
Ketimbang dengan biologi, psikologi sebenarnya lebih dekat dengan filsafat, seperti roti dan anggur. Teori-teori pengetahuan adalah suatu filsafat psikologi, tapi suatu filsafat tidak benar jika tidak punya teori kepercayaan. Dan umumnya filsafat tidak punya. Aku kira teori ini dapat kita dekati dari kepercayaan langsung, salah-satunya melalui kedekatan-kedekatan yang berlaku pada setiap makhluk. Aku pernah merasa lebih dekat dengan sebuah ban bekas, misalnya, dan itu wajar sekali karena aku adalah pengembara dari kota ke kota. Esai risetku Psikologi Ban Bekas yang aku tulis setahun setelah aku pensiun dari ngomong tak keruan di depan anak-anak muda haus ilmu itu lahir dari kepercayaan; dan ban bekas yang kuhormati itu pernah sangat dekat dengan seekor angsa yang bertelur di atasnya ketika aku bahkan sudah tak bisa memenuhi undangan sebuah seminar di kota dekat kampungku sendiri; dan ban bekas tidak lebih dekat dengan jalan raya! Tidak mungkin benda yang menggilas dan merusak aspal itu dekat dengan sang aspal! Kedekatan tidak mungkin saling menghabisi secara kasar! Meski secara teori akulah yang membuat ban itu habis kikis dan jalan aspal itu hilang remuk pelan-pelan karena kerikil-kerikilnya terhempas dari sang aspal, hubunganku dan ban itu seperti hubunganku dengan usiaku sendiri, suatu hubungan psikologis, bukan filosofis.
Sedangkan istriku Carême merasa lebih dekat dengan seekor kuda sehingga wajar jika anak kami menyukai kuda-kuda kaku, baik itu dari kayu ataupun dari pualam palsu, yang berputar di pasar malam keliling. Ia pikir kuda-kuda itu kaum leluhurnya yang membeku karena musim salju teramat lama di masa lalu! Karena anak kami gagah, kami menyebutnya Cheval Si Jantan.
Ya, biarlah yang lain menyukai yang lain. Tuhan Mahaadil, tak satu diperebutkan oleh semua, tak semua suka mawar sebagaimana tak semua suka kuda; tak semua suka angsa sebagaimana tak semua suka ular naga. Agar Tuhan menjadi satu-satunya pusat cinta semesta maka ia membuat hubungan-hubungan antarmakhluk berjalan rata, seimbang, adil. Kalau ada satu makhluk jadi pusat baru penyembahan, maka Tuhan pasti marah. Demikian aku kira mengapa aku bisa sangat menyayangi seekor angsa betina dan istriku sangat menyayangi seekor kuda. Aku mendapatkan angsaku itu dari Pasar Sabtu Agung, dan Carême mendapatkan kuda keriting dari satu petang, ketika ia berjalan-jalan di sebuah kuburan telantar dekat Pasar Tulip, beberapa hari setelah aku berkata “Kini sudah saatnya aku hanya ada di sampingmu.” Pasar Tulip ini dulu adalah halaman kastil tua yang ditinggalkan sepasang setan penyayang binatang. Tidak ada yang tidak mungkin bagi apa pun jika Tuhan menghendaki. Dan Carême berkata “Itu bagus buat ‘ketidakterlambatan-sama-sekali’, bukan?” Aku tidak mengerti, tetapi selalu berusaha mengerti jawaban berupa kalimat tanya tersebut. Mungkin ia marah sebab selama masa kuatku aku menghabiskan waktu dari kota, dan kini tidak terlambat jika ada niat fokus dengan rumah tangga. Tapi itu hanya tafsir, dan kebenaran tafsir adalah kebenaran psikologi subjektif.
Setelah 1 tahun berlalu angsaku bertelur padahal ia tak punya lawan jantan, kusimpan telurnya segera di balik buku tebal yang telah sepensiun diriku: tua dan terkelupas seperti senyuman kepasrahan; dan berbulan-bulan lamanya Carême memilih tinggal di Kastil Setan hingga ia datang membawa anak kami Cheval Si Jantan, setahun usianya. Tuhanlah yang menjadikan segala makhluk ada dan biologi suka bicara tentang kelahiran dengan cara yang kaku.
Ayahku Fort Plesnos seorang kapten kapal pembajak yang baik. Di tangan kanan ayah selalu secara otomatis tersedia garpu dan di tangan kirinya selalu tersedia pisau pemotong telur. Jaket kaptennya dirancang untuk bisa mengeluarkan pisau dan garpu dengan gerakan tertentu setiap ia duduk di meja makan. Telur adalah makanan kesukaannya. Ketika kapalnya mendarat di sebuah pulau kecil berpohon sepasang kelapa tanpa buah, ayah merasa iba pada kemandulan sepasang kelapa itu. Maka ia tanamkan sebutir telur dari perbekalannya di salah satu akar kelapa sambil berdoa “Tuhan, berilah mereka anak!” Maka jadilah anak—seekor naga berkaki dua, di depan satu dan di belakang satu, bersisik tajam di bagian punggung, berwarna merah bata, berkumis kail. Kumis kail naga itu, kata ayah, ketika aku masih kecil, menyerupai bulu angsa yang biasa terpasang di topi bajak lautnya. “Biologi dimulai dari sini, Robert anakku!” ucap Ayah, “kau harus belajar dari segala yang mungkin menurut Tuhan, bukan mungkin menurut nalar kita.”
Ketika suatu hari aku ke Pasar Sabtu Agung dan melihat angsa betina itu aku merasa punya hubungan kedekatan dengan topi ayah yang pada suatu hari melahirkan aku ke bumi ketika Laut Datar melemparkan tiga telur burung pelican agar menetas di daratan. Aku adalah telur keempat yang menetas di topi ayah ketika ayah bertahan di Laut Datar melawan seekor kuda laut seukuran lumba-lumba yang menyemburkan tinta hitam ke matanya. Ayah menjadi buta, tapi ia tak penasaran, sebab ia telah memiliki putra dari kebaikan Tuhan. Dan ia percaya telur keempat itu dikibaskan Si Naga Merah dari arah Pulau Dua Kelapa.
Lain dari kisah kelahiranku, kau boleh mendengar kisah lain dari istriku ketika ayahnya dulu jatuh dan mati karena kaget melihat adik perempuannya, Seleena, keluar dari Cermin Biru warisan orang suci yang jadi gurunya. Katanya, “Sebelum Ayah dikuburkan di sebuah petang, Seleena melihat bintang-bintang gemerlap di atas senyap dukanya, dan ketika pulang, di dekat gapura biara, Seleena dikejutkan oleh seekor kuda hitam yang meloncat dari kegelapan.”Carême yakin bahwa kuda hitam itu adalah jelmaan ayahnya yang membuatnya bisa mengandung dan melahirkan Cheval Si Jantan. “Oh, Carême yang cemerlang!” pujiku dan aku tersenyum memandang matanya yang berbinar ketika itu tapi seakan melihatku sebagai idiot tanpa pengetahuan. Kalau Tuhan menghendaki maka apa pun akan jadi berdasar kehendak-Nya, begitu tulisku pada salah satu halaman catatan harian.
Dan pada suatu hari ada tiga manusia berhidung bengkung terbang di atas halaman rumah. Sebenarnya kedatangan mereka sudah kucium dari jauh hari. Aku sering bermimpi bertemu ayah dan tiga telur pelikan itu kulihat berputar di atas Laut Datar. Itu sebabnya aku membeli angsa itu agar di malam hari ada yang bisa memberi isyarat “kwak kwak” jika keanehan datang mendekati rumah. Dan ketika tiga manusia berhidung bengkung itu benar-benar datang mendekati halaman rumput, angsaku berisik petang itu seakan memberi tahu untuk hati-hati. Aku menghampiri mereka dan mereka bilang mereka adalah Tiga Pelikan dari Laut Datar. Mereka datang untuk mengabarkan bahwa salju akan turun dan kata salah seorang dari mereka “Bersiaplah kamu untuk bertahan dalam beku!”
Benar sekali! Setelah mereka berlalu, aku melihat bulan mendadak sabit, sabit yang memutih, dan bukit-bukit di utara menjadi cokelat, sedangkan langit menjadi biru berpori-pori putih-abu. Pada angin yang bergulung-gulung di atas bukit-bukit cokelat itu, melongsorlah salju dan Si Kuda Keriting meringkik memanggil Carême. Carême menggamit Cheval dan berangkatlah mereka ke arah selatan untuk menghindari kematian. Tak mungkin aku menyusul mereka. Aku bertahan berbulan-bulan. Hingga tiba saatnya langit terbelah oleh warna jingga dan embun-embun abadi mengeras di atas rumputan, tanda musim kan berganti semi yang lebih panjang dari musim bunga-bunga di dalamnya, Carême belum kembali ke rumah. Si tua ini rupanya sudah dia anggap mati karena ketuaan tak pernah dapat bertahan lama dalam timbunan gigil yang panjang. Dan angsaku mati dalam pelukan sebelum semi mengubah segalanya jadi lebih kemerahan. Aku mencabut salah satu bulu terbaiknya dan membuatnya jadi pena.
Ketika aku menulis surat untuk Raja Negara, sambil berselimut kulit beruang berbantal kulit musang, surat tentang kelaparan salah satu rakyatnya yang penuh nikmat, aku teringat telur angsa yang kusimpan itu. Aku mengambilnya dengan susah payah sebab tulang sudah sekaku es di langit-langit gua. Aku membawa sang telur tidur dan menetaslah ia menjadi anak kecil yang telanjang, berwarna kuning, seperti matahari pertama di musim semi kemalangan sekaligus kegembiraan. Di kedua telinga anak kuning ini tumbuh jamur abu dengan bulu-bulu yang halus, sedangkan pada kakinya rumputan kecil keungu-unguan membungkus hingga ke betis. Ada bunga lonceng kecil sekali tumbuh dekat hidungnya. Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan menghendaki, begitu aku tulis pada salah satu catatan harian.
Ketika anak ini berbicara, suaranya mengingatkanku pada suara langit yang mendekat ke arah jendela kamarku terakhir kali: kuat dan bergelora, seakan pipi Carême yang masih bisa kusentuh dengan kedua telapak tangan ini. Oh. Setelah saya menjadi tua-renta serenta kulit-kulit pohon eik purba, hidungku mengembung seperti burung pelican—bagaimanapun aku lahir dari telur pelikan keempat, dan anak kuning Sang Angsa telah menjadi dewasa, dan warna kuning yang tersisa pada tubuhnya hanya tinggal tiga helai rambut di atas kepala. Pori-pori kulit anak kesepianku ini mengingatkanku pada pori-pori di gambar krayon sebuah dongeng.
Aku kasihan melihat hubungan-hubungan tiap makhluk jika pada akhirnya Tuhan akan memisahkan masing-masing hubungan itu. Aku berkata kepada anak angsaku, “Besok jika salju kembali melongsor dari bukit-bukit cokelat di utara katakan kepada Tiga Pelikan dari Laut Datar bahwa aku ingin bertemu dengan perempuan penyihir berambut kail. Aku pernah melihat penyihir itu dalam mimpi dua malam yang lalu dan dia berkata: ‘Kamu akan mati seperti Carême dan Cheval yang mati terperosok ke jurang!’”
Anak angsaku pergi sebentar ke luar dan ketika ia kembali beberapa hari kemudian ia kembali bersama Tiga Pelikan dari Laut Datar. Ketiganya mengangguk kepadaku dengan hormat, dan ketiganya membawaku terbang ke langit biru. Aku tahu aku sudah mati dan mati adalah tidak berhubungan lagi dengan ban bekas, tidak pula dengan ilmu-ilmu yang serba terbatas. Tidak ada filsafat yang pernah menceritakan hidup macam ini. Tidak ada psikologi yang pernah membahas batin macam ini. Tidak pula biologi mengenali asal-usul ini. Aku adalah hidup yang ditentukan! Apa yang kata Tuhan mungkin maka mungkin saja bagi-Nya. Aku adalah kematian yang diantarkan!
Sebagai pengembara dari kota ke kota, sebagai penjaja ilmu-ilmu keterbatasan, dulu, aku suka berkata di berbagai pertemuan dengan para cerdik-cendekia: “Hidup adalah suatu usaha untuk tidak menyerah pada ketentuan yang harus dipercayai jika kenyataan telah membuktikannya!” Kini kata-kataku itu sudah jelas maknanya. Dan ketahuilah bahwa aku dan Carême adalah sepasang kekasih. Keyakinan kami yang membahagiakan hanya satu, kami percaya Tuhan akan memberi kami anak kapan saja Tuhan mau. Pada puncak ketulusan-Nya, Tuhan memberi kami masa depan kematian masing-masing yang saling memisahkan lagi. Jika Tuhan mau Tuhan bisa saja mengembalikan kami ke bumi selaku ban baru dan jalan setapak yang mulus tanpa kerikil. Dalam kematian, aku makin percaya Tuhan.
Selama aku melayang-layang di langit aku melihat surat untuk Raja Negara akhirnya diterbangkan angin, lolos melalui jendela kamar, digulung bunga-bunga yang berjatuhan, menggelinding hingga ke Sungai Hitam di kaki gunung. Sesaat setelah ia lepas dari gulungan bunga-bunga, surat itu diraih seorang pendeta yang membawanya ke hadapan sebuah jemaat. Ia membacakannya dan ia mengingatkan jemaat untuk tidak takut kelaparan, tidak takut perpisahan, tidak takut menjadi tua dan berat melangkah, dan percaya adalah percaya pada apa yang sudah terjadi dalam aneka sejarah mereka yang saleh. “Cinta dan kematian,” ucapnya mengutip suratku itu, “adalah sepasang kenyataan yang kita semua hanya akan terima di antara dua pengembaraan: pengembaraan bumi dan pengembaraan langit.”
Aku tidak tahu aku mau ke mana lagi. Aku hanya tahu pori-pori langit itu kian membesar dan aku merasakan arwahku tersedot pelan-pelan ke salah-satu pori-pori itu. Di mana Carême? Aku tidak tahu. Di mana Cheval? Aku tidak tahu. Mungkin mereka telah lebih dulu dijemput pasukan kuda ke pori yang lain di langit yang sama. Aku memandang bumi terakhir kali dan melihat cintaku di atasnya beterbangan bersama bunga-bunga lonceng biru, burung-burung berparuh hitam, dan para kekupu yang mengepakkan sayap tapi tak terbang, mengingatkan aku pada awal-awal aku berlarian di atasnya dan menemukan Carême kecil setelah aku remaja di sebuah kebun anggur di kampung kami, di kaki Gunung Kastil. Hidup justru harus aku tinggalkan di saat saya baru memahaminya.
- Kalung Sampai Mati - 1 April 2022
- Teman Kita yang Paling Kaya dan Kesepian - 15 October 2021
- Teman Kita yang Berdarah Pelaut - 11 June 2021
Tesa Maya
Saya ada baca beberapa buku Bang Eka Kurniawan
Cara bercerita orang filsafat memang “Bedebah”
Anonymous
oh gitu ya. bedebah banget emang Eka itu.