Dokter Setengah Malaikat

pexels.com

Serpihan surga itu ada di sini. Di depan kornea bulatku. Mataharinya hangat, lembut, dan serasa memijat. Guguran embun berjatuhan dari lentik jerami, dan jelita bunga-bunga rumputan liar. Hamparan kebun teh, karpet hijau ranum itu, seperti halaman bagi sekeliling Gunung Tangkuban Parahu, dan gunung-gunung lainnya itu. Ini sungguh memanjakan pandang.

Di depanku, para tukang ojek di pangkalan kebun teh itu diperiksa Pak Bahruddin dengan ketelatenan seorang peneliti. Dari bola mata hingga denyut jantung dan sekujur tubuh, nyaris tak luput dari jamahan stetoskop dan tangan “Sang Dokter Keliling”. Keheranan menyergap para pekerja transportasi lokal itu. Ya, mereka tentu mengerutkan dahi, karena tiba-tiba, seorang pejalan kaki asing, menyapa mereka ramah, lalu memandang tajam, dan menyebutkan bahwa masing-masing dari mereka mempunyai penyakit menahun, hanya dengan memandang mata dan raut wajah mereka.

Para lelaki berotot kencang itu takjub. Kadang tak dapat menahan turun naik hidrolik bibirnya. Membenarkan ucapan sang dokter keliling itu, mengenai penyakit yang masing-masing mereka derita. Mereka juga mengangguk-angguk, saat diberi tahu mengenai beberapa tanaman dan buah yang dapat mereka peroleh di sekitar mereka, sebagai obatnya. Penawar luka yang selama ini tak mereka ketahui. Mutiara yang luput dari jemputan, karena selama ini mereka takut ke dokter. Terutama takut dengan bayarannya.

“Bapak-bapak harus rajin mandi air panas di Maribaya, dan sering-seringlah duduk agak lama di batu yang panas. Insya Allah sembuh.” ujar sang dokter, yang disambut senyum lebar para tukang ojek itu.

Ini juga menyangkut rasa heran dan takjubku. Hal seperti itu, pernah dilakukan Pak Bahruddin, kepada para tukang ojek, petani, penduduk, serta nelayan di sekitar Pantai Ujung Kulon, Banten, tiga puluh hari sobekan kalender yang lalu.

Kami melanjutkan perjalanan, melangkah ringan menyusuri lekuk bibir bukit.

Kuhirup aroma segar pegunungan dan wangi pucuk-pucuk daun teh, dan bunga sedap malam, di antara geliat lanskap bebukitan dan geriap rambut pepohonan pinus terpuitis, yang bahkan lebih puitis daripada puisi-puisi Ramadhan KH tentang Priangan Si Jelita. Tentu saja, ini kan puisi konkrit. Ini cukup membayar rasa pegalku, sehabis satu jam menahan sesak dalam minibus umum dari terminal Ledeng ke daerah Lembang, Bandung Utara yang penuh pesona ini.

“Tataplah lekat-lekat beberapa saat. Klorofilnya akan menyehatkan mata penat kalian!” Pak Bahruddin menunjuk jajaran pohon-pohon teh hijau muda, sambil meraih dan mengunyah pucuk-pucuk segar itu.

Aku dan Yusran mengikuti petuahnya. Dan kami tersenyum. Bukan untuk soal memandang kehijauan daun, namun saat melihat bagaimana Sang Profesor mengunyah pucuk-pucuk daun itu. Sehabis turun dari mobil angkutan, nyaris sepanjang jalan, Professor Bahrudin selalu menyempatkan memetik lalu mengunyah berbagai dedaunan yang ia anggap aman dan berguna bagi kesehatan. Tentu sambil menerangkan beragam fungsi serta nama latin tanaman-tanaman itu, yang dicatat dengan baik oleh Yusran, sehabis ikut mengunyahnya juga. Sosok berambut perak sebagian itu, juga menerangkan jenis dedaunan lain yang tak boleh dimakan, karena mengandung racun, atau karena fungsinya untuk hal lain. Bukan untuk dilahap.

“Selain memiliki banyak tempat wisata yang indah dan menakjubkan, negeri kita juga kaya sumber makanan bergizi. Jadi, jangan takut kelaparan!” katanya, sambil mengambil beberapa mangandeuh atau benalu pada batang teh. “Lihat, ini benalu. Saya dahulu berpikir. Benalu memang parasit bagi tumbuhan. Tapi bisa jadi obat. Kenapa?” Ia memandang kami, lalu melanjutkan perkataannya, “Karena benalu mengumpulkan atau menyerap semua sari makanan dari tumbuhan yang ia tinggali. Ia banyak mengandung vitamin C,” senyumnya.

Kami kemudian melanjutkan pergerakan kaki, yang bayangannya kian memanjang, menggerayangi tanah-tanah merah. Harum hektaran kebun bunga, cukup membunuh penat.

“Waktu perjalanan ke Kabupaten Garut, saya beritahukan kepada para pemetik teh. Banyak yang tak percaya. Eh, sekarang…, jadi banyak orang yang menjual benalu teh itu untuk obat….” Pak Bahruddin kemudian tertawa kecil, sambil terus melangkah cepat.

“Apakah itu berlaku untuk benalu di semua tanaman?” tanyaku sambil terus menyeimbangkan langkahku yang selalu ketinggalan. Menahan beban ransel.

Pak Bahruddin berbalik, menatapku tajam dengan dua bola matanya yang nyaris keluar. “Bisa jadi. Hanya perlu penelitian lagi. Eh, kamu ternyata genius juga, Kamil!”

Aku dan Yusran, memang seakan sedang menjajaki sebuah petualangan gila. Mengikuti seorang manusia gila yang mempunyai pandangan-pandangan radikal, terutama mengenai ilmu kesehatan. Memang telah banyak suara-suara yang menyerbu goa pendengaranku, bahwa manusia tinggi besar blasteran Sunda India yang bernama Bahruddin itu, adalah orang gila.

Mungkin benar pada awalnya.

Yusranlah yang mengenalkannya padaku. Aku terkejut saat ia mengenalkan dirinya dengan sebutan Profesor Doktor Med. Mohammad Bahruddin secara mantap dan penuh percaya diri. Pakaiannya yang kusam dan kusut, tas kecilnya yang lusuh, sepatu kulitnya yang bolong, mukanya yang berewokan, dan gaya duduk serta bicaranya yang menggelegar, membuatku sekan berhadapan dengan sebuah fiksi.

“Saya ini orang genius. Di Asia Tenggara, saya paling genius!” senyumnya, sambil mengeluarkan sertifikat kegeniusannya dari sebuah lembaga asing, beberapa kertas kusam, dan brosur-brosur seminar. “Minggu depan ada seminar internasional tentang AIDS di Hotel Savoy Homan, esoknya ada workshop bonsai dan anggrek di Balai Sartika. Saya diundang ke sana sebagai pembicara. Kalau Anda mau ikut, saya bisa kasih referensi!”

Aku agak bingung dan gelagapan menghadapi manusia yang baru pertama kalinya kutemui sepanjang umurku yang baru menginjak tiga puluhan ini. Yusran yang kuliririk hanya menyunggingkan senyum saja. Orang setinggi hampir dua meter itu, kemudian terus bercerita tentang petualangannya di berbagai belahan dunia, juga berbagai penemuan-penemuan pentingnya. Aku menyimak atara percaya dan tidak. Otakku membentuk cabangnya sendiri.

“Dua tahun lalu, saat di Singpura, sehabis jadi pembicara tentang terapi alam untuk pengobatan anak dipable, saya kan dikasih kamar di hotel sama panitia. Uh gerahnya tak terkalahkan AC. Jadi saya keluar saja menuju pantai. Di sana lebih sejuk. Saya berbaring. Lalu saya berpikir, kalau di tepi pantai lebih sejuk, apalagi kalau di bawahnya. Di dalam laut. Saya langsung berdiri, meloncat dan segera menemui manager hotel. Saya katakan agar dia membangun beberapa kamar di bawah laut. Kamar itu harus banyak kacanya. Ingat, bila kita memandang ikan-ikan dalam akuarium saja tenang, apalagi kalau akuariumnya dan ikannya besar, dan bisa kita pandang sambil tiduran!” ujarnya berapi-api.

Beberapa waktu kemudian, Yusran memperlihatkan sebuah headline surat kabar nasional: “Singapura Bangun Hotel Bawah Laut”.

Aku tertegun. “Penemuan apa lagi yang ia ceritakan padamu, Yus?” tanyaku pada dosen muda jurusan Pendidikan Luar Biasa di IKIP Bandung itu.

“Banyak. Katanya, ia menemukan penumbuhan kentang yang lebih cepat dan besar dengan sistem radiasi. Ya, radiasi kentang. Saat ke Thailand, katanya ia banyak menyilangkan tanaman untuk anggrek. Ia seakan membuat beberapa spesies baru. Dan saat di Amerika, ia menemukan mata air yang bisa menyembuhkan beragam penyakit. Ia terangkan kepada beberapa rekannya yang ikut konferensi kesehatan di sana. Mulanya banyak yang tak percaya, tapi kemudian terbukti benar. Ia menerangkan bahwa mata air dari sungai di pegunungan sana itu, dahulunya banyak ditimbuni aneka pepohonan yang berkhasiat. Jadi, wajar jika airnya juga bisa menjadi obat….” Jelas Yusran. “Tapi tak semua air sungai di sana berkhasiat. Hanya di tempat itu saja.”

“Hmmm…, lalu?”

“Kini, sebuah perusahaan besar Amerika, menjual air dari mata air tersebut dalam botol kemasan ke seluruh dunia, dengan sistem Multi Level Marketing!” senyum Yusran. “Dan sebetulnya, menurut Profesor Bahruddin kita itu, di Indonesia mata air seperti itu banyak….”

Aku tertegun lagi, “Ya…, aku jadi ingat peristiwa air ajaib di Kecamatan Cineam, Kabupaaten Tasikmalaya setahun lalu. Saat itu, ribuan orang antre dengan botol plastik untuk mendapatkan air ajaib, yang katanya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit….”

“Ya, berita dahulu yang kau liput untuk RCTI itu juga kulihat. Beberapa hari lalu kutanyakan hal itu pada Pak Bahruddin. Konon ia juga ternyata ke sana. Dan ia membenarkan hal itu. Karena, si penemu air ajaib itu, menggali sumur tepat di bawah aliran urat air perkebunan tanaman salak. Buah salak kan mengandung vitamin C, katanya. Dan vitamin C itu rajanya obat, katanya!”

“Hmmm…, jadi dia itu memang orang genius, Yus?”

“Genius itu ada berbagai tipe. Dan Pak Bahruddin ini memang super genius. Multitalent. Hampir semua buku tentang orang genius yang kupelajari, ada pada orang ini. Jadi, teori yang kubaca dari berbagai pakar luar negeri itu, kutemukan kebenarannya pada orang ini!”

“Misalnya?”

“Pola pikirnya yang integratif, cara bicara, gaya hidup, kehidupan sosialnya, emosinya, termasuk sikapnya yang ramah, tapi mudah curiga pada setiap orang… sehingga bagi yang tidak tahu, pasti akan dianggap gila, atau katakanlah tidak umum. Tidak biasa.”

Kini, Si Manusia Tidak Biasa itu sedang bersembahyang Duha di atas batu besar pinggir sungai, yang terletak di bawah perkebunan. Sambil mengelap lensa kamera, sesekali kunikmati aliran jernih sungai dengan kelokan-kelokannya yang indah. Aku jadi teringat lukisan-lukisan indah berobjek sungai dan bebatuan karya pelukis Sunda, Yus Rusamsi, yang pernah kulihat di sebuah pameran, dan di kantor Ajip Rosidi. Sastrawan besar itu memang dikenal juga sebagai kolektor lukisan Yus Rusamsi dan Affandi. Mereka konon bersahabat dekat. Yus Rusamsi dikenal banyak membuat lukisan-lukisan bergaya naturalis, dengan objek keindahan alam tanah Pasundan, Jawa Barat. Tempat yang konon dibuat Tuhan sambil tersenyum. Namun naturalismenya tidak biasa. Ia membuat warna-warni yang aneh pada lukisannya. Ia sering menampilkan langit berwarna ungu, juga pepohonan enau yang berwarna ungu. Kadang bebatuan pada  sungai pun ia buat dengan warna ungu. Warna-warnanya ajaib. Yang paling utama, nuansa kedahsyatan alam Pasundan-nya sangat terasa. Aku setuju dengan kritikus seni rupa yang pernah menyebut karya-karya lukis Yus Rusamsi sebagai karya agung dengan kecenderungan gaya Naturalisme Sundawi. Sebutan itu, dapat dikatakan setara dengan istilah untuk Surealisme Kejawen yang dikembangkan pelukis Ivan Sagito dari Yogyakarta.

“Lukisan itu memang bisa menjadi terapi bagi kesehatan!” tutur Professor Bahruddin, saat suatu waktu kami tengah ngobrol ngalor-ngidul. “Lukisan itu bisa menjadi obat. Jangan heran, kalau ada lukisan tertentu, dapat menjadi obat untuk penyakit tertentu!” jelasnya lagi. “Lukisan-lukisan lanskap Bali yang sangat indah, juga yang menampilkan ritualitas keseharian penduduknya, banyak yang bagus buat terapi kesehatan. Juga lukisan-lukisan modern dan abstrak kontemporernya yang terasa spiritualis, enak untuk dilihat dan dirasakan. Bapak pernah dengar, banyak para pelukis Bali itu melakukan semadi dan puasa atau tirakat, sebelum memulai lukisannya. Energi positifnya itu, akan menempel pada setiap goresannya. Kau tahu kan, Kamil. Bila seseorang mati, tubuhnya akan hancur diurai bakteri. Tatapi energinya tidak. Hanya energi yang tak dapat diurai…,” jelasnya panjang lebar, yang membuatku terpana saat itu.

Gila.

Berbicara dengan manusia setengah dewa ini, memang apa saja bisa nyambung. Jadi aku segera memutuskan untuk ikut, saat Yusran mengajakku untuk mengikuti petualangan aneh bersama Professor Doktor Bahruddin ini. Rencananya, kami akan mendokumentasikan teori terapi alam bagi anak-anak cacat fisk dan mental. Rencana besarnya, Profesor Bahruddin akan membuktikan beberapa teorinya mengenai pengobatan AIDS, dengan menggunakan beberapa ramuan herbal, terapi alam, dan rumusan obat kimia lain yang ia rahasiakan. Sebagai fotografer dan kameramen yang tengah menganggur, ajakan ini juga sekaligus untuk tetap mengasah kemampuanku di bidang visual. Lagi pula, semua biaya ditanggung Yusran, sahabatku semasa di Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung.

Petualangan pertama kali kami adalah ke Pantai Pondok Bali di Kabupaten Subang dan sekitar Indramayu. Pantai ini menyediakan ceceran surga yang lain. Sepanjang delta, sungai menuju pantainya, berderet perahu-perahu nelayan yang khas dan cantik dengan ornamen-ornamen yang dihias indah. Penduduknya yang selalu menyediakan senyum dan lambaian hangat, serta ramuan kulinernya yang memanjakan tarian lidah, membuat petualangan kami terasa lengkap. Dari pantai yang ranum dengan batang-batang pohon kelapa, dan jejeran warung-warung kayu beratap daun yang tertata rapi, sambil menikmati semilir angin malam dan ikan bakar segar, kami menatap kelap-kelip lampu dari perahu para nelayan, juga semburan api dari kilang minyak tepi pantai di seberang Pantai Pondok Bali itu.

Sehabis shalat Tahajud, tepat pukul dua dini hari, Pak Bahruddin dan Yusran merendam diri hingga sebatas leher di air laut. Aku pun ikut terjun, seusai mengambil beberapa gambar untuk video dan foto. Terapi ini berakhir menjelang subuh. Menurut teori Pak Bahruddin, Tuhan, lewat para malaikatnya, menurunkan barokahnya dan segala jenis obat dimulai pada pukul dua malam. Angin Darat, juga membawa semua penyakit dan polusi dari seluruh daratan ke tengah laut. Semua bakteri merugikan akan mati oleh air laut.

Usai sembahyang, kami menyantap ikan bawal yang dibakar, nasi liwet, serta sate lobster yang lezat, dengan penutup air kelapa muda.

Namun kejanggalan sang dokter, muncul saat kami hendak menarik layar mata.

“Kamil…,” bisiknya, “apakah orang yang sedang ngopi di sana itu bukan intel?”

Aku agak terkejut, namun segera kusebutkan bahwa orang itu bukan intel.

Pagi hari, kami menyewa sebuah kapal nelayan menuju sepetak pulau berpasir putih. Orang-orang konon menyebutnya dengan Pulau Pasir Putih. Ombaknya kecil biru jernih kehijauan, dan di beberapa tempat sebelum mencapai pulau, banyak nelayan yang turun ke air laut setinggi lutut hingga dada. Perahu-perahu bercadik mereka tambatkan pada karang, terapung indah. Aku menangkap keriangan mereka di antara ikan-ikan yang kadang meloncat dari kepungan mereka.

Di pulau itu, yang hanya muncul saat air laut surut, setelah dua jam mengarungi lautan, Pak Bahruddin mengubur Yusran hingga tinggal kepalanya. Sesekali, selang beberapa menit dan jam, Pak Bahruddin memberikan beberapa pucuk daunan segar yang telah ia petik sepanjang perjalanan dari terminal bis hingga tepi pantai. Lucu juga aku melihat Yusran seperti seekor domba saat mengunyah dedaunan itu.

“Jadi, nanti tinggal penggal saja kepalanya, ya, Pak?” gurauku yang disambut tawa Bahruddin dan Yusran.

Usai penguburan yang berlangsung sekitar tiga jam, dengan tatapan aneh beberapa wisatawan lokal dan asing yang juga tengah menikmati liburan mereka di sana, kulihat kulit punggung Yusran banyak menampakkan bercak-bercak kemerahan.

“Nah, lihat Kamil. Ini adalah penyakit-penyakit yang berhasil dikeluarkan lewat pori-pori kulit. Gravitasi yang kuat di pulau ini, telah menyedot penyakit-penyakit dalam tubuh Yusran!” senyum sang Profesor.

Teori terapi ini juga diulang seminggu kemudian di Pantai Ujung Kulon, wilayah Banten. Di tempat berdermaga kayu cantik itu, berpantai elok dengan hiasan kapas-kapas langit yang berubah-ubah di biru pupus cakrawala itu, dekat hutan lindung lebat berpenghuni Banteng gagah itu, terapi bahkan berlangsung lebih lama. Aku mengambil gambar lebih banyak dan terinci.

“Di sekitar Ujung Kulon ini, ada gravitasi yang lebih kuat, dari pertemuan arus besar dua samudera. Ini tempat  terbaik bagi terapi ini,” jelas Pak Bahruddin saat itu.

Di sana juga tak cuma terapi. Professor Doktor Bahruddin juga mengobati para penduduk dan keluarga nelayan, yang datang bagai lebah menemukan sarang madu. Aku dan Yusran tentu membantu sebisanya, terutama memberikan obat-obat yang telah kami siapkan. Jauh sebelumnya, Yusran memang telah mencatat dan membeli beberapa jenis obat yang direferensikan Pak Bahruddin untuk misi ini, pada sebuah apotek langganannya di kota Bandung. Para petugas  PLH Ujung Kulon yang ramah, juga dengan sangat gembira menyediakan kantornya bagi pengobatan gratis itu.

Terkadang, sambil melihat wajah sang dokter aneh yang berkeringat deras hingga tengah malam saat berlangsungnya pengobatan itu, aku terbengong. Ini memang petualangan yang ajaib.

Sebelum pulang kembali ke Bandung, kami jalan-jalan di sekitar kampung nelayan. Orang-orang mengangguk hormat, sementara anak-anak kecil berjalan mengikuti kami sambil tertawa atau tersenyum-senyum. Pak Bahruddin kemudian menengok beberapa pasien lain yang agak parah, dan tak sempat datang tadi malam. Ia kembali memeriksa mereka. Ada beberapa pasien yang ia anjurkan untuk dibawa ke rumah sakit, karena memang tampak parah.

“Ayo kita pulang. Saya curiga pada turis itu. Pasti dia anggota CIA….” Pak Bahruddin menunjukan isyarat dengan dagunya, kepada seorang turis yang tengah memotret nelayan.

Semua kenangan itu terpatri dalam benakku, hingga kini.

Petualangan sepanjang kebun teh dan bunga kali ini, adalah petualangan terakhir dari daftar riset Pak Bahruddin. Jadwal berikutnya adalah mengunjungi peternakan sapi. Di sana, kami harus minum susu sapi segar. Dan itu gratis, karena peternak sapi dan keluarganya, juga diperiksa kesehatannya secara gratis oleh dokter genius kami itu. Bahkan ada bonusnya. Sang dokter juga memeriksa beberapa sapi yang ada di sana.

“Sapi Bapak sehat-sehat. Tapi, kalau bisa, pakannya ganti dengan rumput yang lebih baik. Kalau bisa, para petani di sni, menyewa lahan milik desa. Lalu tanami dengan rumput gajah. Itu lebih baik buat pakan ternak sapi Bapak!” tutur Pak Bahruddin kepada sang peternak.

Dari peternakan sapi, kami kemudian berjalan kembali menyusuri punggung pinggang dan bukit. Kelokan-kelokan kecil menuju Maribaya. Terapi akan berakhir dengan mandi air panas di sana. Uh…, aku jadi terus membayangkan sambutan hangat air di pemandian itu.

                                                ***

Engkau berdiri di antara surga dan neraka yang lain.

Antara kewarasan, imajinasi, dan kegilaan, bersepakat membentuk kamarnya di otakmu.

Engkau goyah. Namun sebuah langkah penuh risiko itu telah kau ambil. Kau terlibat di dalamnya. Kau bagian dari rencana itu. Tahapan yang kau ikuti dengan memupus keraguan, namun bayang-bayang ketakutan muncul juga bersama sepisau risau.

Ini tidak lucu.

Tetapi memang bukan untuk tertawa ketika kau memutuskan terlibat dalam rencana gila itu. Risiko sebagai bahan tertawaan, cibiran, cercaan, bahkan kenistaan, membayangimu sepanjang petualangan gila itu.

Hidup memang untuk memilih sejumlah risiko. Surga dan neraka, akan tercipta dengan sendirinya. Kau, seperti “Manusia Setengah Dewa” atau “Manusia Setengah Salmon” sekalipun, tak dapat mengetahui kamar dan jalan takdir. Tuhan telah tahu dan menunggu jalan yang kau pilih. Pikiranmu tetap terhijab. Kau sadar dengan itu. Sesuatu yang membuatmu berkewajiban untuk begerak memilih yang terbaik, meski itu nisbi.

Ya. Nisbi.

“Jangan kau kira aku bisa langsung percaya. Teori memang dapat jadi pegangan. Dan meski ada fakta, ada sejumlah sejarah yang mengukuhkan keberadaan sebuah teori, dalam praktiknya selalu ada varian yang tak terduga. Aku sadar, teori ilmiah punya keterbatasan. Insting tetap berperan untuk menentukan sebuah keyakinan….” Tutur Yusran, sambil menyeduhkan kopi susu untukmu.

Kau memandang Yusran dengan masygul. Sahabat karibmu semasa mengelola tabloid Isola Pos di Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung itu, adalah juga fakta unik. Fakta sebuah kegilaan yang lain. “Gimana instingmu?” tanyamu sambil bersandar pada dinding dekat jendela kamar kost itu. Kamar tempat dosen muda itu bersarang bersama-sama pikiran-pikirannya yang kadang gila juga itu.

“Aku sedang berusaha berdamai dengan rasa takutku. Dalam buku-buku teori pun, hal seperti ini konon akan dirasakan, dialami, oleh orang yang akan berhadapan dengan manusia seperti Bahruddin ini. Manusia setengah malaikat ini. Aku mengambil risiko ini, karena rasa kasihan yang besar, sekaligus belajar membuktikan beberapa teori tentang orang-orang genius itu. Sepanjang sejarah, orang-orang genius telah memberikan banyak jasanya terhadap warna-warni kehidupan. Jalan kebudayaan. Jalan peradaban yang lebih baik. Einstein…, Bethoven…, Alexander Agung, Habibie, Gusdur…, kau tahu sendiri….”

“Kau sudah mengambil langkah terbaik. Itu menurutku, sih. Pengambilan dokumentasi foto dan video telah selesai, dan telah kau biayai hingga editing. Kau telah berkorban banyak untuk semua kegilaan kita ini. Kita tinggal memikirkan biaya ke Jepang…,” ujarmu, meneguk kopi, sambil mengamati kembali undangan untuk Konferensi Internasional Kesehatan di Tokyo itu. Nama Prof. DR. Med. Moh. Bahruddin tertera dengan jelas, berikut permintaan abstrak makalah, dan contoh foto serta video berdurasi dua menit.

“Ya, aku telah mengajukan proposal bantuan ke rektorat, juga Pemda Provinsi. Tinggal menunggu waktu saja…. Waktunya kan tiga bulan lagi. Aku sih optimis. Undangan ini membuktikan, bahwa teori yang telah diajukan Bahruddin ke panitia, telah disetujui. Ini membuktikan bahwa Bahruddin ini tipe penemu yang luar biasa. Telah kukatakan dahulu, kan, bahwa ia pun bisa membuat pesawat terbang?”

Engkau mengangguk. Sang genius yang telah yatim piatu sejak bayi itu, lalu diadopsi sorang dokter Belanda itu, dan mengaku telah kuliah singkat di beberapa perguruan tinggi negeri ini, memang seperti bisa membuat apa saja. Engkau merasa sangat beruntung bertemu dengan manusia langka yang tak terurus oleh negara ini. Bila kau dan Yusran serta dokter setengah malaikat itu, berhasil membuktikan kebenaran teorinya, mata dunia akan terbuka pada kegeniusan salah satu putra terbaik Indonesia ini. Dan yang paling penting, nasib Pak Bahruddin tidak akan terlunta-lunta seperti saat ini.

 Namun pencarian dana itu, tak berjalan mulus. Birokrasinya terlampau rumit. Kau dan Yusran tak dapat berbuat banyak. Takdir punya jalannya sendiri. Hal yang membuat pusing sepuluh ribu keliling, adalah kenyataan lain dari sikap dan sifat aneh bin ajaib Pak Bahruddin.

“Semua data tertulis dan visual itu, ia kirimkan semuanya ke panitia. Semuanya, Kamil. Termasuk bahan mentahnya!” Wajah Yusran semasak rendang Padang. Kepalanya bergoyang seperti boneka Loro Blonyo. “Dan itu tanpa setahuku!”

“Waduh, celaka, Yus!”

“Tentu saja. Itu artinya kita memberikan semua rahasianya. Detail penemuannya itu. Kadang, professor kita ini pikirannya seperti jalan tol, sekaligus ribuan gang sempit!” Yusran hampir mau melemparkan kepalanya.

“Lalu apa komentarnya saat Pak Bahruddin kau tegur?”

Yusran menaik-turunkan dadanya. “Enteng sekali. ‘Tenang saja,’ katanya. ‘Kuncinya tetap ada pada otak saya.” Yusran angkat bahu.

Hingga batas waktu untuk undangan itu habis, kau dan Yusran hanya pasrah. Tak ada sedikit pun peluang untuk pergi ke Tokyo. Sang dokter keliling itu pun seperti entah ke mana. Mungkin dia merasa kalau datang ke rumah kost Yusran pun, ia kurang diterima lagi. Tak seperti dahulu. Yusran memang berhak marah. Ah, tapi pasti nanti akan ada jalan lain, pikirmu. Namun keresahan tetap saja menjalar. Semua terasa sia-sia. Memang.

Entah mengapa, suatu hari, setahun setelah petualangan bersama Yusran dan Pak Bahruddin itu, engkau seperti ditarik tali ghaib untuk menemui Daming. Ia sahabat baikmu yang sangat gemar video, dan sering menjadi instruktur pelatihan. Ia menyambutmu dengan sangat gembira.

“Waduh, kau seperti dikirim malaikat, Kamil. Tadinya aku yang malah mau ke rumahmu. Aku mau bersombong-ria padamu. Aku baru saja pulang dari proyek besar.…” Daming memeluk pundakmu hangat, dan mengajakmu makan besar di sebuah resto berlanskap indah di kawasan Dago, Bandung Utara. Tempat paling favorit di Parisj van Java itu.

“Durian runtuh macam apa yang menimpamu, Ming?”

“Ya. Sebulan penuh, aku dikontrak sebuah tim orang-orang cerdas dan serius. Mereka memintaku mendokumentasikan perjalanan mereka, juga tetek bengek lainnya. Foto dan video. Bayaranku pakai standar dolar Amrik. Pokoknya asyik, lah. Makan hingga hotel berkelas, sekaligus rekreasi. Dahsyat, lah…. Ayo, kau bebas pilih menu apa pun. Sekenyang-kenyangnya. Pilih yang paling mahal saja. Aku yang traktir!”

“Ya…, baguslah. Kamu memang manusia yang selalu beruntung!” Engkau tersenyum, lalu memesan makanan dan minuman paling mahal. “Tadinya aku mau pesan sekalian sama pelayannya yang cantik-cantik itu. Tapi kau pasti keberatan!” candamu sambil tertawa selebar danau.

Eit. Jangan kau kira uangku tak cukup. Boleh-boleh saja. Tapi aku tahu kau takan bisa melakukannya. Manusia alim macam kau, sulit diajak berbuat dosa!” Daming tertawa ngakak.

Engkau dan sahabat sekampusmu yang berbeda jurusan itu, lalu menyantap hidangan pembuka, meminta lagu kesayangan pada para nayaga Jazz di panggung resto, lalu mengadu lenggokan asap rokok.

“Kau dikontrak siapa, sih.., sampai mendadak dangdut begini?”

“Orang Jepang! Ada pamanku di kedutaan yang menghubungkan dengan mereka!”

“Hmm…, pantas. Ke mana saja?”

“Ya mulai Subang, Indramayu, Lembang, hingga Ujung Kulon. Petualangan yang mengasyikkan pokoknya!” Daming meminum jus mangganya dengan nikmat.

Jantungmu seperti mendadak berhenti. Hatimu seperti menangkap gelagat yang akan membawamu pada sesuatu. “Memangnya untuk dokumentasi semacam apa, Ming?”

Kayaknyaaa…, dugaanku semacam terapi alam. Akan kuceritakan semuanya nanti di rumah. Ya…, misalnya, ada penguburan badan dengan pasir di tepi pantai. Terus…!”

“Gila! Sebentar, Ming! Kau tak perlu melanjutkannya!”

Daming menatapmu keheranan.

“Kita sudah sama-sama kenal sama Si genius Bahruddin, Kan? Kau pernah bilang ia adalah penggagas pameran dan konvoi bunga di Kota Bandung ini. Dokter yang bisa melukis dengan bagus, pernah mengobati seorang Perdana Mentri hingga sembuh total, dan sebagainya, namun kelakuannya aneh!” Engkau memandang Daming lekat-lekat.

“Tentu. Lalu, apa hubungannya?”

Engkau menarik napas panjang. Mencoba menenangkan ombak besar di jantungmu. Juga barisan kalimat yang seperti hendak meledak. “Kau tak perlu menceritakan detailnya. Aku sudah tahu semuanya. Apa yang kau lakukan dengan orang-orang Jepang itu, sama dengan yang kukerjakan… dengan si genius itu. Satu tahun yang lalu!” tegasmu.

“Wow! Kau membuatku penasaran. Ini kebetulan yang ajaib!”

“Ya. Aku juga tak mengerti. Takdir itu emang ghaib. Kau bersahabat karib denganku. Lama tak bertemu. Lalu tiba-tiba bersua untuk sesuatu yang sangat aneh….”

Okey…, aku tahu kau tak pernah bisa berbohong. Bahkan kalu kau sedang merayu cewek…, hahahaha!” Daming meneguk habis minumannya. Lalu memesannya lagi.

Engkau tersenyum, meski getir. “Ya…, begini saja. Aku akan bercerita semua hal yang kukerjakan itu. Kau jangan memotong ceritaku. Aku jamin. Kau akan mengiyakan, bahwa semua dokumentasi yang kukerjakan, akan sama sepuluh ribu persen dengan yang kau lakukan!”

Daming tersenyum. Lalu menatapmu serius. Engkau pun membuka semua kartu, semua detail yang sudah ada di luar kepalamu. Dan saat semuanya selesai kau muntahkan, Daming seperti patung.

“Benar, kan?” Engkau kemudian meneguk habis minumanmu. Menenangkan diri.

“Benar-benar eduaannn. Tak ada yang beda sedikit pun….” Daming menangkupkan dua tangannya ke kepalanya yang gondrong ikal itu. Tengadah. Lalu bertanya sambil menatap langit-langit resto berornamen Papua itu. “Tapi bagaimana bisa mirip seperti itu?”

Engkau pun menceritakan tentang undangan konfererensi itu, serta data-data yang telah dikirim setahun lalu itu. Kau juga bercerita tentang kekhawatiranmu dan Yusran tentang kemungkinan seperti ini. Meski tak menduga benar, jadinya akan seaneh ini. Juga sedetail itu.

“Jadi…, bagaimana ini? Apa yang dilakukan segelintir orang-orang Jepang itu?”

“Kau bisa menafsirkannya sendiri!”

Maka, saat kau ceritakan pertemuan dengan Daming itu pada Yusran, tentang semua keajaiban itu, dosen PLB itu bagitu lama terdiam. Lalu geleng kepala. “Ya, sudahlah. Kegeniusan itu kadang berbanding lurus dengan sifat kekanak-kanakan. Yang penting, semoga apa yang kita lakukan itu bermanfaat buat banyak orang….”

Saat itu kau hanya mengangguk pelan. Mencoba mencerna semua hal yang telah dituliskan sebelum lahir. Bahkan sebelum zaman es. Engkau pun kembali meneruskan beberapa pekerjaanmu yang lain. Kembali menata hidupmu yang lain lagi. Tentu tanpa kehilangan kontak dengan Yusran. Apalagi Yusran tengah merencanakan sebuah tabloid khusus untuk orang luar biasa. Ia tentu akan melibatkanmu.

Tetapi cerita baru kemudian muncul tiga bulan berikutnya. Dan cerita baru itu masih berhubungan dengan petualangan gila ke Pantura hingga Ujung Kulon itu.

“Lihat, dan bacalah!” Yusran melemparkan sebuah majalah luks agak tebal.

“Ada apa, sih? Seperti penting amat!” Engkau pun membukanya dengan santai. Lalu, pada beberapa halaman penuh warna, kau tertegun. Kau membuka-buka kembali halaman-halaman itu. Bolak-balik juga membaca majalah berbahasa Jepang dan Inggris itu.

Di majalah, terpampang beberapa foto orang yang tengah dikubur pasir dalam semacam bathtub, dalam kamar yang terang, mewah, dan bersih. Ada juga foto deretan bathtub itu dalam kamar yang lebih luas, juga bangunan rumah sakit, foto dedaunan, pantai, serta beberapa dokter yang tengah tersenyum ke arah kamera.

“Edan, bukan? Mereka bahkan telah membangun rumah sakit untuk terapi itu!” Yusran melepas dasinya.

“Dari mana majalah ini?”

“Perpustakaan fakultas. Itu pun tak sengaja. Aku sama sekali tak menduga akan ada isinya yang seperti itu,”

Engkau menutup majalah itu. Bersandar pada dinding. Melepas lelah dan keterkejutan baru itu. “Sudah kau beri tahu pada Pak Bahruddin?”

“Ya. Dua hari lalu ia ke sini. Ia tampak kesal, namun kemudian malah tertawa!”

“Dia bilang apa?”

“Biarkan saja, katanya. Terapi wisata alam lebih baik di tempat aslinya. Mereka tidak akan dapat menemukan kunci akhirnya. Pengobatan yang lengkap, rumus paling jitu, tetap masih ada pada otak saya, jelasnya. Tapi, ya itulah yang membuatnya tetap miskin!”

Engkau tercenung kembali. Perasaanmu campur aduk.

“Jangan bersedih! Mengalir saja! Malaikat memang tak membutuhkan royalti!”

Eriyandi Budiman
Latest posts by Eriyandi Budiman (see all)

Comments

  1. eriyandi budiman Reply

    Alhamdulillah. Terima kasih telah dapat memuat cerpen saya. Semoga berkah buat semua yaaa. Kepada para pembaca silahkan menikmati sajian cerpen saya.

    • meita eryanti Reply

      Cerpennya keren banget, Kang Eri…

  2. Farida Primariana Reply

    Pa Eriyandi Budiman…
    Saya udah baca cerpennya bagus….ternyata untuk menjadi seorang penulis harus berwawasan luas, seperti Pa Eri… semua terlihat dalam rangkuman tulisan ..jiwa petualangpun terlihat….bisa2 dokter genius itu pa Eri…hehehe.
    Sukses…..salam literasi

  3. epa mustopa Reply

    Salam Kenal Kang Eri !
    Cerpen Anda bagus. Imajinasi saya terbawa alur cerita. Apakah sosok Prof. Dr. Bahruddin itu kisah nyata atau imajinasi? terima kasih

  4. Lily Reply

    Keren banget, pak! Bisa berbasa-basi dalam sebuah cerita. Mantap jiwa deh pokoknya.

  5. Anonim Reply

    Kayak baca ilmu pengetahuan, beneran kan terkait informasi kesehatan itu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!