Ekspresi Keberagamaan Kaum Muda Muslim Milenial

Judul Buku       : Kaum Muda Muslim Milenial; Konservatisme, Hibridasi Identtias dan         Tantangan Radikalisme

Editor                : Chaider S. Bamualim, Hilman Latief, Irfan Abubakar

Penerbit            : Center for The Study of Religion and Culture (CSRC)

Cetakan             : Kesatu, Februari 2018

Tebal                   : xxii + 270

Adalah sosiolog Karl Meinheim dalam esai fenomenalnya berjudul The Problem of Generation yang pertama kali memperkenalkan tentang teori generasi. Menurutnya, manusia yang lahir dalam satu babak sosiologis yang sama cenderung akan memiliki kesamaan karakter dan pola pikir.

Berdasar pada teori itulah, hari ini kita mengenal istilah pembabakan generasi, mulai dari Generasi Era Depresi, Generasi Perang Dunia II, Generasi Pasca Perang Dunia II, Generasi Baby Boomer I, Generasi Baby Boomer II, Generasi X, Generasi Y, dan Generasi Z.

Pembabakan generasi itu didasarkan pada rentang tahun kelahiran. Latar sosio-antropologis yang berbeda antara satu generasi ke generasi selanjutnya itulah yang membuat masing-masing generasi memiliki keunikan terkait watak dan cara pandangnya melihat dunia.

Satu dekade belakangan ini, kita akrab dengan istilah generasi milenial. Istilah ini lalu-lalang dalam perbincangan kita sehari-hari. Generasi milenial sebenarnya merupakan istilah lain untuk menyebut generasi Y, yakni generasi yang memiliki rentang waktu lahir di atas tahun 1980 sampai 1997. Disebut milenial karena hanya generasi inilah yang melewati milenium kedua sejak teori generasi pertama kali dicetuskan oleh Mennheim pada 1923.

Douglas Main dalam artikelnya “Who Are They Millenials?” mencirikan generasi milenial sebagai generasi dengan karakteristik yang terbuka dengan perbedaan dan adaptif dengan perkembangan teknologi, bahkan pada titik tertentu tidak dapat hidup tanpa teknologi. Dalam konteks Indonesia, istilah generasi milenial dalam bahasa pergaulan keseharian sering kita sebut dengan idiom generasi “zaman now”. Ekspresi sosial-politik dan keberagamaan generasi milenial ini menjadi salah satu tema perbincangan yang meramaikan ruang publik kita belakangan ini.

Buku Kaum Muda Musim Milenial; Konservatisme, Hibridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme menyuguhkan pembahasan ihwal ekspresi keberagamaan kaum muda muslim milenial Indonesia. Buku ini disusun berdasar hasil penelitian yang dilakukan di 18 kota-kabupaten di Indonesia, melibatkan 935 narasumber dan informan yang berasal dari kalangan anak muda dengan rentang usia 17-24 tahun (hlm. xii).

Komposisi narasumber dan informan terdiri atas pelajar SMA dan mahasiswa yang aktif di berbagai macam organisasi kemahasiswaan, kepemudaan, dan keislaman dari berbagai spektrum ideologis yang berbeda. Dipilihnya anak muda sebagai objek penelitian tentu bukan tanpa sebab. Sejumlah literatur ilmiah menyebutkan bahwa muda (young) adalah sebuah fase penting sekaligus rumit.

Secara psikologis, usia muda adalah fase pencarian jati diri dan identitas. Pada fase inilah seseorang mencari, merumuskan, untuk kemudian meneguhkan identitasnya. Proses tersebut melibatkan aktivitas yang kompleks lantaran bertautan dengan faktor sosiologis dan politis.

Pertanyaan besar yang ingin dijawab buku ini ialah bagaimana anak muda Indonesia mengekspresikan keberislamannya di tengah menguatnya gejala konservatifisme, radikalisme, populisme, dan politik identitas di satu sisi dan berhadapan dengan arus informasi berbasis teknologi digital di sisi lain. Persinggungan antara berbagai variabel—kemudaan, kemodernan, keindonesiaan dan keislaman—itu telah melahirkan fenomena baru yang sebelumnya jarang mendapat perhatian kalangan ilmuwan sosial.

Berakhirnya Orde Baru oleh gerakan Reformasi 1998 tidak hanya mengubah peta politik, namun juga mengubah wajah lanskap kondisi sosial-keagamaan masyarakat Indonesia. Praktik demokrasi liberal telah memungkinkan wacana-wacana yang di masa Orde Baru dipaksa berada di pinggiran untuk tampil ke permukaan. Salah satu yang dominan menghiasi ruang publik kita pascareformasi adalah wacana terkait islamisme.

Gelombang islamisme, dalam banyak hal telah melahirkan apa yang diistilahkan Martin van Bruinessen sebagai conservative turn, yakni gejala menguatnya konservatifisme dalam beragama di kalangan muslim Indonesia. Di ranah politik, menguatnya konservatifisme tampak dalam upaya formalisasi syariat Islam yang terjadi di sejumlah daerah.

Di level nasional, upaya untuk mengganti Pancasila dengan ideologi Islam yang sempat diperjuangkan oleh parpol-parpol Islam memang mengalami kebuntuan di parlemen. Namun, melalui saluran otonomi daerah, formalisasi syariah itu kini mengejawantah dalam sejumlah perda yang mengatur pemberlakukan syariah Islam di sejumlah wilayah. Di bidang ekonomi, konservatifisme umat muslim Indonesia tampak dalam berkembangnya industri perbankan dan keuangan Islam. Slogan anti-riba menjadi komoditas utama lembaga perbankan dan keuangan Islam yang sekaligus menjadi titik pembeda dengan industri perbankan dan keuangan konvensional.

Di ranah sosial-budaya, konservatifisme Islam mengemuka dalam gejala meningkatnya eksploitasi simbol-simbol Islam di ruang publik. Jika di era Orde Baru, eksploitasi simbol Islam di ruang publik adalah hal yang tabu atau bahkan dilarang, di era Reformasi justru sebaliknya. Nyaris tidak ada ruang publik yang bebas dari infiltrasi simbol Islam.

Dalam pergaulan sehari-hari misalnya, pengucapan frasa-frasa islami seperti assalamu’alaikum, subhanalllah, alhamdulillah dan sejenisnya telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari aktivitas komunikasi publik. Begitu pula dengan pakaian islami—jilbab, gamis, kaftan, baju koko dan sejenisnya—yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari gaya hidup anak muda muslim Indonesia.

Fenomena tersebut boleh jadi adalah ekspresi dari meningkatnya gairah beragama kaum muslim Indonesia. Sayangnya, gairah untuk lebih menonjolkan identitas keislaman itu juga dibarengi dengan meningkatnya gejala radikalisme. Radikalisme keberagamaan kaum muda muslim Indonesia seperti dijelaskan dalam buku ini dilatari oleh setidaknya dual hal. Pertama, masuknya organisasi-organisasi Islam transnasional. Kedua, terjadinya pergeseran otoritas keagamaan. Dulu, otoritas keagamaan lebih banyak dipegang oleh figur-figur ulama yang dikenal memiliki pengetahuan keagamaan mendalam; fasih berbahasa Arab, menulis banyak kitab, dan mengamalkan ajaran tasawuf.

Kecenderungan itu dalam banyak hal telah mengalami banyak pergeseran (shifting). Hari ini, yang dianggap otoritatif di bidang keagamaan oleh kaum muda muslim milenial adalah sosok-sosok penceramah agama yang memiliki popularitas tinggi, kerap muncul di media massa atau media sosial sehingga mudah diakses. Perkembangan teknologi informasi, terutama dengan kemunculan berbagai platform media digital membuat kaum muda muslim milenial lebih menggemari penceramah agama yang digital friendly.

Pergeseran otoritas itu bukan tidak menyisakan persoalan. Kajian-kajian keagamaan di media massa atau di media sosial oleh penceramah agama cum selebritis umumnya dikemas ringan, populer, dan membahas hal-hal praktis ihwal kehidupan sehari-hari. Model kajian keagamaan yang demikian itu cenderung membentuk pola berpikir anak muda muslim kurang mendalam memahami Islam.

Kajian keagamaan populer yang dapat dengan mudah ditemukan di media massa dan kanal media sosial umumnya tidak mengajak umat muslim untuk beragama secara kritis-kontemplatif, alih-alih lebih sering mengajarkan umat untuk beragama secara tekstualis. Pola keberagamaan tekstualistik inilah yang menjadi lahan subur bagi bersemainya ideologi keagamaan radikal. Pernyataan BIN dan BNPT tentang sejumlah universitas yang menjadi sarang penyebaran ideologi radikal mengonfirmasi asumsi tersebut.

Sebagaimana layaknya fenomena sosial pada umumnya, nyaris tidak pernah ada kesimpulan baku dan komprehensif yang bisa ditarik. Begitu pula ihwal perilaku keberagamaan kaum muda muslim Indonesia. Tidak ada kecenderungan yang ajek yang dapat menggambarkan keseluruhan fenomena tanpa menyisakan persoalan.

Secara umum, generasi muda muslim milenial Indonesia, utamanya yang datang dari kalangan terpelajar, cenderung menunjukkan sikap dan periaku keberagamaan yang konservatif, dengan corak komunal, skriptural, dan puritan (hlm. 247). Meski demikian, pada dasarnya kaum muda muslim memiliki perspektif yang terbuka terhadap nilai-nilai keindonesiaan, serta prinsip-prinsip modernitas semacam demokrasi dan HAM. Inilah yang disebut sebagai hibridasi identitas, yakni meleburnya berbagai macam irisan identitas menjadi satu identitas yang utuh, namun kompleks. Maka, jangan heran jika hari ini banyak perempuan muda muslimah yang berpakaian tertutup, taat beribadah, menempuh pendidikan tinggi dan menggemari boyband Korea.

Di tengah ancaman gelombang radikalisme serta kebangkitan populisme di sebagian besar dunia Islam, kehadiran buku ini cukup memberikan andil signifikan. Bagi para pengkaji fenomena sosial-keagamaan, buku ini menyajikan temuan-temuan data yang bisa dijadikan alat untuk mengonfirmasi teori-teori yang selama ini berkembang. Bagi para pengambil kebijakan (pemerintah) buku ini menyuguhkan data yang kiranya bisa ditindaklanjuti sebagai bahan pengambilan keputusan.

Siti Nurul Hidayah

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!