Betapa Berharganya Kenangan

pinimg.com

“Orang antusias mahal harganya!” ujarmu suatu waktu.

Aku memang belum mengenalmu lama. Tapi lewat cerita-cerita yang kamu tulis, sudah cukup menunjukkan siapa sebenarnya dirimu. Aku tidak pernah mengenal orang lain sebagus mengenal lewat cerita-cerita yang ditulisnya. Jika dia bukan penulis cerita, aku mengenalnya dengan seadanya. Selebihnya aku muak! Karena orang-orang di luar cerita ibarat bunglon. Mulut dan tindakannya berubah-ubah.

Kamu dalam cerita ini bernama Nurul. Sosok perempuan dengan gayamu sendiri. Rambut acak-acakan, kadang merokok, sesekali juga minum bir, mata sedikit sipit, bibir selalu basah entah karena apa, dan terakhir imajinasimu dalam cerita-cerita yang kamu tulis telah merontokkanku, juga hati cowok-cowok lain pastinya. Aku membayangkan kamu adalah sosok perempuan hebat. Aku tidak peduli kriteria orang hebat yang biasa mereka definisikan dalam diklat atau pelatihan-pelatihan cara kilat menjadi hebat! Ah bullshit! Sudah kubilang, orang-orang di luar dunia cerita adalah bunglon. Mulutnya berbusa bicara kadal, tapi tindakannya tumpah ruah bersama buaya! Mulutnya bicara manis-manis tapi penis dan vaginanya dibiarkan amis!

Aku hanya percaya dunia cerita. Titik.

“Iya, orang seperti kamu ini mahal harganya.”

Aku menimpali ucapanmu sekenanya. Kamu sepertinya sedang asyik dengan dunia cerita yang terus kamu tulis, dunia-dunia baru yang kamu ciptakan. Kamu ibarat Tuhan tanpa malaikat. Dan nabi-nabimu adalah tokoh-tokoh dalam ceritamu. Kamu boleh tidak percaya, tapi aku akan mengatakan ini.

Kamu pasti masih ingat ketika dua tahun lalu kita berkunjung ke museum Istanbul Modern. Kamu menekuri dalam-dalam setiap lukisan Hoca Ali Rıza. Lanskap Istanbul yang dilukis olehnya membuatmu begitu meresapi kota tua yang menjadi rebutan banyak peradaban itu. Aku tidak keberatan sama sekali ketika kamu melewatkan begitu saja lukisan karya Monica Bonvicini dan Julian Opie di museum itu.

“Betapa berharganya kenangan,” desismu dalam.

Aku memperhatikan benda-benda pemeran yang tengah kamu tatap, sebuah lukisan berjudul Sumbullu Yali karya Hoca Ali Rıza. Yali adalah sebutan untuk rumah-rumah mewah serupa vila di sepanjang Selat Bosphorus. Rumah-rumah di Istanbul sisa-sisa arsitektur Ustmani mayoritas terbuat dari kayu. Ya, sekarang semua itu menjadi kenangan. Kita sekarang akan melihat Istanbul sebagai kota dengan beton-beton mangkrak dan congkak. Ini bukan lagi Istanbul dengan arsitektur balok-balok kayu dari Laut Hitam yang ramah laut, bercumbu dengan angin dan menangkap kabut-kabut tipis di musim gugur.

Ah, kamu mendengarkan penjelasanku, tidak? Aku membatin sembari melihatmu dari samping. Pipimu yang seperti gosokan tanah liat ditempa lampu temaram museum. Kamu hanya mendesis dalam dan berat, lalu dihempaskannya begitu saja.

Nurul, aku tidak ingin mengacaukan pikiranmu. Biarlah apa yang kamu alami mengendap menjadi apa saja dalam dirimu. Boleh menjadi kenangan, tapi jangan sampai menyiksamu. Aku siap menjadi apa saja seperti yang kamu inginkan, seperti biasa kamu menciptakan tokoh dalam cerita-ceritamu. Di Istanbul aku siap mengantarkanmu ke mana pun kamu suka. Meski sampai detik ini aku tidak pernah mendengar alasan kedatanganmu ke Istanbul.

Apakah kamu merindukanku sehingga mencariku ke benua lain? Ah, tak mungkin. Karena yang punya perasaan itu hanya aku.

Segelas teh mungil serupa kuncup bunga tulip memantulkan senyummu yang didadar pada hamparan Bosphorus. Aku biarkan kamu menikmati teh dan baklava di Tophane. Ini tempat yang tepat untuk menanyakan kedatanganmu ke Istanbul. Sebuah kafe di tepi laut, angin sesekali menyingkap rambut sebahumu, dan lagu “Hangimiz Sevmedik”[1]­nya Muslum Gurses yang menyayat-nyayat. Lebih baik kamu tak paham lirik lagu itu. Kamu juga tidak terus terang ihwal kedatanganmu di Istanbul.

“Coretan-coretan di kanvas Hoca Ali Rıza ibarat sepetak mimpi. Mereka seperti datang dari sebuah kenangan yang tak pernah ada. Dia melukis pantai dan rumah-rumah di sepanjang selat ini, Nurul. Tapi apa yang kamu lihat sekarang?”

“Kosong!” ujarmu ketus.

Pramusaji hilir mudik di sekitar kami. Kamu tidak sadar, Nurul, dia sedang memperhatikan tehmu yang tak kunjung dihabiskan. Aku sudah minum dua gelas teh. Teh Turki harus dinikmati ketika panas. Kalau teh sudah dingin, mereka pasti membuangnya seperti membuang mantan yang tak tahu diri. Awalnya aku tidak bisa minum teh panas-panas begini. Tapi apa pun zamanla alisir[2] kata mereka.

“Kamu mau pesan teh lagi?”

“Ehmm….”

Kamu hanya berhedem begitu. Sementara, ini sudah teh ketiga buatku.

Kamu menatap ke seberang selat. Di sana Uskudar, Istanbul bagian Asia. Ketika angin berputar dari gulungan ombak Bosphorus dan menghantam rambutmu, aku sengaja mencuri-curi pandang. Kamu masih tanpa anting ternyata!

“Saya tidak senang perhiasan.”

Aku kembali mengingat kata-katamu 10 tahun silam di Kota Tua, Jakarta. Anting yang sudah kubeli sebagai hadiah ulang tahunmu itu akhirnya sia-sia. Anehnya, kamu tak pernah menanyakan ke mana nasib anting itu. Biarpun begitu, aku bertekad tetap menyimpannya. Karena aku yakin suatu waktu nanti, entah kapan, kamu akan menerima barang yang tak kamu senangi ini. Kamu boleh tidak menyenangi sesuatu, tetapi momen dan kenangan yang melumurinya akan membuatmu berpikir lain, akan membuatmu sadar bahwa tak ada dibenci selamanya dalam hidup ini. Demi apa pun, anting ini bagiku sebuah kenangan, untuk niat baikku sebagai teman dekat yang pelan-pelan menyimpan rasa cinta kepadamu. Ya, lebih tepatnya mencintai tulisan-tulisanmu.

Tanganmu dingin, Nurul. Ini masih awal Oktober, belum puncak musim gugur. Tapi syukur, kamu mau memakai syal berwarna cokelat yang kubeli di Eminonu kemarin sore. Setelah itu kamu mengajakku memancing ikan di Jembatan Galata. Dan si Turgut, teman baru kita mau dengan lapang dada meminjamkan alat pancing kepadamu. Orang Turki memang suka membantu, kamu perlu tahu itu. Tak sampai 24 menit, kamu sudah mendapatkan tujuh potong ikan. Para pemancing di sekitar kami melihatmu penasaran. Kamu ajaib sekali.

Onun marifeti var,”[3] bisik Turgut. Aku mengangguk.

Aku sekarang mengantarmu ke Museum of Innocence. Kita bisa jalan kaki dari Tophane, menaiki undakan bukit-bukit yang sudah dipenuhi beton dan apartemen. Meski nama museum ini yang kamu sebutkan saat pertama kali menginjakkan kaki di Istanbul sembilan hari silam, aku sengaja mengajakmu ke museum ini agak akhir-akhir, setelah semua kamu jelajahi. Karena museum yang dibangun oleh Orhan Pamuk ini ibarat catatan kaki tentang sejarah Istanbul. Biarlah terlebih dulu kamu menikmati setiap sudut Istanbul, mengendapkannya, lalu datang ke museum ini untuk menguji seberapa magis dan misteriusnya kota ini. Pasti kamu merasakan “the muezzin calling the faithful to prayer in a voice that soars and dips like an aria from a Russian opera, you have the magic of the East” seperti yang Ernest Hemingway tulis ini. Ya, di balik keindahannya yang berseri-seri Istanbul tetap menyayat nyeri dan penuh misteri.

Kamu tertegun lama menatap sebuah kalimat it was the happiest moment of my life, though I didn’t know it yang ditulis di dinding menuju lantai kedua museum ini. “Kalimat abadi dalam hidupku,” bisikmu sembari menyentuh kalimat pembuka dalam novel Museum of Innocence itu. Lalu tanganmu tiba-tiba menggandengku erat. Aku terkesiap bukan main. Aku mengimbangi jalanmu dan memastikanmu naik tangga kayu dengan hati-hati. Di antara kalimat itu, kamu tiba-tiba memelukku. Aku mengusap keningmu dan tanganmu menarik kuat leherku. Ya, ini ciuman pertama kali sejak aku menyukaimu lewat cerita-cerita yang kamu tulis. Ini sudah 15 tahun! Aku peluk erat tanganmu sembari menikmati aksesori dalam museum ini.

Di lantai tiga, matamu tiba-tiba basah. Kamu menatap baju Fusun yang malang itu. Kamu bercerita kalau sudah membaca novel The Museum of Innocence sampai tiga kali. Tiba-tiba kamu memegang telingamu yang tanpa anting itu sembari menatap koleksi anting Fusun yang sempat hilang bertahun-tahun. Kau pasti merasakan betapa sakitnya kehilangan, bukan?

Aku yang beridiri tepat di belakangmu mengeluarkan anting yang 10 tahun silam kubeli, untuk hadiah ulang tahunmu. Bibirmu kelu. Kamu diam saat aku memasang anting itu di telingamu sambil berbisik, “Betapa berharganya kenangan!” Lalu aku usap air matamu.

“Terima kasih, Berno. Kamu sudah menjadi tokoh cerita yang setia menemaniku,” tulis Nurul sembari melafalkannya pada kehampaan kamarnya.

Malam hening meringkusnya lebih dalam. Matanya lelah. Nurul coba terpejam, membayangkan Berno di Istanbul, tokoh cerita yang selalu ingin hidup bersamanya.

Konya, 24 September 2016

 

Catatan Bahasa Turki

Zamanla alisir (Beradaptasi dengan waktu)

Onun marifeti var (Dia punya kelebihan)

Hangimiz Sevmedik? (Siapa di antara kita yang tidak cinta?)

[1] Siapa di antara kita yang tidak cinta?

[2] Beradaptasi dengan waktu.

[3] Dia punya kelebihan.

Bernando J. Sujibto
Latest posts by Bernando J. Sujibto (see all)

Comments

  1. Azzah Haniifah Reply

    “Tokoh cerita…” Okee 😂

Leave a Reply to Azzah Haniifah Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!