauan logika.

Dengan begitu, Danarto juga menempatkan teks cerpen tidak semata-mata sebagai sebuah cara untuk merumuskan kenyataan, tetapi justru menciptakan kenyataan. Sastra, dengan begitu, benar-benar ditempatkan sebagai “dunia alternatif”. Ini berbeda dengan kecenderungan realisme yang banyak mewarnai cerpen Indonesia pada umumnya, yang berpretensi ingin dipahami atan diterima sebagai kenyataan itu sendiri. “Menghargai” teks cerpen sebagai dunia alternatif, berarti menghargai sebuah teks bagi kemungkinan beroperasinya pelbagai penafsiran: karena teks cerpen tidak sedang “mendefinisikan dunia atau kenyataan” tetapi mendorong bagi terbukanya dunia atau kenyataan” yang boleh jadi bertolak belakang dengan pemahaman formalistik mengenai apa itu dunia dan/atau kenyataan. Karenanya, sumber kreatif teks cerpen pada akhirnya bukan semata apa yang dipahami sebagai kenyataan indrawi, tetapi lebih dari itu, ia ada di sebalik kenyataan-kenyataan indrawi itu. Dengan begitu, bagi Danarto, menulis sebuah cerita bukan semata-mata menceritakan kembali kenyataan-kenyataan indrawi yang menyergapnya, tetapi menjadi sebuah usaha untuk mentransendentasikan kenyataan-kenyataan indriawi itu menjadi pengalaman batiniah.

Dengan memahami hal itu, kita mafhum, cerpen-cerpen Danarto menjadi begini unik, sekaligus memukau. Dalam hal ini boleh dibilang, cerpen-cerpen Danarto termasuk apa yang sering disebut sebagai “sastra fantasi”, karena ia memiliki ciri sebagaimana dinyatakan Rosemary Jackson, adanya penolakan terhadap pemahaman atau pengertian umum yang telah menjadi konvensi perihal apa yang dipahami sebagai yang nyata. Cerpen-cerpen Danarto, cenderung menghadirkan hal yang non-real, yang tak nyata. Namun Danarto memperlakukan hal itu tidak sebagai sesuatu hal yang saling bertentangan, bukan “dua dunia” yang tidak saling bersentuhan, tetapi justru sebagai suatu yang saling berkelindan, jalin-menjalin, pengaruh-mempengaruhi. Yang real dan non-real, dalam cerpen-cerpen Danarto, melebur menerobos ruang dan waktu, sehingga sebagai dunia alternatif cerpen-cerpen Danarto membawa kita, pembaca, ke dunia sonya ruri, yang tidak real tapi juga tidak sepenuhnya abstrak.

Di sinilah “unikum” cerpen-cerpen Danarto bila diperbandingkan dengan kebanyakan cerpen-cerpen yang ditulis cerpenis Indonesia yang juga mengeksplorasi wilayah non-real sebagai suatu hal yang surealis, atau bahkan sesuatu yang ab­surd. Danarto tidak memahami yang non-real itu sebagai sebuah bentuk, tetapi lebih sebagai proses terciptanya dunia alter­natif. Bentuk, memahami sesuatu yang non-real hanya semata-mata sebagai sesuatu yang mokal dan aneh, yang acap kali diperbalikkan dengan hal-hal yang real. Sementara memahami hal-hal non-real sebagai proses berarti menghayati setiap pengalaman puitik/estetik sebagai sesuatu yang terus berdenyut dan berkembang menjadi sebuah dunia alternatif; proses teramunya dunia real dan non-real ke dalam semua jaringan struktur cerita, ke dalam alur, tokoh, dan setting cerita.

Pada tingkat inilah, cerpen Danarto, pada akhirnya tidak semata-mata sebagai “sastra fantasi”, karena kita juga tak bisa begitu saja mengabaikan unsur-unsur mistikisme dan sufisme yang membauri cerpen-cerpen Danarto. Bahkan, hal itu terasa kuat dan kental, menjadi semacam aura bagi cerpen-cerpen Danarto. Cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril, Kursi Goyang, Kursi Goyang, 7 Sapi Kurus Memakan 7 Sapi Gemuk, adalah contoh yang relevan untuk itu. Hal ini—yang sebagaimana dikatakan Umar Kayam, menggambarkan proses kreatif Danarto sebagai seorang penulis yang dibimbing oleh prinsip Wahdat al-Wujud. Sebuah proses kreatif yang menemukan relevansi artistiknya ketika Danarto menggarap tema-tema yang tidak semata-mata bergerak di dunia “Awang-uwung”—dunia antah-berantah—tetapi mulai menyentuh ke peristiwa-peristiwa keseharian, sebagaimana dalam cerpen Tuhan yang Dijual, Buku Putih Seorang Preman, atau Garasi. Meleburnya dunia real dan non-real menjadi kian terasa kuat dan menakjubkan, ruang dan waktu yang mengungkung jadi hablur, batas dan jarak menjadi tabir yang misterius: membuat gamang sekaligus mendorong keinginan untuk memasukinya. Maka, cerita pun menjadi ruang bagi berlangsungnya peristiwa/pengalaman mistis. Hal semacam inilah, yang membuat teks sastra sebagai sebuah genre, menjadi sesuatu yang unik dan spesifik, yang tidak ditemui teks sosial atau teks jurnalistik, umpamanya.

Tak berlebih, apabila cerpen-cerpen Danarto, yang menyediakan ruang bagi berlangsungnya proses penghayatan pe­ngalaman mistis, memiliki kemungkinan bagi pembaca untuk mengenali pelbagai gejala dan fenomena yang semula dianggap lumrah dan biasa. Ada proses transendensi pengalaman dalam proses semacam itu. Hingga pengalaman konkret tidak semata-mata sebagai sesuatu yang taken for granted, tetapi juga diproyeksikan jauh ke depan, semacam nubuat bagi peradaban dan kelangsungan hidup manusia. Inilah yang terasa dari cer­pen Paris Nostradamus dalam kumpulan ini. Satu cerita yang membawa pembaca memasuki “abad nuklir” yang telah mem­buat kota Paris ditinggalkan penghuninya. Kesunyian merayap di seluruh kota. Setiap orang mesti memakai masker. Dan ancaman nuklir membuat para ilmuwan membuat duplikat kota Paris di bawah tanah: kota di bawah kota! Atau dalam cerpen Kursi Goyang, yang terasa giris karena meramalkan apa yang kemudian sungguh-sungguh terjadi: kerusuhan massal yang menghanguskan kota Jakarta.

Apa yang ditulis Danarto, kian menegaskan keyakinan, betapa sastra ditulis memang untuk membuat manusia kian mengenali seluruh potensi kemanusiaannya. Bahkan, sebagaimana kata Albert Camus, ia adalah sumbangan bagi berlangsungnya peradaban di masa depan. Rasanya, tak berlebih, semua itu disematkan pada kumpulan cerpen Danarto ini.

Agus Noor
Latest posts by Agus Noor (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!